Latest News

Showing posts with label Agama. Show all posts
Showing posts with label Agama. Show all posts

Saturday 22 September 2018

Dakwah Bajik dan Bijak

Mengajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia paling tahu tentang orang-orang yang mendapat hidayah (QS an-Nahl [16]: 125).


Oleh : Hadiri Abddurrazaq
Geotimes.co.id - Dakwah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama Muslim. Ia laksana napas yang menyuplai nadi-nadi keberagamaan agar terus berdenyut. Jika diibaratkan tanaman, ia adalah air dan pupuk. Tanaman tanpa air perlahan akan layu, kering, lalu mati. Kehidupan beragama tanpa dinamika dakwah akan kehilangan daya untuk kemudian mati.
Secara sederhana, dakwah berarti ajakan, seruan, panggilan. Kegiatan dakwah bersifat mengajak, menyeru, dan memanggil orang untuk percaya dan taat kepada Allah Swt sesuai dengan garis ajaran-Nya—mencakup akidah, syariat, dan akhlak. Orang yang melakukan kegiatan dakwah dinamai dai atau disebut juga muballigh, yakni orang yang menyampaikan (Arab: ballagha) ajaran Islam.
Mula-mula, kegiatan dakwah dilakukan para Nabi dan Rasul sebagai pembawa berita dari Tuhan serta pengemban ajaran atau risalah-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Konon Nabi Nuh as berdakwah selama 950 tahun lebih. Dinyatakan dalam QS al-A‘râf (7) ayat 59, Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Maka ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tiada tuhan bagi kalian selain Dia. Sungguh, (kalau kalian tidak menyembah Allah) aku takut kalian akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat).”
Nabi Muhammad Saw menerima wahyu dari Allah Swt melalui malaikat Jibril di usianya yang ke-40. Setelah itu beliau melakukan dakwah, dimulai dari lingkup terbatas kepada istrinya, keluarganya, dan teman-teman dekatnya. Kemudian kepada penduduk Makkah, Madinah, dan terus meluas ke wilayah-wilayah lain di tanah Hijaz dan sekitarnya. Bisa dikatakan bahwa kehidupan beliau setelah menerima wahyu seluruhnya adalah dakwah. Lalu diikuti oleh para sahabat, tabiin serta generasi-generasi berikutnya hingga kini—menjejaki beliau dalam berdakwah sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama Muslim.

Dinamika Dakwah

Makna dakwah secara konvensional menunjuk pada kegiatan-kegiatan serupa pengajian, tablightaushiyah, dan ceramah agama. Akan tetapi secara hakikat fungsional, dakwah mencakup aspek sangat luas, dengan ragam metode serta medianya yang terus berkembang, mengingat bahwa tujuan utama dakwah adalah meraih rida Allah Swt demi terwujudnya kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Muatan serta unsur-unsur dakwah ada dalam pelbagai bidang kehidupan. Di bidang sosial-politik, unsur dakwah menyentuh aspek tujuan maupun strategi bagaimana meraih kekuasaan dan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kebenaran sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Di bidang ekonomi, dakwah berfungsi mengendalikan transaksi bisnis agar bebas dari tindak kecurangan. Di bidang hukum, dakwah mengawal proses kehidupan sosial demi tegaknya keseimbangan dan keadilan.
Ketika teknologi komunikasi dan informasi mencapai tingkat kemajuan cukup dahsyat, dakwah dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang kreativitas; bagaimana nilai-nilai luhur dari ajaran agama bisa mengejawantah dalam keseharian hidup umat di tengah arus zaman yang terus bergerak. Dengan kreativitas, muatan serta unsur-unsur dakwah masuk ke dunia hiburan seperti pertunjukan lakon, film, dan semacamnya.
Dalam konteks kekinian, media sosial menjadi ruang ekspresi yang cenderung tak terbatas (unlimited). Melalui media ini, apa pun bisa disiarkan: dari nasihat, cerita bijak dan inspiratif, ekspresi kebahagiaan, keprihatinan, harapan, pujian dan doa hingga curahan hati, ekspresi kegalauan, kekesalan, sumpah serapah, rayuan, olok-olokan, ujaran kebencian, propaganda, agitasi, fitnah, pornografi, erotisme, dan lain sebagainya. Media ini juga bisa menjangkau semua lapisan: dari pegawai rendahan hingga presiden, dari kuli panggul hingga konglomerat, dari orang awam hingga ulama terkenal atau kalangan bangsawan.
Pembaruan (update) status, berbagi tautan berita atau artikel, rekaman suara, foto, dan video merupakan aktivitas harian media sosial. Dakwah mesti masuk ke jaringan ini. Para dai dan muballigh dituntut mampu mengkreasikan dakwah dengan berbagai layanan teknologi yang terus berkembang.

