Latest News

Showing posts with label Seni Pewayangan. Show all posts
Showing posts with label Seni Pewayangan. Show all posts

Wednesday, 1 January 2014

Semar dan Punokawan

 Batara Semar

 MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru. Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
·         tidak pernah lapar
·         tidak pernah mengantuk
·         tidak pernah jatuh cinta
·         tidak pernah bersedih
·         tidak pernah merasa capek
·         tidak pernah menderita sakit
·         tidak pernah kepanasan
·         tidak pernah kedinginan

Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nyaIa selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akanmencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar. Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta. Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Semar dan Wahyu
Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Batara Semar,” telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.
Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.
Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hidup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu
Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.
Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.
Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.
Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.
Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.
Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga
Bocah Bajang dan Semar
Bocah Bajang nggiring angin
anawu banyu Segara
 ngon-ingone kebo dhungkul
sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.


Semar dan Dewa Ruci, keduanya merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat. (lukisan karya: herjaka HS, tahun 2003)
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akanmisteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang samaKe duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.


Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan ‘ngelmu’ sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati.Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
Panakawan
Di dalam cerita Pewayangan khususnya Yogyakarta dan Surakarta dikenal adanya tokoh Panakawan. Pana artinya mengetahui, memahami permasalahan yang dihadapi dan mampu memberikan solusi-solusinya. Sedangkan Kawan atau sekawan selain berarti berjumlah empat, juga dapat dimaknai sebagai teman atau sahabat. Mereka adalah Semar beserta ketiga anaknya, yaitu; Gareng, anak yang paling tua, Petruk anak kedua dan yang bungsu bernama Bagong.
Tugas utama panakawan adalah menghantar dan memomong tokoh ksatria dalam mencari dan mencapai cita-cita hidupnya. Hubungan antara panakawan dan tokoh ksatria adalah hubungan yang sangat lentur. Kadang-kadang hubungan mereka bagaikan abdi dan bendara, yang melayani dan yang dilayani. Ada kalanya hubungan mereka seperti layaknya raja dan rakyatnya, gusti dan kawula, yang disembah dan yang menyembah Namun yang lebih tepat hubungan antara Panakawan dan ksatria bagaikan kedua sahabat yang saling berkomunikasi, berinteraksi, bertukar pendapat serta pikirannya untuk menyelesaikan dan menyingkirkan masalah-masalah yang menghalangi dalam usahanya mencapai sebuah cita-cita. Mereka saling asah (mengasah budi dan pikiran), asih (mengasihi dan mencintai), asuh (menjaga dan memelihara).
Keberhasilan tokoh ksatria dalam mencapai cita-citanya sangat bergantung kepada panakawan. Jika sang ksatria bersikap rendah hati mampu membina hubungan yang harmonis dengan panakawan, mau membuka hati untuk mendengarkan dan melaksanakan saran dari tokoh panakawan, dan rela hidup miskin, niscaya keberhasilan akan tercapai. Namun jika terjadi sebaliknya, kegagalanlah yang didapat. Karena begitu dominannya peran panakawan dalam menentukan keberhasilan sang ksatria, maka kemudian muncul sebuah pertanyaan Siapakah sesungguhnya tokoh panakawan tersebut? Menyimbolkan apakah mereka? Mengapa berjumlah empat?
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan (ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
Sementara itu ada yang menguraikan bahwa ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta,. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan.Tangan cekot adalah rasa ketelitian. Kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Tangan depan menuding dengan telunjuknya, tangan belakang dalam posisi menggenggam. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya pekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karsa berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masin-masing dengan harmonis untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Diibaratkan seorang sais (jati diri manusia) mengendarai sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda (cipta, rasa, karsa dan karya). Bagaimana Kereta itu berjalan untuk mencapai tujuan sangat bergantung dengan kemampuansais dalam mengendalikan dan mengoptimalkan kuda-kudanya. Jika si sais terampil niscaya ke empat kudanya akan kompak berderap berpacu menuju sasaran. Rintangan yang menghadang di jalan tidak akan membuat kereta jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Paling-paling kereta akan mengurangi kecepatan sejenak untuk kemudian berpacu kembali. (Herjaka HS)


