Latest News

Showing posts with label Akuntabilitas. Show all posts
Showing posts with label Akuntabilitas. Show all posts

Saturday, 5 September 2015

Dana Desa? Apa Kabar?

Keberadaan UU No 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa sepertinya masih membutuhkan persiapan-persiapan yang matang dalam pelaksanaannya. Persiapan itu harus menyentuh seluruh jenjang baik pemerintah pusat maupun pemerintah desa itu sendiri. Salah satu persiapan tersebut adalah perlunya perubahan susunan kementerian untuk mengurusi dana desa. Namun, sejauh ini belum ada titik temu bahwa Kemendagri akan menyerahkan atau tidak Ditjen PMD ke Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Jika penyerahan itu direalisasikan berarti komitmen untuk membangun desa akan menjadi nyata.

Di satu sisi, realisasi UU Desa itu masih menyisakan keraguan dari berbagai pihak. Sebab, ada tiga hal yang problematik dialami desa yakni kesiapan para pejabat aparatur di pemerintahan desa, penerapan, dan penggunaan anggaran maupun peningkatan fungsi pelayanan masyarakatnya seiring tingginya dana yang diperoleh. Rencana pemerintah yang akan mengucurkan anggaran Rp 1,4 miliar tiap desa setiap tahunnya sebagaimana yang diamanatkan UU Desa masih menimbulkan kekhawatiran pada efektivitas dan transparansi penggunaannya. Pasalnya, dana sebesar itu akan sia-sia jika kesiapan dari pemerintah pusat hingga desa tidak maksimal. Pertanyaanya,  siapkah pemerintah desa mengelola dana desa itu?

Kesiapan

Pada hakikatnya, UU Pemerintahan Desa disahkan bertujuan untuk meningkatkan kepedulian, kontribusi (partisipasi) dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Tujuan itu menunjukkan bahwa kehendak bottom up dalam berjalannya fungsi pemerintahan. Di dalam konsep itu,  masyarakat desa sudah saatnya menjadi pelaku utama dalam kegiatan pembangunan di desa mereka sendiri. Tentu peran serta itu harus diikuti dengan pemahaman yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah masih harus  gencar mensosialisasikan UU Desa itu ke seluruh desa-desa di Indonesia. pasalnya, masih banyak unsur desa yang belum tahu dan paham perihal UU tersebut.

Kemudian, UU itu juga bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Itu berarti bahwa UU No 6 Tahun 2014 memberikan harapan baru dalam meningkatkan peran aparat pemerintah desa sebagai garda terdepan dalam pembangunan dan kemasyarakatan. Saat pelaksanaan UU Desa yang kian mendesak berhadapan dengan perubahan struktur pemerintahan desa yang belum tertata, hal tersebut membuat kondisi menjadi rentan. Jika tidak segera diterapkan, hal itu akan melanggar UU. Namun, jika hal itu dipaksakan dengan kesiapan yang minim, kondisi akan amburadul. Penerapan hanya berhenti pada tataran formalnya. Sementara secara substansi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Memang dalam penerapan sebuah tata kerja yang baru tidak bisa langsung dilakukan dengan sempurna. Namun, kesiapan pemerintahan desa akan lebih meminimalkan persoalan yang terjadi sehingga tujuan utama penerapan UU Desa akan menjadi kenyataan.

Permasalahan

Terdapat sejumlah permasalahan yang ditemukan dalam pengawasan yang dilakukan pada desa selama ini. Hasilnya, masih banyak desa yang belum benar-benar siap untuk menerapkan UU Desa tersebut. Hal itu berhubungan dengan proses dan administrasi pemerintahan yang harus segera diakhiri supaya desa bisa berfungsi dengan baik. Kemudian, ada juga surat pertanggung jawaban yang belum memenuhi syarat formal dan material. Dan juga dari sisi kemampuan kepala desa dengan jajarannya belum mumpuni.

Lagi, seringkali pemeriksaan atasan atas pengelolaan keuangan belum dilaksanakan sesuai ketentuan. Pengelolaan pembangunan dan administrasi pelaksanaan kegiatan pun belum tertib. Selain kemampuan, kedisiplinan juga membuat kekarutmarutan di dalam pemerintahan desa. Parahnya lagi, sering terjadi ketekoran kas desa karena terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan desa. Tunggakan sewa tanah kas desa yang tidak tuntas serta belum lengkapnya buku administrasi keuangan ataupun barang desa. Keadaan itu rentan menjadi indikasi penyelewengan keuangan desa, seperti pemakaian keuangan desa tanpa laporan.