Dakwah dengan Hikmah

Ada dua aspek dakwah yang tak dapat dipisahkan, yaitu muatan atau isi pesan dan metode penyampaian. Dakwah menyangkut kedua-duanya sekaligus. Poin pentingnya adalah bagaimana pesan dakwah berupa kebenaran dan kebajikan universal tersampaikan dan mencapai sasaran.
Untuk itu, penting memerhatikan arahan QS an-Nahl (16) ayat 125 bahwa dakwah hendaknya dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik (mau‘izhah hasanah), dan bantahan atau respons (mujâdalah) dengan cara yang terbaik. Menurut Ibn Rusyd, dakwah dengan hikmah yaitu dakwah dengan pendekatan substansi, mau‘izhah hasanah artinya retorika yang efektif dan populer, dan mujâdalah berarti merespons bantahan dialektis dengan bajik dan bijak.
Dr. Sa‘id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, seorang ulama yang aktivitas dakwahnya dikenal luas di dunia (Arab) Islam, menguraikan pemaknaan “hikmah” dalam bukunya, al-Hikmah fi ad-Da‘wah ilâ Allâhi Ta‘âlâ. Ia menyebut terdapat puluhan pandangan ulama tentang makna “hikmah” dalam al-Quran dan Hadits Nabi Saw, yang satu dengan lainnya bersinggungan dan saling melengkapi.
Dari berbagai pandangan para ulama, al-Qahthani memaknai “hikmah” dalam dua pengertian: al-ishâbah fi al-aqwâl wa al-af‘âl, wa wadh‘u kulli syai’in fî maudhi‘ihî; yakni ketepatan dalam berkata-kata dan berbuat, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Apa yang diucapkan dai adalah kebajikan dan kebenaran, yang ia sendiri mengamalkannya, disampaikan dengan bijak sesuai konteks dan peruntukannya.
Ibn ‘Asyur memaknai “hikmah” dalam Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr sebagai al-ma‘rifah al-muhkamah atau pengetahuan yang benar, tepat, dan akurat; bebas dari unsur-unsur kepentingan, kecurangan, dan penyimpangan. Dinyatakan dalam QS al-Baqarah (2) ayat 269, Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan siapa dianugerahi al-hikmah, maka ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan berlimpah…
Dakwah dengan hikmah mencakup semua unsur mulai dari ketepatan subjek dan obyeknya, kebenaran isi dan relevansinya, kesesuaian pernyataan dan kenyataannya, teks dan konteksnya, waktu dan tempatnya, cara dan metode penyampaiannya hingga kegunaan, tujuan, dan manfaatnya.
Dakwah dengan mau‘izhah hasanah dan mujâdalah pun merupakan bagian dari hikmah, yang mesti merefleksikan kebenaran, ketepatan, kesesuaian, dan keserasian. Inilah makna dari dakwah bajik dan bijak. Wallâhu a‘lam

Mengokohkan Agama dan Nasionalisme di Bumi Nusantara

Oleh : Redaksi jalandamai.org
JALANDAMAI.ORG-Hubungan antara nasionalisme dan agama di berbagai negara selalu menemukan perbincangan menarik tidak terkecuali di Indonesia. Sejatinya dua entitas ini tidak sepadan untuk dipertentangan. Negara adalah wilayah tempat tinggal yang bersifat profan, sementara agama adalah keyakinan spritual yang bersifat sakral. Namun, keduanya seolah bertentangan ketika negara menuntut loyalitas yang berkaitan dengan keyakinan dan agama menuntut eksistensi teritorial berkaitan dengan kekuasan.