Saturday, 16 November 2013

FILOSOFIS GUNUNGAN



Dalam setiap pergelaran wayang kulit selalu ditampilkan gunungan, yang berbentuk persegi lima yang terdapat gambar atau simbol di dalamnya. Gunungan ini biasanya ditampilkan dalam berbagai permainan wayang misalnya dalam wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang golek, wayang suluh dan sebagainya.
Gunungan mempunyai dua jenis yaitu Gunungan Blumbangan (perempuan) dan Gunungan Gapuran (laki-laki). Di balik  gunungan Blumbangan ini dapat kita lihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan candrasengkalan yang berbunyi “geni dadi sucining jagad” yang mempunyai arti 3441 dan apabila dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Itu diartikan bahwa gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka= 1521 Masehi pada masa pemarintahan Raden Patah. Gunugnan Gapuran (Gerbang) sendiri digunakan pada masa pemerintahan Suushunan Pakubuwono 2, dengan sengkalan Gapura lima retuning bumi” 1659 J=1734 M.
Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang ujung atasnya meruncing. Gunungan ini dalam legendanya berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga kayon. Kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni:
Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.

Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.
Kayon atau gunungan yang biasanya diletakkan di tangah kadang disamping itu mempunyai beberapa arti, arti dari diletakkannya gunungan ada 3 yakni:
  • Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
  • Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
  • Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).
Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh agama adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT.
Dalam kayon terdapat ukiran-ukiran atau gambar yang diantaranya :
  • Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga melambangkan suatu rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.
  • Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng. diinterprestasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan terang
  • Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
  • Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
  • Gambar ilu-ilu Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia.
  • Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
  • Dua kepala makara ditengah pohon melambangkan manusia dalam kehidupan sehari mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan.
  • Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon dan dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon, macan berhadapan dengan banteng.
Menggambarkan tingkah laku manusia.
Kebo = pemalas
Monyet = serakah
Ular = licik
Banteng = lambang roh , anasir tanah , dengan sifat kekuatan nafsu Aluamah
Harimau = lambang roh , anasir api dengan sifat kekuatan nafsu amarah, emosional, pemarah
Naga = lambang Roh , anasir air dengan sifat kekuatan nafsu sufiah
Burung Garuda = lambang Roh , anasir udara dengan sifat kekuatan nafsu Muthmainah.
  • Gambar raksasa digunakan sebagai lambang kawah condrodimuka, adapun bila dihubungkan dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan di masukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan.
  • Gambar samudra dalam gunungan pada wayang kulit melambangkan pikiran
  • Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkannya.
  • 7 anak tangga: berarti tujuan atau PITUtur (pemberitahuan) bahwa kita semua yang bernama hidup pasti mati kullu nasi dha ikhotul maut “.
  • Gerbang/pintu selo manangkep: pintu alam kubur yang kita tuju.
  • Pohon hayat: jalan hidup seseorang yang lurus dan mempunyai 4 anak cabang yang menjadi perlambang nafsu kita dan banyak anak cabangnya.
Sedangkan dari filosofi bentuk adalah : bentuk gunungan sendiri menyerupai serambi bilik kiri yang ada di dalam tubuh kita, itu mungkin mempunyai makna kalau kita harus menjaga apapun yang ada di dalam hati kita hanya kepada sang pencipta. Dan yang lebih hebat lagi adalah dari segi bentuk yang persisi dengan “mustoko” di atas masjid yang ada banyak di negara kita. itu perlambang dari sipembuat untuk kita supaya menjaga hati kita secar lurus (seperti pohon) kepada masjid/agama/tuhan.
Gunungan bisa diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma, sedang bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsure cipta, rasa dan karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat lambing sedulur papat dari anasir tanah, api , air, udara.

Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-setan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.

Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak.

Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala, sedang Banu merupakan zat makanan utamanya.
Jawa memang menyimpan berbagai macam budaya yang beragam dan menyimpan berbagai makna yang terkandung dalam setiap itemnya, bahkan secara tidak  kita sadari sesuatu yang kita pegang sekarangpun itu juga mengandung makna filosofis yang sangat besar jika kita mau mangkaji lebih dalam.
Dengan gambaran di atas saya sedikit banyak mengetahui tantang apa makna filosofis dari gunungan yang terdapat dalam pewayangan. Dari segi bentuk maupun nilai yang terkandung dalam wayang dan dari gambar yang ada di dalamnya. Kapan dan siapa yang menciptakan gunungan tersebut, fungsi dari gunungan dalam permainan wayang.
Dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia mari kita lestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia. Jangan ada lagi kekerasan dalam mengatasi masalah, kita sebagai Bangsa yang berbudi luhur seharusnya dapat menjadi contoh bagi Negara lain. Kalau bukan kita sebagai anak bangsa siapa lagi?

Semua yang ada di Indonesia aku suka.
Negara yang kaya akan budaya, orang-orang yang ramah, menjunjung tinggi nilai kebersamaan, lingkungan yang asri, sejuk, indah yang tentunya tak kalah dengan luar negri, tak perlulah aku keliling DUNIA (kata Gita Gutawa) I LOVE INDONESIA…

Dari uraian di atas, kita  mempelajari ilmu filsafat mampu membuat kita lebih bijak dalam memandang segala sesuatu yang ada di dunia ini tanpa melepaskan kaidah-kaidah ke-islaman yang ada untuk menjadi orang yang lebih arif dalam memaknai dan menjalani hidup ini. Selain itu setelah belajar filsafat, saya jadi tahu bahwasanya segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berhubungan meskipun dalam wujud yang berbeda akan tetapi kesemuanya itu jika kita mau menggali lebih dalam maka semuanya akan kembali pada satu sumber yaitu Alloh SWT. (Sumber :
last_zie27@ymail.com)

Tuesday, 16 July 2013

Makna dan Lambang dalam Pedalangan



Didalam pedalangan kita, kaya akan nilai-nilai . Nilai-nilai di dalam pedalangan diantaranya:
  • Nilai kepahlawanan contoh: tokoh Kumbakarna, Adipati Karna. 
  • Nilai kesetiyaan contoh: tokoh Dewi Sinta, Raden Sumantri (Patih Suwanda) dan sebagainya.. 
  • Nilai keangkara murkaan contoh: tokoh Rahwana, Duryudana dan sebagainya. 
  • Nilai kejujuran  contoh: Tokoh Puntadewa dan sebagainya.
Di sini masih banyak nilai-nilai yang lain yang patut ditimba manfaatnya bagi kita semua. Arti lambang juga terdapat didalam pakeliran lewat lakon-lakon wayang. Kalau kita mengamati lakon Dewa Ruci di dalamnya mengandung lambang kehidupan manusia di dalam mencapai cita-cita hidup kita harus dapat melewati beberapa tantangan, kalau kita berhasil mencapainya kita akan mendapatkan buahnya.

Gunungan

Kalau kita melihat pagelaran wayang kulit pasti akan melihat gunungan, dan lebih sering disebut juga kayon. Dinamakan gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi keatas. Adapun kita melihat gunungan yaitu pada saat pakeliran belum dimulai, gunungan ditancapkan tegak lurus di tengah kelir pada batang pisang bagian atas. Tetapi jika pakeliran telah dimulai maka gunungan ditancapkan pada simpingan bagian kanan dan kiri.
Gunungan terdapat pada setiap pagelaran wayang, misalnya: wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang golek, wayang suluh dan sebagainya. Tetapi gambar gunungan kalau kita lihat juga banyak dijadikan simbol, atau suatu lambang.

Contoh:
Dalam lingkungan hidup atau sering disebut Kalpataru, digambarkan lambang sebuah kayon.
Kalau kita membedakan jenis kayon atau gunungan itu ada dua macam yaitu:
1. Kayon Gapuran 
2. Kayon Blumbangan 

Adapun ciri-ciri kayon gapuran adalah sebagai berikut :
1. Bentuknya ramping 
2. Lebih tinggi dari kayon blumbangan. 
3. Bagian bawah berlukiskan gapura. 
4. Samping kanan dan kiri dijaga dua raksasa kembar yaitu Cingkarabala dan balaupata. 
5. Bagian belakang berlukiskan api merah membara. 