Kemudian, sering juga  timbul penyelewengan dalam pengelolaan keuangan dan aset-aset desa. Hal ini ditengarai inventarisasi dan sistem pembukuan administrasi yang masih semrautan. Contohnya, tidak tertib dalam pembukuan administrasi keuangan, baik buku kas umum (BKU) maupun buku bantu. Bahkan ada pula desa yang tidak membuat BKU. Masih banyak hal yang menjadi kelemahan desa yang harus diperbaiki dan dipersiapkan untuk menghadapi UU baru di desa.

Segera Merampungkan

Pelaksanaan sistem pemerintahan desa di bawah UU Desa yang baru menuntut kesiapan yang sangat baik. Banyak hal yang harus diperhitungkan, direncanakan, dan diawasi pada pelaksanaannya secara kontinu. Diperlukan pengarahan, penyuluhan, serta pendampingan agar benar-benar dilaksanakan sesuai aturan yang ada. Usaha-usaha pun harus segera dilakukan untuk meningkatkan kesiapan pelaksanaan pemerintahan desa.

Pertama, meningkatkan kematangan dalam melaksanakan peraturan yang terkait dengan pemerintahan desa. Pematangan itu dalam bentuk peningkatan terus menerus terhadap pemahaman terhadap materi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tidak hanya UU saja, tetapi juga PP No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demikian juga PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBD. Pematangan itu melibatkan pemerintah pusat, daerah, sampai ke desa.

Kedua, perampungan supaya semua pihak yang terlibat bisa menerima sistem pemerintahan desa yang baru dengan cara yang benar. Keberterimaan itu nantinya akan menentukan keberhasilan tujuan dari penerapan UU Desa. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan sikap mawas diri aparatur sebagai tindakan antisipatif pada pelanggaran, penyalahgunaan, dan penyimpangan yang mungkin terjadi pada pemerintahan desa.

Ketiga, menyediakan pekerja yang memiliki motivasi serta disiplin yang tinggi dalam melaksanakan pemerintahan desa itu. Cara itu bisa direalisasikan melalui perekrutan anggota yang memiliki kemampuan yang mumpuni. Bagi pekerja/pegawai yang sudah ada, cara itu bisa direalisasikan  melalui pendidikan dan pelatihan dengan rutin.

Keempat, target yang harus dicapai aparatur, baik desa maupun lembaga diatasnya. Bagi aparatur desa dituntut memiliki kemampuan dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa, penyusunan APB Desa, maupun penyusunan LPJ Desa. Demikian pula dalam menyusun administrasi pembukuan dan aset pemerintah desa.

Fakta menunjukkan bahwa ketidaksiapan dalam penerapan sistem otonomi daerah beberapa waktu lalu telah mengakibatkan fungsinya jauh panggang dari api. Hal itu tidak boleh terjadi terhadap desa kita. Kesiapan yang lebih baik akan jauh bermanfaat daripada penerapan yang tergesa-gesa dan dipaksakan. Namun, berkutat pada hal-hal yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat desa sehingga menjadi hambatan, juga bukan tindakan yang bijak. Harapannya, pemerintah dari pusat hingga desa siap untuk mewujudkan UU desa tersebut.

