Latest News

Showing posts with label Budaya Jawa. Show all posts
Showing posts with label Budaya Jawa. Show all posts

Sunday, 1 May 2016

SURO


Kirab Pusaka Karaton Surakarta Kirap pusaka Karaton adalah tatacara Karaton Surakarta Hadiningrat yang dilaksanakan secara tetap pada setiap malam menjelang tanggal 1 Sura Tahun Baru Jawa, yang dimulai kira-kira jam 12 malam sampai kira-kira jam 4 pagi. Kirap pusaka Karaton berupa pawai atau arak-arakan beberapa pusaka Karaton Surakarta Hadiningrat yang memiliki daya magis atau daya prabawa yang dipercaya mengandung daya ampuh, kasakten. Pusaka-pusaka yang dikirapkan tersebut adalah peninggalan dari jaman Karaton Majapahit atau jaman sebelumnya. Oleh karena itu pusaka-pusaka tersebut memiliki sejarah, disamping memiliki daya prabawa (magis) ampuh, daya keramat atau sakral serta dilaksanakan pada waktu tertentu, tidak berubah waktunya dan dilangsungkan secara turun-temurun.
 
Tata urutan sebelum pusaka diirabkan, yakni pertama kali pusaka yang hendak dikirabkan diambil dari kamar pusaka yang berada di Dalem Agung Prabasuyasa. Beberapa pusaka mulai dikeluarkan dari kamar pusaka yang dibawa oleh abdi dalem atau petugas yang ditunjuk oleh ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII, selanjutnya pusaka-pusaka dibawa ke parasdya, di parasdya diadakan penentuan siapa saja yang diwajibkan membawa pusaka-pusaka yang akan dikirabkan adalah para putra santana dalem dan para abdi dalem yang memang sudah didawuhkan utuk berada di parasdya. Diparasdya pusaka-pusaka diterima oleh pangagenging putra sentana dalem dan kerabatnya pusaka-pusaka itu dipimpin oleh pangagenging Putra Sentana Dalem, sampai pusaka itu kembali ke karaton. Sesampainya kembali ke karaton, kira-kira jam 4 pagi, pusaka-pusaka diterima oleh Ingkang Sinuhun di parasdya Agung Sasanasewaka, untuk seterusnya dimasukkan kedalam kamar pusaka di Dalem Agung Prabasuyasa.
Sebelum kirab pusaka dimulai diadakan sesaji “Murwah Warsa” di Karaton Surakarta. Yang diberi Tugas atau yang diinginkan datang :

a. Putra-putri dalem, Pangeran Santana Abdidalem Santana Riya-Nginggil dengan isteri/suaminya.
b. Putra dalem yang belum menerima sebutan Pangeran.
c. Priyantun-priyantun dalem.
d. Abdi dalem Bupati yang berpangkat Riya nginngil yang disebut KRMH, KRH, KRMHT dan Abdi dalem Bupati/Bupati Anom termasuk Anom-Anom bersama isteri/suaminya.
e. Abdi Dalem Sentana Riya Ngandhap dan panji beserta isteri/suaminya.
f. Abdi dalem panewu Mantri termasuk Anon-anon ke bawah danabdi dalem Estri yang bertugas mengikuti kirab.
g. Warga paguyuban Mekar Budaya, Trah-trah ing Salatiga, Paguyuban Trah Kadilangu
h. Paguyuban/keluarga Pa.Ka.Sa.
i. Pakuyuban yang lain yang berkeinginan dan diijinkan ikut kirab.
j. Bagi yang tidak diberi tugas juga dipperkenankan untuk ikut kirab, sedangkan yang tidak ikut kirab kembali ke paningrat lagi.
 
Adapun rute yang dilalui menuju Alun-Alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Gemblegan, terus ke Nonongan, ke jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, masuk ke alun-alun utara, menuju ke Kamandungan terus masuk ke Karaton lagi kira-kira sudah jam 4 pagi. Arah kirab pusaka melalui jalan-jalan tersebut yakni jalan yang mengelilingi Karaton Surakarta, dengan arah “Pradaksina” artinya Karaton selalu berada disebelah “Kanannya” kirab artinya pada saat kirab berlangsung rakyat menunggu sejak jam 9 malam , dan sepanjang jalan tersebut dipadati oleh manusia yang berasal dari wilayah Kodya maupun penduduk wilayah Dati II sekitarnya (Sukoharjo, Boyolali, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Grobogan) yang tak terbilang jumlahnya.
 