Gagasan nasionalisme yang lahir dari Eropa yang melahirkan konsep negara bangsa (nation-state) ini membatasi ruang secara geografis dalam kawasan geopolitik tentang kesamaan nasib dan impian hidup bersama yang disatukan oleh satu kesepakatan. Pancasila adalah salah satu contoh kesepakatan bernegara  sebagai pengikat dari keragaman suku, agama, ras dan bahasa. Di sisi lain, agama sebutlah Islam merupakan identitas trans nasional yang melampuai batas geogarfis. Kecintaan terhadap nation state terbatas pada wilayah perjanjian, sementara kecintaan agama melampuai batas negara.
Dari konsepsi tersebut lahirlah sebuah kenyataan nasionalisme mewujudkan kecintaan terhadap batas wilayah, sementara agama menuntut kecintaan melampaui batas wilyah. Satu sisi nasionalisme menjadi pondasi dalam membangun keyakinan loyalias terhadap negara. Sementara di pihak lain impian membangun negara agama tentu saja akan selalu lahir sebagai tantangan terhadap konsep nation state.
Namun, apakah pilihan hubungan ini harus selalu dinyatakan bahwa kita harus memilih satu dari keduanya entah nasionalisme atau agama. Apakah tidak ada pilihan lain yang dapat menyatukan keduanya?
Faktanya, impian melakukan tran-nasionalisasi negara agama tidak pernah terwujud sepanjang sejarah. Apakah negara yang berlandaskan pada hukum agama saat ini juga mengingankan ekspansi kewilayahan. Sebutlah Arab Saudi, Qatar, Yaman, Sudan dan lainnya berusaha menyatukan intas kewilayan berdasarkan perasaan agama. Bukankan dalam negara berlandaskan Islam itupun mereka sadar batas wilayah dan kecintaan terhadap negaranya.
Kekuasaan Islam yang melampaui batas wilayah pada era keemasannya pun tidak bisa disebut sebagai model tersukses yang wajib diduplikasi pada masa kekinian. Intrik politik pada masa itu, pertentangan, kudeta, konflik, peperangan, perang saudara bahkan antar satu keluarga memperebutkan kekuasaan merupakan sisi cermin hitam yang tidak pernah dilirik selain kesuksesannya. Negara-negara di Timur Tengah pun yang berlandaskan Islam tidak juga pernah bergairah untuk menyatukan diri.
Tidak mengherankan jika orang mengatakan bahwa kelompok yang gigih memperjuangkan negara transnasional berdasarkan agama adalah ilusi. Mereka tidak hanya gigih memegang impian tetapi juga gigih bermimpi terhadap sesuatu yang tidak ada landasan doktrinal dan faktual. Lebih mengerikan jika perjuangan terhadap nilai ilusi ini diteguhkan dengan kekerasan dan tindakan teror.
Pilihan realistis dari bebragai perubahan dan keragaman sebagai watak sejarah manusia adalah membangun wilayah dengan kesamaan impian, yang saling menghormati tanpa ada dominasi identitas tertentu.  Sejatinya Madinah pada masanya merupakan contoh membangun wilayah nyaman dengan keragaman. Penghormatan terhadap perbedaan suku dan agama pada masa itu sangat ditekankan.
Agama dalam kawasan dengan semangat nasionalisme tidak juga pernah punah. Artinya nasionalisme tidak sama sekali memusnahkan kecintaan terhadap agama. Kecintaan terhadap agama dirawat dengan adanya jaminan kebebasan untuk menjalankan dan mengekspresikan keyakinan.
Agama adalah fitrah manusia, tetapi mencintai tanah air tempat kelahiran juga menjadi fitrah manusia. Tidak heran jika sesaat sebelum berhijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW., yang lahir di Mekkah berucap kepada tumpah darahnya bahwa:
“Sesungguhnya engkau (wahai Mekkah) adalah sebaik-baik negeri Allah dan negeri Allah yang paling kucintai. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak diusir, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu (HR. Ibn Majah, Ahmad, at-Tirmidzy, dll.). artinya, mengekspresikan kecintaan terhadap tanah kelahiran bukan sesuatu yang tabu, dilarang, apalagi kalimat emosional haram.

Perasaan mencintai tanah air dan mereka yang berdiam diri dalam kwasan itu tidak juga disebut sebagai tindakan fanatis yang dapat merusak keimanan. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW.,: “Apakah termasuk fanatisme (yang terlarang) bila seseorang mencintai kaumnya?”  Nabi saw. Menjawab: “Tidak! Fanatisme yang terlarang adalah seseorang yang membantu kaumnya/bangsanya atas kezaliman (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan ath-Thabarany).
Nah, Indonesia telah berhasil melewati fase ujian kritis hubungan nasionalisme dan agama. Bangsa ini telah sukses mengawinkan agama dan nasionalisme sebagai identitas bangsa yang tidak bisa dipisahkan. Gejolak politik dalam fase tertentu dari perubahan politik dan kepemimpinan tidak bisa meruntuhkan konsepsi bernegara. Kerikil kecil selalu muncul untuk mengungkitkan kembali dua entitas itu untuk dipertentangkan. Hasilnya Indonesia kokoh dengan naisonalisme yang dismengati oleh agama.
Suara sumbang tentang nasionalisme haram atau penghormatan terhadap bendera haram muncul kemudian dari kelompok kecil yang tidak matang dalam memahami sejarah bangsa dan kedalaman pemikiran agama. Seorang ulama besar bangsa ini sekaligus Pahlawan Nasional, KH Hasyim Asy’ary, telah tegas mengatakan “Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama dan keduanya saling menguatkan”.