Diolah dari sumber: batampos.co.id, 3 September 2015

Saturday, 11 July 2015

Alokasi Dana Desa, Dana Desa, dan Bagi Hasil Pajak Dan Retribusi Daerah

Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertujuan memberikan pengakuan dan kejelasan kepada desa akan status dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Negara memberikan kewenangan Desa dalam melestarikan adat dan tradisi serta budaya masyarakat Desa. Desa juga diberikan kewenangan dalam pembangunan untuk memprakasa dan peran partisipasi yang besar dalam rangka menggali potensi Desa dengan mendorong Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan di Desa dengan tujuan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang akhirnya memberikan kesejahteraan bersama dan menempatkan Desa sebagai subjek dari pembangunan. Kedudukan ini memberikan angin segar kepada Desa dalam proses percepatan dan pemberdayaan masyarakat di Desa. Tentu kedudukan tersebut harus didukung dengan sumber pembiayaan yang memadai. Dalam Pasal 71 sampai dengan 75 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur sumber-sumber pembiayaan di Desa, sumber-sumber pendapatatan di Desa seperti Pendapatan Asli Desa, Alokasi dari APBN, Bagi Hasil dari Pajak dan Retribusi Kabupaten, Bantuan Keuangan dari Provinsi dan Kabupaten, Hibah atau sumbangan Pihak Ketiga yang tidak mengikat serta Lain-lain Pendapatan Desa yang sah. Pendapatan Desa yang tersebut diatas ada beberapa rincian yang menjadi kewajiban dari Pemerintah Daerah yang apabila tidak dilaksanakan tentu akan berakibat diberikan sanksi oleh Pemerintah Pusat. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan sumber Pendapatan Desa yang di transfer dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ke Rekening Kas Desa yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten Natuna.

ALOKASI DANA DESA
Alokasi Dana Desa yang dikenal dengan ADD adalah alokasi dana ke desa dengan perhitungan dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Kabupaten sebesar 10% setelah dikurangi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dasar hukum pengalokasian Dana Perimbangan ke Desa sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 72 ayat (4), jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka sanksi tegas dinyatakan dalam Pasal 72 ayat (6), dimana Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi Dana Perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 96 ayat (3) pengalokasian ADD dengan pertimbangan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis. Ketentuan mengenai penggunaan anggarannya sudah diatur dengan jelas.Tata Cara Pengalokasian ADD diatur dengan Peraturan Bupati Natuna Nomor 57 Tahun 2014, dalam peraturan tersebut pembagian Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM) dan Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP).Dengan formulasi yang jelas. Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM) sebesar 60% adalah alokasi dana desa yang dibagi secara merata dengan formulasi Dana Perimbangan dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK), kemudian dikalikan 10%, dari hasil 10% dikalikan 60% dan dibagi dengan jumlah Desa yang ada di Kabupaten Natuna. Sedangkan untuk Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP) adalah 40% dari Dana Perimbangan dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) atau sisa dari Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM), pembagian ke desa dengan meperhatikan indeks/variebel yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Bupati.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dibawah ini :Penentuan bobot diatas ditetapkan dengan Peraturan Bupati, khusus untuk Bobot Kesulitan Geografis langsung ditetapkan oleh Kementerian.Setelah dihitung berdasarkan formulasi diatas selanjutnya alokasi per desa untuk Alokasi Dana Desa (ADD) ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati tentang Perkiraan Alokasi Sementara untuk Alokasi Dana Desa (ADD). Penetapan dilakukan sementara dikarenakan realisasi yang masuk ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) berdasarkan transfer dari Pemerintah Pusat dan untuk diketahui, komposisi Dana Perimbangan beberapa obyek dan rincian obyek pendapatan Dana Perimbangan, penyaluran ke Rekening Kas Umum Daerah menggunakan beberapa regulasi dan penyaluran secara bertahap sesuai dengan realisasi dari pendapatan itu tersebut.

DANA DESA
Dana Desa adalah Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Ketentuan yang mengatur Dana Desa adalah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengalokasian Dana Desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Pasal 11 ayat (3) mengatur bobot untuk jumlah penduduk sebesar 30%, luas wilayah 20% dan angka kemiskinan sebesar 50% dan dikalikan dengan Indeks Kemahalan Kontruksi Kabupaten. Data-data yang digunakan adalah sumber data dari perhitungan Alokasi Dana Umum (DAU). Kemudian Peraturan Pemerintah tersebut direvisi dengan rincian untuk jumlah penduduk bobotnya sebesar 25%, luas wilayah 10%, angka kemiskinan 35% dan Indeks Kesulitan Geografis sebesar 30%. Formulasi penghitungan Dana Desa ke Desa yang sudah diterima Kabupaten adalah sebagai berikut :

BAGI HASIL PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 ayat (1), Pemerintah Kabupaten mengalokasikan 10% dari realisasi penerimaan bagi hasil pajak dan retribusi daerah. Pengalokasian ke Desa dengan komposisi 60% dibagi secara merata dan 40% dibagi secara proporsional dari realisasi pajak dan retribusi masing-masing Desa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 ayat (2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Formulasi perhitungannya sebagai berikut :