Dalam pelaksanaannya kirab yang ada di depan yaitu Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kyai Slamet sebenarnya nama pusaka yang berwujud tombak sedangkan “Kebo Bule” merupakan “Emban”dari pusaka tersebut namun sekarang Kebo Bule tersebut lazim orang menyebutnya “Kyai Slamet”. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang sejak dulu kala dipelihara dan anak beranak hingga jumlahnya sekarang enam dikalangan karaton / masyarakat dianggap hewan “Karamat”. Barisan kirab pusaka ini diadakan oleh barisan sekelompok Kebo Bule Kyai Slamet, jadi sekelompok Kebo Bule Kyai Slamet menjadi “Cucuking Lampah” kirab, baru dibelakang Kebo Bule Kyai Slamet barisan para pembawa pusaka-pusaka yang terdiri para putra Santana dalem. Santana Dalem lainnya, para abdi dalem dan mereka barisan Pa.Ka.Sa (Perkumpulan Kerabat Surakarta), semua yang mengikuti kirab mengenakan “samir” dengan mengenakan untaian bunga melati di telinganya kiri bagi pembawa pusaka-piusaka tersebut yang namanya gajah ngoling.
 
Pada jaman Karaton Majapahit setiap tahunannya diadakan hajat nagari yang disebut “Wilujengan Nagari” atau mohon keselamatan negara, oleh para raja Majapahit, yang lazim disebut “Murwa Warsa” Selametan negara ini disebut “Rajawedha” setelah Majapahit runtuh Karaton Jawa pindah ke Demak Jawa Tengah. Demak tetap melaksanakan selamatan “Rajawedha” meskipun Demak telah menganut agama Islam, pola jaman Karaon Demak, selamatan dan sesaji Rajawedha ini terdiri dari atas bermacam-macam daging Mahesa (kerbau) sehingga nama sesaji Rajawedha tersebut berganti nama “Mahesa Lawung” selametan atau sesaji Mahesa Lawung diselenggarakan dibulan Krendhawahana, sebelah utara Surakarta atas petunjuk Sunan Kalijaga.
 
Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana X, selametan Mahesa Lawung tadi ditambah kirab pusaka Kangjeng Kyai Slame, pada setiap malam Jumat dan malam Selasa Kliwon mengelilingi Baluwarti bagian dalam. Sementara sesaji tetap dilaksanakan di dalam kedhaton. Akan tetapi pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana XI (1939 – 1945). Kantor Surakarta tidak menyelenggarakan selametan Mahesa lawung dan juga tidak melaksanakan kirab pusaka lagi dan juga Mahesa Lawung, namun semula kirab kirab pusaka Kangjeng Kyai Slamet hanya mengelilingi Baluwarti bagian dalam kira-kira tahun 1964. Susuhunan Paku Buwana XII memerintahkan agar kirab pasuka mengelilingi rute yang lebih panjang dan lebih lama, dengan rute seperti tersebut di atas.
 
Kirab pusaka ini bersifat sakral Suci atau ritus pusaka-pusaka yang dikirabkan adalah berpredikat “Kangjeng Kyai” artinya dipercaya memiliki daya prabawa, ampuh, magis. Dengan kekuatan daya prabawa yang tinggi itu bisa memancarkan daya “keselamatan”, kesejahteraan, dan keberkahan” kepercayaan akan pusaka-pusaka yang memiliki daya magis tinggi itu merupakan manisfestasi “kebudayaan Karaton” yang disebut “Uwoh pangolahing budi” atau “pamesu budi” yang selalu berhubungan dengan yang Maha Ghaib atau Tuhan Yang Maha Esa. Ciri khas adat Karaton yakni selalu berhubungan dengan kepercayaan dan mengenal adanya pepundhen salah satu diantaranya yakni pusaka Karaton.
 
Berdasarkan wewarah atau ajaran Susuhunan Paku Buwana IX, bahwa sebenarnya yang disebut budaya, itu sama dengan pusaka “Pusaka Kedhaton” apabila pusaka ini dihormati di junjung tinggi atau dihargai akan mendapatkan “keberkahan” memberi berkah. Namun sebaliknya kalau pusaka tadi di sia-sia, yakni terlantarkan/direndahkan atau tidak dilestarikan akan menimbulkan keadaan yang tidak mengenakkna atau tidak menyenangkan yang disebut “halad”.
 