Hijrah Kebangsaan: Energi Hijrah untuk Bangsa

JALANDAMAI.ORG-Peristiwa hijrah Nabi Muhammad yang sangat monumental dari Makkah ke Madinah menjadi peristiwa besar dalam sejarah Islam. Peristiwa ini menjadi momentum titik awal kelahiran sekaligus kebangkitan peradaban Islam di tengah peradaban dunia pada saat itu. Penetapan peristiwa ini sebagai awal kalender dalam Islam sangat tepat. Artinya, setiap tahun umat Islam didorong untuk merefleksikan semangat perubahan sebagai tonggak awal peradaban Islam.

Penetapan peristiwa hijrah sebagai awal tahun dalam kalender Islam seakan ingin mengatakan bahwa kelahiran Islam bukan dilacak dari kelahiran sang tokoh pembawa risalah, tetapi dari kelahiran sejarah peradabannya. Dan itu dimulai dari momentum hijrah. Setiap tahun umat Islam diajak untuk memperbaharui semangat untuk lahir dan bangkit sebagaimana peristiwa hijrah.
Hijrah bukan sekedar peristiwa sosial sebagai bagian dari strategi politik yang dilakukan oleh Nabi. Dalam Islam hijrah dimaknai sebagai perintah dan kewajiban. Tentu saja hijrah merupakan tindakan yang berat pada saat itu untuk meninggalkan kampung halaman dan berpisah dengan keluarga. Namun, umat Islam percaya hijrah adalah perintah Tuhan dan janji kemenangan yang akan diraih. Fakta pun memang menegaskan hijrah adalah awal mula kelahiran sekaligus kemenangan Islam untuk membangun sebuah peradaban.
Lalu, pertanyaannya bagaimana umat Islam merefleksikan makna hijrah saat ini dalam konteks berbangsa? Tentu saja, pemaknaan hijrah saat ini bukan secara fisik. Umat Islam yang sudah diikat dengan identitas nasionalitas di masing-masing negara tidak berarti harus berpindah tempat. Faktor yang menyebabkan kewajiban untuk hijrah sepertinya adanya intimidasi, keterbatasan beribadah, dan ketertindasan umat Islam tidak ditemukan.
Makna hijrah dengan berpindah tempat dari negeri tidak aman ke negeri yang aman saat ini tidak relevan, apalagi dalam konteks Indonesia. Setidaknya, ada tiga makna hijrah yang sangat relevan untuk dikontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Pertama, hijrah dimaknai sebagai energi perubahan ke arah yang lebih baik. Momentum hijrah adalah perpindahan Nabi dari Makkah yang mengalami tekanan dari orang Quraisy menuju kota madinah. Hijrah bertujuan untuk keluar dari kondisi intimidasi, provokasi, ketidakamanan, kekerasan, bahkan ancaman pembunuhan menuju daerah yang lebih aman.
Dari semangat itu, pemaknaan hijrah dalam konteks kebangsaan adalah perubahan mental dan sikap umat Islam menuju sikap yang dapat mewujudkan kondusifitas, keamanan dan kenyamanan. Umat Islam harus segera melakukan transformasi dari sikap dan tindakan yang menyuburkan perpecahan seperti ujaran kebencian, saling provokasi, intimidasi menuju sikap santun, sopan, dan ramah yang dapat menciptakan kondisi yang aman, harmonis dan saling menghormati.
Kedua, hijrah dimaknai sebagai energi merekatkan persaudaraan sesama muslim. Lihatlah momentum hijrah juga memberikan satu pelajaran tentang persaudaran antara sahabat muhajirin (orang yang berhijrah) dan sahabat anshor (orang menolong). Sikap tolong menolong dalam kebaikan diperlihatkan oleh sahabat anshor yang menerima kedatangan umat Islam dari Makkah tanpa membawa bekal apapun. Momentum tidak membelah identitas pendatang dan penduduk asli tetapi justru menyatukan persaudaraan umat Islam .
Semangat ini penting ditegaskan kembali untuk menyatukan umat dari berbagai perbedaan. Semangat hijrah mengajarkan bahwa perbedaan sesama umat Islam karena latar suku, bahasa dan etnik bukan halangan untuk bersatu dalam satu ikatan persaudaraan keimanan dalam konteks berbangsa. Inilah yang ditunjukkan oleh ikatan persaudaraan kaum muhajirin dan anshor di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Ketiga, hijrah dimaknai sebagai energi perdamaian dalam keragaman. Madinah atau Yastrib pada saat sebelum peristiwa hijrah merupakan kota dengan berbagai perbedaan suku dan agama. Konflik kerap terjadi berdasarkan sentimen kesukuan. Kedatangan Nabi ke Madinah tidak hanya mendapatkan tempat berlindung, tetapi juga sebagai mediator yang bisa diterima untuk mendamaikan perbedaan yang kerap muncul di tengah masyarakat Madinah. Nabi berhasil menyatukan masyarakat Madinah dalam satu kondisi damai dan hamonis dalam konsensus yang monumental yang dikenal dengan Piagam Madinah sebagai perawat perdamaian dalam keragaman.
Semangat perdamaian merupakan energi dari hijrah yang sangat relevan dikontenstualisasikan dalam kondisi berbangsa dan bertanah air saat ini. Keragaman budaya, suku, etnik dan bahasa di Indonesia merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihapus dan dinafikan. Inilah corak dan karakter bangsa. Tugas masyarakat adalah merawat perdamaian tersebut untuk selalu menjadi energi pemersatu bangsa melalui semangat hijrah.
Dengan demikian, dalam konteks berbangsa, pemaknaan hijrah melampaui pemaknaan secara fisik. Hijrah mengandung energi perubahan, persaudaraan dan perdamaian. Inilah semangat yang bisa ditanamkan oleh umat Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara saat ini.
Redaksi Jalan Damai