TATA CARA PENYALURAN
Penyaluran untuk Alokasi Dana Desa dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah ke Desa dilakukan secara bertahap sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Pasal 99 ayat (1) dan selanjtunya diatur dengan Peraturan Bupati. Penyaluran Alokasi Dana Desa dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah ke Desa harus mempertimbangkan estimasi kemampuan di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Khusus untuk Alokasi Dana Desa, Peraturan Bupati yang mengatur Tata Cara Pengalokasi Alokasi Dana Desa, harus mempedomani aturan-aturan lainnya seperti Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada tahun 2015 menggunakan PMK Nomor 241/PMK.07/2014. Serta menggunakan PMK Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Kedua aturan tersebut harus menjadi pertimbangan karena dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Daerah diatur oleh dua peraturan tersebut. Oleh karena itu, dalam Peraturan Bupati mengenai tata Cara Alokasi Dana Desa diatur mekanisme mengikuti dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Tata Cara penyaluran Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah ke Desa juga menjadi hal yang harus mendapat perhatian khusus, tujuannya agar penyaluran dan alokasinya tepat, kata kunci dari alokasi Bagi Hasil Pajak dan Retribusi adalah memperhatikan realiasi dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan cermat dan terukur. Sedangkan penyaluran untuk Dana Desa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19dilakukan secara bertahap dengan 3 (tiga) kali tahapan yaitu tahap I pada bula April (40%), tahap II pada bulan Agustus (40%) dan tahap ketiga pada bulan Nopember (20%). Penyaluran Dana Desa tersebut dapat dilakukan apabila Peraturan Bupati mengenai tata cara pengalokasian Dana Desa sudah ditetapkan dan disampaikan kepada Menteri. Penyaluran Dana Desa ke RKUD mengikuti persyaratan dari Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah dan perubahannya Nomor 65 Tahun 2010. Persyaratan tersebut mutlak dipenuhi oleh Pemerintah Daerah seperti Penyampaian Perda APBD, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Pertanggungjawaban dan lain sebagainya sehingga dalam proses penyaluran ke RKUD tidak terhambat. Disamping itu diperlukan kerjasama Pemerintahan Desa dalam penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) sesuai dengan waktu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.Untuk penyaluran Alokasi Dana Desa dilakukan dengan persentase untuk triwulan I dan II sebesar 20%, triwulan III sebesar 30% dan untuk triwulan IV berdasarkan selisih antara pagu alokasi dan memperhatikan totall realisasi Dana Perimbangan dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan ke RKUD. Penyaluran dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ke Rekening Kas Desa berdasarkan transfer dari Pemerintah Pusat dilakukan dengan persentase untuk tahap I dan II sebesar 40%, dan tahap III sebesar 20%. Sedangkan penyaluran untuk Bagi Hasil Pajak dan Retribusi ke Desa dengan persentase  20% tahap I, 30% tahap II dan sisanya adalah selisih dari realisasi penyaluran dengan pagu perkiraan berdasarkan realisasi yang dicapai oleh Pemerintah Daerah. Penyaluran Alokasi Dana Desa dapat dilaksanakan apabila Desa sudah menetapkan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta persyaratan administrasi lainnya yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bupati tentang Alokasi Dana Desa dan aturan lainnya.

TATA CARA PERTANGGUNGJAWABAN
Tata cara pelaporan Alokasi Dana Desa, Dana Desa dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah ke Desa diatur dengan Peraturan Bupati. Tata cara pelaporan dan penggunaan dana diatur sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan daerah dan keuangan desa. Khusus pelaporan Dana Desa untuk semester I dilakukan paling lambat minggu keempat bulan Juli, Sedangkan untuk semester II paling lambat minggu keempat bulan Januari tahun berikutnya.Kepala daerah menyampaikan laporan konsolidasi penyaluran Dana Desa dengan tembusan ke kementerian paling lambat minggu keempat bulan Maret tahun anggaran berikutnya. Keterlambatan penyampaian laporan akan mengakibatkan penundaan penyaluran Dana Desa ke RKUD, di tingkat Kabupaten Natuna penyampaian laporan diatur lebih ketat dengan tujuan agar sistem pengendalian intern dapat berjalan dengan maksimal sehingga terjadinya penyelewengan dapat dihindari.Dalam pelaksanaanya, kewajiban Desa adalah juga menyampaikan Laporan Konfirmasi Dana Transfer ke Desa agar rekonsiliasi penyaluran dari RKUD ke Rekening Kas Desa dapat disajikan secara akuntabel.