Makna atau intisari kirab pusaka adalah penyebaran “daya magis” pusaka-pusaka yang dikirabkan untuk keselamatan dan kesejahteraan Karaton dalam Surakarta Hadiningrat, bangsa, dan negara Indonesia. Magis menurut istilah Karaton, sama dengan “daya prabawa” artinya daya kekuatan yang tak tampak, yang “terkasad mata” yang tampak hanya benda yang berwujud. Adapun yang dimaksud pusaka adalah benda apa saja bentuk dan wujudnya, tetapi yang dianggap mengandung “daya magis” (daya prabawa) atau memiliki daya keramat (sakral). Kirab pusaka sebagai tatacara adat pada malam menjelang Sura tahun baru Jawa, intinya bukan pameran senjata kuno, akan tetapi cara memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa akan Rahmatnya agar daya magis pusaka-pusaka yang dikirabkan tadi membawa keselamatan, kesejahteraan dan berkah bagi Karaton Surakarta, bangsa dan negara Indonesia seisinya.
 
Untuk menjaga kekhitmatan, mereka yang mewajibkan ngampil pusaka dan juga yang mengikuti kirab, tidak diperkenankan berbicara, bersenda gurau, merokok dan sebagainya, karena intinya kirab adalah mohon kepada Tuhan, maka dalam suasana kirab hendaknya diliputi suasana hening, tidak berbicara.

 

TIRAKAT


DALAM episode perjalanan mencari kesejatian hidup, Bima harus melawan rintangan berupa raksasa besar Rukmana Rukmakala dan seekor ular ganas di pantai selatan. Setelah pergulatan yang menegangkan, warrior itu (Bima) menang dan meraih kesejatian hidup saat bertemu Dewaruci yang membawanya pada suasana mistis yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kisah singkat ini merupakan ilustrasi ajaran etika yang menggambarkan keharusan prihatin dan berjuang tanpa lelah untuk mencapai tujuan hidup yang luhur. Hanya orang-orang yang punya ketulusan (sincerity), kejujuran (honesty), dan loyalitas pada cita-cita yang dapat berhasil sampai pada terminal akhir berupa "kesatuan" dengan Realitas Mutlak, yaitu Gusti Allah. Yang lain mungkin hanya sampai di subterminal dan tak tahu tujuan berikutnya atau bahkan tersesat di tengah jalan lalu menjadi gelandangan.

Terlalu filosofis memang, sehingga orang yang hanyut dalam euforia reformasi menjadi tidak mudheng, terutama kalangan yang suka pragmatis dan kadang-kadang terlihat tolol menyikapi keadaan secara instan saat ini dan di sini (here and now). Kekinian dan kedisinian inilah yang sering kali menelikung manusia melalui tindakan serba-ad hoc disertai nafsu yang semakin menjauhkannya dari hidup hakiki. Atas nama paradigma kekinian, segalanya akan diukur menurut kepraktisan dan manfaatnya bagi kesejahteraan banyak orang, makanya bom di Legian itu amat sangat menyakiti perasaan siapa saja yang masih menginginkan indahnya hidup yang layak dinikmati. Siapa pelakunya dan orang yang memiliki kaitan dengannya, akan diburu terus sampai ke liang kubur meskipun pekerjaan ini laksana mencari jarum jatuh di tumpukan jerami.

Kisah Bima yang diindikasikan telah muncul sebelum islamisasi Nusantara ini, pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari perjalanan spiritual pencari hakikat (salik) dalam dunia tasawuf menghadapi godaan dan rayuan yang harus diatasi dengan riyadah atau latihan rohani dan tirakat atau menahan nafsu. Keduanya dilakukan dengan jalan puasa yang hakikatnya adalah menahan diri dari dorongan nafsu menuju kejernihan batin dalam rangka meraih kemenangan saat Idul Fitri nanti. Jadi yang berlaku memang logika gentlemen yang ambisius untuk menang seperti Napoleon dengan jargonnya yang terkenal itu (vini vidi vici), bukan logika persepakbolaan nasional yang selalu bilang kalah menang soal biasa. Maka kemenangan merupakan buah dari kesungguhan dalam tirakat dan riyadah, bukan hadiah dari pak ustaz atau kiai.

