JALANDAMAI.ORG-Peristiwa hijrah Nabi Muhammad yang sangat monumental dari Makkah ke Madinah menjadi peristiwa besar dalam sejarah Islam. Peristiwa ini menjadi momentum titik awal kelahiran sekaligus kebangkitan peradaban Islam di tengah peradaban dunia pada saat itu. Penetapan peristiwa ini sebagai awal kalender dalam Islam sangat tepat. Artinya, setiap tahun umat Islam didorong untuk merefleksikan semangat perubahan sebagai tonggak awal peradaban Islam.
Penetapan peristiwa hijrah sebagai awal tahun dalam kalender Islam seakan ingin mengatakan bahwa kelahiran Islam bukan dilacak dari kelahiran sang tokoh pembawa risalah, tetapi dari kelahiran sejarah peradabannya. Dan itu dimulai dari momentum hijrah. Setiap tahun umat Islam diajak untuk memperbaharui semangat untuk lahir dan bangkit sebagaimana peristiwa hijrah.
Hijrah bukan sekedar peristiwa sosial sebagai bagian dari strategi politik yang dilakukan oleh Nabi. Dalam Islam hijrah dimaknai sebagai perintah dan kewajiban. Tentu saja hijrah merupakan tindakan yang berat pada saat itu untuk meninggalkan kampung halaman dan berpisah dengan keluarga. Namun, umat Islam percaya hijrah adalah perintah Tuhan dan janji kemenangan yang akan diraih. Fakta pun memang menegaskan hijrah adalah awal mula kelahiran sekaligus kemenangan Islam untuk membangun sebuah peradaban.
Lalu, pertanyaannya bagaimana umat Islam merefleksikan makna hijrah saat ini dalam konteks berbangsa? Tentu saja, pemaknaan hijrah saat ini bukan secara fisik. Umat Islam yang sudah diikat dengan identitas nasionalitas di masing-masing negara tidak berarti harus berpindah tempat. Faktor yang menyebabkan kewajiban untuk hijrah sepertinya adanya intimidasi, keterbatasan beribadah, dan ketertindasan umat Islam tidak ditemukan.
Makna hijrah dengan berpindah tempat dari negeri tidak aman ke negeri yang aman saat ini tidak relevan, apalagi dalam konteks Indonesia. Setidaknya, ada tiga makna hijrah yang sangat relevan untuk dikontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Pertama, hijrah dimaknai sebagai energi perubahan ke arah yang lebih baik. Momentum hijrah adalah perpindahan Nabi dari Makkah yang mengalami tekanan dari orang Quraisy menuju kota madinah. Hijrah bertujuan untuk keluar dari kondisi intimidasi, provokasi, ketidakamanan, kekerasan, bahkan ancaman pembunuhan menuju daerah yang lebih aman.
Dari semangat itu, pemaknaan hijrah dalam konteks kebangsaan adalah perubahan mental dan sikap umat Islam menuju sikap yang dapat mewujudkan kondusifitas, keamanan dan kenyamanan. Umat Islam harus segera melakukan transformasi dari sikap dan tindakan yang menyuburkan perpecahan seperti ujaran kebencian, saling provokasi, intimidasi menuju sikap santun, sopan, dan ramah yang dapat menciptakan kondisi yang aman, harmonis dan saling menghormati.
Kedua, hijrah dimaknai sebagai energi merekatkan persaudaraan sesama muslim. Lihatlah momentum hijrah juga memberikan satu pelajaran tentang persaudaran antara sahabat muhajirin (orang yang berhijrah) dan sahabat anshor (orang menolong). Sikap tolong menolong dalam kebaikan diperlihatkan oleh sahabat anshor yang menerima kedatangan umat Islam dari Makkah tanpa membawa bekal apapun. Momentum tidak membelah identitas pendatang dan penduduk asli tetapi justru menyatukan persaudaraan umat Islam .
Semangat ini penting ditegaskan kembali untuk menyatukan umat dari berbagai perbedaan. Semangat hijrah mengajarkan bahwa perbedaan sesama umat Islam karena latar suku, bahasa dan etnik bukan halangan untuk bersatu dalam satu ikatan persaudaraan keimanan dalam konteks berbangsa. Inilah yang ditunjukkan oleh ikatan persaudaraan kaum muhajirin dan anshor di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Ketiga, hijrah dimaknai sebagai energi perdamaian dalam keragaman. Madinah atau Yastrib pada saat sebelum peristiwa hijrah merupakan kota dengan berbagai perbedaan suku dan agama. Konflik kerap terjadi berdasarkan sentimen kesukuan. Kedatangan Nabi ke Madinah tidak hanya mendapatkan tempat berlindung, tetapi juga sebagai mediator yang bisa diterima untuk mendamaikan perbedaan yang kerap muncul di tengah masyarakat Madinah. Nabi berhasil menyatukan masyarakat Madinah dalam satu kondisi damai dan hamonis dalam konsensus yang monumental yang dikenal dengan Piagam Madinah sebagai perawat perdamaian dalam keragaman.
Semangat perdamaian merupakan energi dari hijrah yang sangat relevan dikontenstualisasikan dalam kondisi berbangsa dan bertanah air saat ini. Keragaman budaya, suku, etnik dan bahasa di Indonesia merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihapus dan dinafikan. Inilah corak dan karakter bangsa. Tugas masyarakat adalah merawat perdamaian tersebut untuk selalu menjadi energi pemersatu bangsa melalui semangat hijrah.
Dengan demikian, dalam konteks berbangsa, pemaknaan hijrah melampaui pemaknaan secara fisik. Hijrah mengandung energi perubahan, persaudaraan dan perdamaian. Inilah semangat yang bisa ditanamkan oleh umat Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara saat ini.
Redaksi Jalan Damai
No comments:
Post a Comment