Saturday, 20 June 2015

Buku Administrasi Bendahara Desa Lemahabang

Dalam Permendagri 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan keuangan desa disebutkan Kepala Desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD). Siapa saja yang dimaksud dengan PTPKD?

PTPKD Terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris, dan Perangkat Desa lainnya termasuk Bendahara Desa. Dan adanya Bendahara Desa dalam Struktur PTPKD ditetapkan oleh Keputusan Kepala Desa.

Lalu apa saja tugas Bendahara Desa?

Bendahara desa mempunyai tugas untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayarkan dan mempertanggung-jawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa. Bendahara desa harus membuat laporan pertanggungjawaban atas penerimaan dan uang yag menjadi tanggungjawabnya melalui laporan pertanggungjawaban. Begitu banyak tugas dan tanggungjawab bendahara desa sehingga tentulah Bendahara Desa harus memahami pengelolaan keuangan Desa secara baik dan benar.

Pengelolaan Keuangan Desa dimulai dari perencanaan, kemudian diikuti dengan penganggaran, penatausahaan pelaporan, pertanggungjawaban dan diakhiri dengan pengawasan. Dari siklus pengelolaan keuangan desa diatas, bendahara desa menjadi bagian yang cukup penting, terutama pada tahap penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban.

Dalam penatausahaan pengelolaan keuangan desa beberapa pembukuan wajib diselenggarakan oleh bendahara desa. Penatausahaan Penerimaan dan Pengeluaran Desa mewajibkan Bendahara desa membuat Buku Kas Umum, dan beberapa buku pembantu lainnya.

Pemahaman yang baik atas Pengelolaan Keuangan Desa akan sangat membantu para Kepala Desa dan perangkat desa lainnya termasuk bendahara desa. Nah, disinilah pemerintah daerah memainkan peranan yang penting dalam memberikan perhatian atas kapabilitas para penyelenggara pengelola keuangan desa, dengan membuat suatu petunjuk pengelolaan keuangan desa yang lebih rinci dalam rangka penyeragaman penyelenggaraan penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan desa.

Asistensi ataupun bimbingan teknik pengelolaan keuangan desa secara berkesinambungan atas bendahara desa dapat menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kemampuan para bendahara desa. Tidak saja bimbingan teknik bagi bendahara desa, tetapi juga bagi para Kepala Desa, Sekretaris Desa sehingga diharapkan akan ada pemahaman yang sama atas pengelolaan keuangan desa yang tentunya dapat membantu kelancaran pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

Lalu apa saja sih Buku Administrasi yang harus dimiliki Bendahara Desa? 

Berdasarkan Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa inilah Buku Administrasi yang harus dimiliki Bendahara Desa dalam mengelola Keuangan Desa.

Semoga Bermanfaat.

Salam,


YUDHISTIRA
Admin Web | Bedahara Desa Lemahabang 

Tuesday, 16 June 2015

Warga Perlu Terlibat dalam Pembangunan Desa Lemahabang

Desa Lemahabang – Kesejahteraan dan Kemajuan Desa tidak akan pernah sampai pada target serta keinginan yang diharapkan jika warganya sendiri acuh terhadap jalannya pemerintahan. Warga setidaknya harus tahu Tugas Pokok dan Fungsi Pemerintah di Desanya. Dengan demikian warga bisa memberikan masukan dan kritikan yang diharapkan dapat memperbaiki dan membangun desa ke arah yang lebih baik. Kita boleh melihat ke kanan dan ke kiri membandingkan kemajuan Desa lain dengan Desa kita. Namun jika hanya kritikan dan anggapan negatif di belakang, hal itu tidak akan merubah desa kita menjadi lebih baik.

Kritikan itu harusnya disampaikan, hal yang dilihat kurang, serta berita yang terdengar tidak baik harusnya di klarifikasi kebenarannya. Warga yang mengerti tentang seluk beluk Pemerintahan, Peraturan dan Hukum berhak memberikan masukan dan saran kepada Pemerintahnya.