Tirakat itu hakikatnya adalah kesadaran dan kesengajaan untuk bersusah payah atau sebuah perlawanan terhadap dorongan batin (desire) yang lazim ada dalam berbagai kehidupan spiritual. Jika orang ingin mencapai keunggulan batin seperti Panembahan Senapati di Mataram, maka diperlukan perlawanan terhadap nafsu (kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu). Atau sikap Yudistira yang tidak kumanthil (terikat) pada apa saja yang dimilikinya karena hakikat hidup hanyalah sebuah titipan yang harus dipelihara dengan baik, demikian juga harta (nyawa gadhuhan, bandha sampiran) yang harus dipelihara dalam waktu sekejap (saderma mampir ngombe). Diperlukan kesadaran penuh (jasmani dan rohani) supaya tidak menjadi orang plinplan esuk tempe sore dhele dan ngibulin Gusti Allah.

Fragmen kehidupan orang Jawa yang semestinya banyak berisi tirakat rupanya sedang mengalami pergeseran ke arah perilaku hedonis yang mengedepankan hedone (kenikmatan ragawi) sebagai ukuran idealitas yang harus dikejar. Pimpro harus memperoleh bagian dari pelaksanaan proyek meskipun mengurangi kualitas, legislatif lebih banyak mengedepankan performance (sinyalemen Nurcholish Madjid, Senayan sudah menjelma menjadi show room mobil mewah), wong cilik mengedepankan eksploitasi "ketertindasan" mereka sehingga cepat marah dan main geruduk atas nama rakyat tertindas. Kiai pun mulai menyukai gemerlapannya hidup yang berlawanan dengan pesan-pesan ilmu hakikat. Pendulum jam itu telah berayun dan gerak kebudayaan tak akan kembali ke masa silam hingga diperlukan kesadaran akan zaman yang sudah edan supaya orang arif tidak ikut-ikutan ngedan melainkan untuk jadi eling lawan waspada.

Nah, sikap Kirun dan Waldjinah, yang tak mau melayani order (tanggapan) selama Ramadan, boleh jadi merupakan contoh manusia Jawa melihat diri sendiri melalui tirakat. Mereka tak tergoda uang honorarium, sebaliknya malah menghabiskannya untuk menjamu buka puasa dan tarawih. Namun, boleh jadi mereka masih menjadi pemenang musiman saja, karena setelah lebaran order akan makin seru dan popularitas semakin melejit sebagaimana layaknya dunia selebritas. Meniru perilaku Bima atau Kanjeng Nabi, bagi sebagian orang Jawa boleh jadi laksana mengejar bayangan karena mereka terlalu tinggi untuk digapai seperti ungkapan Mangkunagara IV dalam Serat Wedhatama: "lamun sira paksa nulad tuladhaning Kanjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah" (kalau kalian memaksa diri mengikuti keteladanan Kanjeng Nabi, maka akan terlalu jauh langkahmu).

Karena itu, sering kali tirakat menjadi sebuah "jeda kemanusiaan" yang harus dilakukan susah payah seperti puasa seharian tetapi akan dibayar lunas manakala beduk magrib tiba, bahkan sering berlebihan sehingga makan sampai kemlekaren (terlalu penuh) dan menyergap istri sebelum habis menghitung tasbih. Lalu siapa yang paling beruntung ketika laku tirakat selama puasa itu selesai? Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jaminan termasuk para narasumber di televisi yang ngomong hingga mulutnya berbusa-busa itu itu. Wallahu a'lam bissawab. (72c)


Oleh Abdul Djamil



Wednesday, 2 September 2015

Jodoh Anda menurut primbon Jawa


 

Dalam primbon Jawa perjodohan dihitung berdasarkan neptu, yaitu angka yang melambangkan tiap hari dan pasaran. Untuk mengetahui hari dan pasaran Anda, silakan klik tombol ‘Cari Wuku Anda’ di Horoskop Jawa pada situs ini. Setelah itu jumlahkan neptunya dari daftar di bawah ini (berlaku untuk lelaki dan perempuan).