Adapun ciri-ciri kayon blumbangan adalah sebagai berikut :
1. Bentuknya gemuk 
2. Lebih pendek dari keyon gapuran 
3. Bagian bawah berlukiskan kolam dengan air yang jernih. 
4. Ditengah ada gambar ikan berhadap-hadapan ditengah kolam. 
5. Bagian belakang berlukiskan api berkobar merah membara biasanya juga ada lukisan kepala makara. 

Untuk lebih jelasnya dapat kita melihat gambar kayon disamping kiri ini. Gunungan di dalam pegelaran wayang kulit mempunyai kegunaan yang penting sekali. Adapun guna kayon adalah sebagai berikut:
  1. Tanda dimulainya pentas pedalangan dengan dicabutnya kayon lalu diletakkan pada simpingan kanan dan kiri. 
  2. Tanda pergantian adegan / tempat.
    Contoh: Setelah adegan Astina akan diganti adegan Amarta biasanya diawali dengan memindahkan kayon atau memutar kayon lalu ditancapkan pada posisi semula.
  3. Untuk menggambarkan suasana. Contoh : Suasana sedih dalam suatu adegan, kayon digerak-gerakkan diikuti ceritera dalang.
  4. Untuk menggambarkan sesuatu yang tidak ada wayangnya.
    Contoh:Suatu ajian yang dikeluarkan dari badan tokoh wayang. Dewa tertinggi yang tidak ada wayangnya. Misalnya Sang Hyang wenang dan sebagainya.
  5. Menggambarkan air, api, dan angin.
    Contoh:Dari patet enem ke patet sanga di tandai dengan perubahan letak kayon. Misalnya dari kayon condong kekiri dirubah gerak tegak lurus.
  6. Tanda berakhirnya pentas pakeliran yaitu dengan menancapkan kayon ditengah-tengah. 
Gambar kayon didalamnya berlukiskan :
  • Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga. 
  • Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng. 
  • Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon. 
  • Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya. 
  • Gambar macan berhadapan dengan banteng. 
  • Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan. 
  • Dua kepala makara ditengah pohon. 
  • Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon. 
  • Dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon.
    Jadi kesimpulannya gambar kayon didalamnya sudah melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya
PARA DEWA (DEWA-DEWA)
Setelah kita menguraikan secara sederhana tentang gunungan maka mulai kita menginjak nama-nama dari pelaku wayang. Kita mulai dari nama-nama dewa. Jumlah dewa-dewa dan dewi-dewi sangatlah banyak. Di sini yang ingin kami ketengahkan hanyalah nama-nama dewa atau dewi yang sering digunakan di dalam setiap lakon wayang. Kita mulai dari Batara Guru.

BATARA GURU
Nama lain :
1. Hyang jagad Pratingkah
2. Sang Hyang catur buia
3. Sang Hyang Manikmaya

Tempat : Kayangan Jonggirikaelasa
Istri : Dewi Uma

Anak :

  1. Batara Indra 
  2. Batara Bayu 
  3. Batara Wisnu 
  4. Batara Brama 
  5. Batara Kala 
  6. Batara Sakra 
  7.  Batara Mahadewa 
  8. Batara Asmara 

Ayah Batara Guru : Hyang Tunggal 
Keterangan :
Batara Guru adalah dewa yang merajai kayangan serta mengusai alam. Batara Guru pada saat dilahirkan berwajah tampan serta tanpa cacat. Karena kecongkakannya dan merasa bangga karena mempunyai wajah tampan dia akhirnya menerima hukuman dari Hyang tunggal serta dewa yang Agung dengan bertangan empat, bercaling, leher berwarna biru. Hal ini adalah buah dari perbuatannya. Batara Guru didalam ceritera pedalangan sering mengganggu dunia dengan menyamar menjadi manusia ingin menghancurkan Kyai Semar, Pandawa tetapi hal ini selalu kalah dengan kebajikan dan kejujuran yang akhirnya Hyang Guru minta maaf dan kembali kekhayangan.