Kesalehan Sosial Dalam Saleh Ritual


JALANDAMAI.ORG-Kekerasan atas nama agama, beberapa dekade ini semakin meningkat. Baik itu kekerasan yang verbal dan fisik. Tindakan ini semakin mengaburkan peran agama sebagai penyempurna akhlak manusia. Di mana agama memberikan aturan-aturan yang begitu detail dalam kehidupan manusia, terlebih agama Islam.

Ironisnya, mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama, selalu menampilkan identitas sebagai orang yang taat dalam menjalankan ritual agama. Penampilan identitas tersebut menambah buruk keadaan wajah agama yang suci itu. Ritual agama seharusnya digunakan sebagai tangga dalam penyempurnaan akhlak manusia. Dan tempat tertinggi dalam keberagaman seseorang adalah akhlak itu sendiri.
Kegelisahan-kegelisahan tersebut kemudian direspon oleh KH. Mustofa Bisri dalam bentuk buku. Dalam kumpulan tulisan ini, beliau memberikan sebuah tindakan bagaimana kita tidak hanya saleh secara spiritual tetapi juga salah secara sosial. Kedua hal ini tidak bisa terpisahkan. Buku ini menjadi oase dan media selayang pandang bagi pembaca. Namun, bagiku sosok Gus Mus adalah sebuah potret sosok yang anti-mainstream ditengah-tengah ulama halal-haram yang merebak di Indonesia.
Dalam kumpulan buku-buku ini, Gus Mus membicarakan secara detail bagaimana seseorang yang beragama dan bersosial harus selaras dan berkesinambungan. Kedua hal tersebut memiliki hal yag sama dan saling berkaitan satu sama lain.
Membicara Gus Mus,  tidak bisa terlepas dari “ kesalehan ritual ” dan “ kesalehan sosial ”. Dengan “ kesalehan ritual ” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablun minallah.
Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.
Gus Mus selalu berbicara dan berkarya melalui fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering dijumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.
Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minan nas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !”( tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !). Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.
Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw. Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “ kesalehan ritual ” dan “ kesalehan sosial ”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.
Gus selalu menjelaskan agar selalu menjadi muslim yang berkesalehan total. Dengan cara demikian, muslim tidak mudah mengkafirkan atau menyesatkan orang lain. Tidak hanya itu, dengan kesalehan secara total akidah seseorang tidak mudah tergoyahkan dengan jabatan atau materi; apalagi dengan mie instan.
Kumpulan esai-esai Gus Mus ini membuat kita mempertanyakan kembali tentang kesalehan kita selama ini. Memberikan pandangan berbeda dengan kyai-kyai lainnya. Tidak hanya itu, titik tekan dalam buku ini adalah bagaimana seseorang yang memiliki agama tidak menindas orang yang tidak beragama. Bahkan orang yang beragama tidak memerkan ke publik, dan yang terpenting adalah beragama itu seperti “kelamin”. Setiap orang wajib memiliki, tetapi tidak memaksa orang lain untuk memeluk.

Tags

Recent Post