 

Hari :                                                                                   Pasaran :


No
Hari
Neptu
 
No
Pasaran
Neptu
1
Minggu
5
 
1
Pahing
9
2
Senin
4
 
2
Pon
7
3
Selasa
3
 
3
Wage
4
4
Rabu
7
 
4
Kliwaon
8
5
Kamis
8
 
5
Legi
5
6
Jum’at
6
 
 
 
 
7
Sabtu
9
 
 
 
 



Lelaki yang lahir Minggu Pahing (neptu 14).
Ramah, tidak banyak bicara, suka menolong, hemat, sabar dan suka mengalah. Sifatnya yang pendiam membuatnya sulit mengungkapkan kemarahan sehingga ketika kemarahan menumpuk bisa meledak tak terkendali.
Jodohnya adalah perempuan dengan neptu 7, 9, 10, 12, dan 13.

 

  • Lelaki yang lahir Minggu Pon (neptu 12).
    Sayang istri, ramah, rendah hati, mudah tersinggung, kurang giat dalam bekerja tapi rejekinya lumayan.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 9, 10, 11, 14, dan 16.

 

  • Lelaki yang lahir Minggu Wage (neptu 9).
    Banyak bicara, berbakat jadi pemimpin, cerdas, pandai menyimpan rahasia, dan peka terhadap lingkungannya.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 10, 12, 14, dan 16.

  • Lelaki yang lahir Minggu Kliwon (neptu 13).
    Jujur, ramah, sabar, pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang lain. Rejekinya lumayan banyak, tapi boros.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 10, 12, 14, 16, dan 18.

  • Lelaki yang lahir Minggu Legi (neptu 10).
    Bisa melakukan pekerjaan apapun, agak pendiam tapi ramah, dan suka memendam kemarahan. Pandai mencari uang tapi tidak pandai menyimpannya.
    Jodohnya adalah perempuan dengan neptu 8, 10, 11, 14, dan 18.

  • Lelaki yang lahir Senen Pahing (neptu 13).
    Lugu, mudah dibohongi, sabar, dan disukai banyak orang.

Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 10, 14, dan 18.


  • Lelaki yang lahir Senen Pon (neptu 11).
    Mudah bosan, kurang teliti, cenderung tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, rejekinya sedang-sedang saja.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 10, 12, 14, dan 16.

 

  • Lelaki yang lahir Senen Wage (neptu 8).
    Sensitif, pemberani, agak pendiam, banyak rejekinya.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 10, 11, 12, 13, dan 16.

  • Lelaki yang lahir Senen Kliwon (neptu 12).
    Menjunjung sopan santun, pandai menyimpan rahasia, kurang tegas, dan agak egois. Jodohnya perempuan dengan neptu 9, 11, 14, dan 16.

  • Lelaki yang lahir Senen Legi (neptu 9).
    Keinginannya kuat, mau menang sendiri, penuh perhatian pada keluarga, dan agak boros.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 10, 12, 14, dan 16.

  • Lelaki yang lahir Selasa Pahing (neptu 12).
    Menyukai hal-hal kebatinan, suka menolong, cerdas tapi agak pemarah dan angkuh. Jodohnya perempuan dengan neptu 10, 11, 14, 16, dan 18.

  • Lelaki yang lahir Selasa Pon (neptu 10).
    Egois, mudah tersinggung, tekun dalam bekerja, royal dengan hartanya.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 11, 13, 14, dan 18.

  • Lelaki yang lahir Selasa Wage (neptu 7).
    Suka menyendiri, mata keranjang, dan rejekinya banyak tapi boros.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 10, 12, 14, dan 16.

  • Lelaki yang lahir Selasa Kliwon (neptu 11).
    Seleranya tinggi, pandai menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, sangat berani dalam mengambil resiko, dan suka berspekulasi.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 8, 10, 12, dan 16.

  • Lelaki yang lahir Selasa Legi (neptu 8).
    Banyak bicara, suka kebersihan, pembosan, senang jalan-jalan.
    Jodohnya perempuan dengan neptu 10, 11, 13, dan 14.