BATARA NARADA
Nama lain : Kanekaputra
Tempat : adalah kayangan Sudukpangudaludal

Keterangan :
Batara Narada adalah ketua dari para dewa ia bertugas memimpin para dewa serta dewa yang dimintai pertimbangan oleh batara Guru dalam segala hal. Tugas lain adalah menyampaikan anugerah pada manusia serta mengamati kejadian di dunia. Asal mula batara Narada berparas elokvdan sakti yaitu dia ingin mengalahkan para dewa maka bertapa terus sehingga bertemu dengan dewa guru/Batara Guru.
Setelah terjadi bantah Batara Guru kalah. Akibat hal itu batara Guru selalu memanggil kakang. Batara Narada akhirnya berwajah buruk serta berbadan cebol karena pada suatu ketika mendapat umpat batara Gutu sehingga seperti bentuk gambar diatas. Batara Narada selalu melaksanakan tindakan kebenaran maka pada saat batara Guru bertindak salah selalu dilawannya.

BATARI DURGA
Tempat : Hutan Setra Gandamayit
Suami : Batara Kala
Bentuk : Raseksi yang ganas dan bengis

Keterangan:
Batari Durga dahulu adalah seorang putri yang cantik jelita berujud bidadari bernama dewi Uma. Ia sangat dicintai oleh Hyang Guru. Peristiwa itu terjadi pada saat Hyang Guru sedang rekreasi naik lembu Nandini melihat keindahan jagad raya, karena asyiknya betara Guru timbullah nafsu asmara dengan dewi Uma. Tetapi dewi Uma tidak mau karena mengingat sedang naik Lembu Nandini. Karena Batara Guru sangat bernafsu maka kamanya jatuh di laut. Yang akhirnya lahir Batara Kala. Setelah kejadian itu Dewi Uma diajak pulang. Di kayangan Batara Guru marah bukan kepalang karena marahnya Betari Uma disabda menjadi reseksi yang bengis dan disuruh kehutan Setra Gandamayit.

Mari kita melihat kembali pada kejadian yang lalu, pada saat Batara Guru akan memaksa Batari Uma. Maka Batari Uma mengutuk sikap Batara Guru seperti itu bagaikan raksasa. Maka jadilah Batara Guru mirip raksasa dengan mempunyai caling. Atas kejadian itu Batara Guru merasa masgul hatinya. Batari Durga dapat kembali ujut seperti sedia kala setelah diruat oleh satria bungsunya Pandawa yaitu raden Sadewa. Maka lakon itu disebut lakon Sudamala atau Durga ruwat.
Batari Durga di Setra Gandamayit memerintah para jin, iblis, banaspati, gandaruwo, engklek-engklek balung antandak dan sepadannya.

BATARA BRAMA
Tempat : Kayangan Deksina di dalam pedalangan sering disebut kayangan Argadahana.
Ayah : Batara Guru
Istri : Dewi Saraswati
Ibu : Batari Uma
Kesaktian : Dewa yang menguasai api.

Keterangan:
Batara Brama pernah memberikan pusaka Alugara dan Nanggala kepada raden Kakrasana pada saat ia bertapa di pertapaan Arsonya. Maka seolah-olah Hyang Brama adalah guru dari raden Kakrasana. maka kalau kita lihat bentuk wayang Prabu Baladewa, raden Kakrasana mirip dengan bentuk wayang Batara Brama. Batara Brama selalu atau sering mengikuti perjalanan Batara Guru ke Ngarcapada / Bumi menjelma menjadi raja seberang dengan nama misal prabu Dewa Pawaka atau yang lain.
Hal ini dapat digagalkan oleh Semar. Sehingga kehendaknya ingin memusnahkan Pandawa atau membuat onar dunia tidak berhasil. Juga dapat dilihat dalam lakon lahirnya Wisanggeni. Tujuan Batara Drama akan mengawinkan putrinya Dewi Dresanala dengan Dewa Srani serta menceraikan radaen Arjuna. Hal ini dapat digagalkan oleh Semar dan para Pandawa. Jadi kesimpulannya bahwa semua ulah dewa jika salah akan kalah oleh tindakan manusia yang benar.