Saturday, 20 September 2014

Pakaian Jawa

BUSANA-JAWA
 
Makna Yang Tersirat Dalam Busana Tradisional Jawa Lengkap  

 

Busana adat Jawa biasa disebut dengan busana kejawen mempunyai perlambang tertentu bagi orang Jawa. Busana Jawa penuh dengan piwulang sinandhi ( ajaran tersamar ) kaya akan ajaran Jawa. Dalam busana Jawa ini tersembunyi ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, diri sendiri maupun Tuhan Yang Maha Kuasa Pencipta segalanya.  
Pakaian adat yang dikenakan pada bagian  kepala  adalah, seperti iket, udheng : dibagian tubuh ada rasukan ( baju ) : jarik sabuk, epek, timang dibagian belakang tubuh yakni keris dan dikenakan dibagian bawah atau bagian kaki yaitu canela. 
Penutup Kepala
Untuk bagian kepala biasanya orang Jawa kuna ( tradisional ) mengenakan "iket" yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus kenceng ( kuat ) supaya ikatan tidak mudah terlepas. Makna iket dimaksudkan manusia seyogyanya mempunyai pemikiran yang kenceng, tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang.
Hampir sama penggunaannya yaitu udheng juga, dikenakan di bagian kepala dengan cara mengenakan seperti mengenakan sebuah topi. Jika sudah dikenakan di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena ujud dan fungsinya sama. Udheng dari kata kerja Mudheng atau mengerti dengan jelas, faham. Maksudnya agar manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti dan memahami tujuan hidup dan kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Selain itu udheng juga mempunyai arti bahwa manusia seharusnya mempunyai ketrampilan dapat menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang mantap atau mudheng. Dengan kata lain hendaklah manusia mempunyai ketrampilan yang profesional.
Busana kejawen seperti beskap selalu dilengkapi dengan benik ( kancing baju ) disebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam benik itu adalah agar orang ( jawa ) dalam melakukan semua tindakannya apapun selalu diniknik, diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain, dapat , menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Sabuk
( ikat pinggang ) dikenakan dengan cara dilingkarkan ( diubetkan ) ke badan. Ajaran ini tersirat dari sabuk tersebut adalah bahwa harus bersedia untuk tekun berkarya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah manusia harus ubed ( bekerja dengan sungguh-sungguh ) dan jangan sampai kerjanya tidak ada hasil atau buk ( impas/tidak ada keuntungan ). Kata sabuk berarti usahakanlah agar segala yang dilakukan tidak ngebukne. Jadi harus ubed atau gigih.

Epek
bagi orang jawa mengandung arti bahwa untuk dapat bekerja dengan baik, harus epek ( apek, golek, mencari ) pengetahuan yang berguna. Selama menempuh ilmu upayakan untuk tekun, teliti dan cermat sehingga dapat memahami dengan jelas.

Timang
bermakna bahwa apabila ilmu yang didapat harus dipahami dengan jelas atau gamblang, tidak akan ada rasa samang ( khawatir ) samang asal dari kata timang.

Jarik
atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik ( jangan mudah iri terhadap orang lain ). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati, tidak grusa-grusu ( emosional )

Wiru
Jarik atau kain dikenakan selalu dengan cara mewiru ( meripel ) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron ( rimple ) diperoleh dengan cara melipat-lipat ( mewiru ). Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan wiwiren aja nganti kleru, kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis.

Bebed
adalah kain ( jarik ) yang dikenakan oleh laki-laki seperti halnya pada perempuan, bebed artinya manusia harus ubed, rajin bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan " tumindak nggubed ing rina wengi " ( bekerja sepanjang hari )

Canela
mempunyai arti " Canthelna jroning nala " ( peganglah kuat dalam hatimu ) canela sama artinya Cripu, Selop, atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-NYA. Dalam hati hanyalah sumeleh ( pasrah ) kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.  

Curiga
lan warangka
Curiga atau keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat di dalam warangka atau wadahnya. Curiga dikenakan di bagian belakang badan. Keris ini mempunyai pralambang bahwa keris sekaligus warangka sebagaimana manusia sebagai ciptaan dan penciptanya Yatu Allah Yang Maha Kuasa, manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa untuk ngungkurake godhaning setan yang senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak kebaikan.
nenengga kamulyaning jaman jawi 
iba bingahing penggalihipun
nalika pra putra wayah sami
oleha saripatining kaweruh
 
niba sarwo remen
inggih katon sami reja
nandur kawus tukul
okeh priyayi amiluhur
 

Tags

Recent Post