BATARA INDRA
Tempat : Kayangan Jonggirisaloka
Kesaktian :
Batara Indra mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian berperang dan banyak mempunyai panah sakti.
Anak :

  • Dewi Tara 
  • Dewi Tari 
  • Dewi Gagar Mayang
  • Batari Suprada dan masih banyak lagi yang berwujud bidadari.

Ayah : Batara Guru
Ibu : Batari Uma
Keterangan :
Batara Indra mempunyai kekuasaan atas para dewa dan para bidadari di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah atau hadiah pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa.
Sebagai contoh: Raden Arjuna mendapatkan panah Pasopati sebagai panah sakti akibat dari dia bertapa dan membantu atas ketentraman di kayangan, sehingga panah tersebut berguna di dalam perang besar Baratayuda.

BATARA ANTABOGA
Kayangan : kayangan Saptapratala atau Saptabumi
Anak : Dewi Nagagini.

Keterangan :
Batara Antaboga adalah dewa ular maka disebut juga ujud naga besar. Hyang Antaboga mempunyai putri cantik jelita yang diperistri raden Werkudara. Peristiwa ini terjadi pada saat Pandawa ditipu Kurawa diajak berkumpul dan pesta. Tiba-tiba tempat tersebut dibakar oleh para Kurawa dalam pedalangan dalam lakon Balesigalagala. Pandawa tidak mati karena ditolong oleh garangan putih yaitu kajadian dari Hyang Antaboga. Akhirnya Pandawa selamat Werkudara dikawinkan dengan dewi Nagagini mempunyai keturunan raden Hanantareja.

BATARA KAMAJAYA
Tempat : Kayangan Cokrokembang
Putra dari : Batara Ismaya (Semar)
Istri : Batari Ratih

Keterangan:
Dewa ini berparas elok serta selalu rukun bersama istrinya. Maka dari itu oleh orang jawa dijadikan kegemarannya (idam-idaman) sampai pada cita-citanya. Kalau orang mempunyai putra atau putri diharapkan berwajah elok dan cantik. Hal ini terbukti di dalam acara tujuh bulan bayi di kandungan diadakan upacara mitoni yang dilambangkan pada cengkir (kelapa muda) berlukiskan Batara Kamajaya dan Batari Ratih.

BATARA SURYA
Putra dari : Semar (Batara Ismaya)
Kekuasaan : Dewa Matahari

Keterangan :
Batara Surya adalah seorang dewa yang menguasai gerak Matahari. Serta dalam lakon lahirnya Karna Betara Surya adalah salah satu dewa yang menurunkan raden Suryaputra dengan ibunya dewi Kunti.

BATARA BAYU
Tempat tinggal : Kayangan Panglawung
Ayah : Batara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Sumi
Kesaktian :
Batara Bayu mempunyai kesaktian angin dan ia menjadi dewanya hewan, raksasa, dan manusia.
Yang tersebut golongan putera dewa Bayu adalah :

  • Batara Bayu 
  • Hanuman 
  • Wrekodara Wil Jajalpaweka 
  • Liman setubanda 
  •  Sarpa Nagakuawara 
  • Garudha Mahambira 
  • Begawan Maenaka 


Keterangan :
Batara Bayu pernah menjadi raja di Mayapada di negara Medanggora, bergelar prabu Bhima. Pada ceritera Pedalangan dalam lakon Bhima Bungkus di situ terlukis putera Pandu yang masih berada dalam keadaan terbungkus, sebelum sang bayi berwujud sebagai layaknya bayi biasa, Batara Bayu masuk kedalam bungkus sang bayi dan memberinya busana seorang kesatria.

BATARA WISNU
Tempat : Kayangan Utarasagara
Ayah : Batara Guru
Ibu : Batari Uma
Isteri : Dewi Pertiwi

BATARA KALA
Kayangan : kayangan Selamangumpeng
Ayah : Batara Guru
Istri : Batari Durga

Keterangan :
Batara Kala lahir dari Kama salah yang jatuh dilaut pada saat Batara Guru rekrasi dengan Batari Uma (lihat hal Batari Uma). Batara Kala dilahirkan dalam wujud api yang berkobar-kobar yang makin lama makin besar. Hal ini membuat gara-gara di Suralaya, sehingga para dewa diperintahkan oleh Batara Guru untuk mematikan api yang berkobar-kobar tetapi tidak mati, malah makin lama makin besar dan naik ke Suralaya menanyakan bapaknya.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.

Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.

BATARA YAMADIPATI
Putra dari : Semar (Betara Ismaya)
Tempat : Kayangan Argodulamilah

Keterangan :
Betara Yamadipati, dewa yang ditugasi mencabut nyawa dan menjaga neraka. Adapun wajah Yamadipati berbentuk manusia dan wajah raksasa yang mengerikan. Yamadipati juga terseret pada perbuatan tidak benar tetapi setelah direnungkan tidak baik, maka berbelok pada posisinya semula.*

JENENGE RATU LAN PANDHITA


  1. Prabu Arjuna Sasrabahu ratu ing Maespati 
  2. Prabu Baladewa         ratu ing Mandura 
  3. Prabu Basudewa         ratu ing Mandura 
  4. Prabu  Bomanarakasura ratu ing Trajutrisna 
  5. Prabu Drupada                 ratu ing Cempala 
  6. Prabu Dasarata                 ratu ing Ngayodya 
  7. Prabu dasamuka         ratu ing Ngalengka 
  8. Prabu Drestarata         ratu ing Ngastina 
  9. Prabu Kresna         ratu ing Dwarawati
  10. Prabu Karna ratu ing Ngawangga 

Seni Pewayangan



Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian  yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga kini.
Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. 

Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.

Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.

Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang  medianya setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.

Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina. 
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).

Wayang Klitik
adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput

Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.

Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.

Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia  dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan" 

KHUSUS WAYANG PURWA 
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.

Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut. 

Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayang pun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.

Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya. Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.

Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri. 


SIMPINGAN KIRI 
1.Buto raton (Kumbakarno) 
2.Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra) 
3.Rahwana dengan beberapa wanda 
4.Wayang Bapang (ratu sabrang) 
5.Wayang Boma (Bomanarakasura) 
6.Indarajit 
7. Trisirah 
 8.Trinetra dan sejenisnya 
9.Prabu Baladewa dengan beberapa wanda 
9.Raden Kakrasana 
10Prabu Salya 
11.Prabu Matswapati 
12Prabu Duryudana 
13.Prabu Salya 14.Prabu Salya 
15.Prabu Matswapati 
16.Prabu Duryudana 
17.Raden Setyaki 
18.Raden Samba 
20.Raden Narayana 

Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak kami cantumkan.
  • Wayang Eblekan :
    Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping. Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.
  • Wayang dudahan :
    Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang. Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.

 SIMPINGAN KANAN 
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :

1.Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa) 
2.Werkudara dari beberapa macam wanda 
3.Bratasena dari beberapa macam wanda 
4.Rama Parasu 
5.Gatotkaca dari beberapa macam wanda 
6.Ontareja
7.Anoman dari beberapa macam wanda 
8.Kresna dari beberapa macam wanda 
9.Prabu Rama 
10.Prabu Arjuna Sasra 
11.Pandhu 
12,Arjuna 
 13.Abimanyu 
14.Palasara 
15.Sekutrem 
16.Wayang putran 
17.Bati 

Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.

Simpingan sebelah kiri terdiri atas:

1.Buta raton 
2.Wayang buta enom (raksasa muda) 
3.Wayang boma 
4.Wayang Sasra 
5.Wayang Satria 


Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:       
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Wacucal: 
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni: 
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Purwa:  
Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).

Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja
Surakarta.

Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.
Jika anda nonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan padat, maka jika direnungkan benar-benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai filosafi. Secara gampang saja baru melihat simpingan wayang, orang telah mempunyai penilaian. Bahwa simpingan kanan melambangkan tokoh yang baik, simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk. Kalau kita melihat perangnya wayang, wayang yang diletakkan atau diperangkan tangan kiri pasti kalah. Tetapi hal ini tidak semua benar. (Copas dari Berbagai Sumber)




Tags

Recent Post