“Kekurangan manusia tidak terlepas dari kesalahan dan kehilafan, kami sebagai pemerintah desa juga manusia, ada kalanya lupa, dan ada kalanya hilaf. Namun sebisa mungkin kami pun berharap bisa memenuhi keinginan dan harapan warga kami. Kami berusaha berkerja berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintahan yang lebih tinggi dari kami, Dasar Hukum tertinggi berupa Undang-undang Dasar 1945, Peraturan Presiden, Peraturan Mentri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, sampai Dengan Peraturan yang dibuat dan disepakati bersama oleh Pemerintah Desa dan Warga Desa Lemahabang.”

Media online ini dibuat sebagai media informasi yang kami buat untuk kepentingan bersama. Sebagai media untuk menyampaikan informasi tentang Desa Lemahabang khususnya, dan informasi lain pada umumnya. Juga sebagai media untuk menampung aspirasi warga Desa Lemahabang, tempat untuk menyampaikan saran dan masukan, serta hal-hal lain yang dapat bermanfaat bagi kita semua. Juga bermanfaat bagi pembangunan Desa Lemahabang ke arah yang lebih baik.

Penulis : YUDHISTIRA Desa Lemahabang

Friday, 12 June 2015

Dana Desa Topang Kemajuan Pembangunan Daerah

Adanya bantuan dana desa dari pemerintah pusat dengan nilai mencapai Rp 28 Miliar pada Tahun 2015 ini, diyakini Bupati Bolaang Mongondow Utara Drs Hi Depri Pontoh dapat menopang kemajuan pembangunan daerah menjadi lebih cepat.

Sebab, dana tersebut dapat mengcover pembangunan infrastruktur di desa, selain yang teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dana desa harus dimanfaatkan dengan benar oleh pemerintah di desa, sehingga dapat terhindar dari persoalan hukum serta mampu menopang kemajuan pembangunan di daerah menjadi lebih cepat.

Pengelolaan dana desa diminta Bupati harus melibatkan masyarakat juga, terutama yang memiliki sumber daya memadai yakni jenjang Strata I (Sarjana) sehingga mampu membuka lapangan kerja baru, untuk mengurangi angka pengangguran di daerah, seperti yang terjadi dua tahun terakhir dari 5,97 persen pada Tahun 2013 menjadi 5,79 persen pada Tahun 2014.

Jika angka pengangguran menurun, maka mengindikasikan daerah kita kian maju dan sejahtera. Jadi, manfaatkanlah dana desa ini untuk menjadikan daerah kita semakin maju dan sejahtera dari tahun ke tahun.

Diolah dari sumber:tribunnews.com, penulis: Warstef Abisada, 8 Juni 2015

Thursday, 11 June 2015

Bendahara Desa Jadi Ujung Tombak Bagi Pengelolaan Keuangan Desa Yang Akuntabel

Bendahara desa merupakan ujung tombak penyelenggaraan kegiatan administrasi dan pengelolaan keuangan serta pertanggungjawaban dalam pemerintahan desa yang lebih baik dan akuntabel, apalagi dengan adanya Undang Undang terbaru nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Hal tersebut dikemukakan Sekda Kabupaten Cirebon, Dudung Mulyana kepada RRI (Selasa, 20-05-2015) disela Kegiatan Pelatihan Aparatur Pemerintah Desa dalam Bidang Pengelolaan Keuangan Desa Pemkab Cirebon, Tahun  Anggaran 2015 di salah satu hotel di Cirebon.

Menurut Dudung, survey telah membuktikan banyak para kuwu terlibat urusan keuangan karena mungkin tidak saling mengingatkan baik itu bendahara kepada kuwu atau sebaliknya bahkan mungkin sudah saling mengingatkan namun pura pura tidak ingat.

"Dalam UU tentang Desa nomor 6 tahun 2014 ada kewenangan desa yang luar biasa bahkan kita mendengar ya akan ada anggaran 700 sampai 1 milyar dari APBN atau mungkin lebih kalau digabung dari pemerintah propinsi hampir 115 setiap desa belum dari kabupaten relatif anatara 100 sampai 150, itu dijumlah semuanya ternyata 1,5 lebih uang yang masuk ke desa, bayangkan kalau itu dikelola dengan baik dan benar saya yakin desa mana yang tidak akan maju pasti maju, pasti bersih pasti sejahtera masyarakat" ungkap Dudung.

Sekda Pemkab Cirebon, Dudung Mulyana juga mengingatkan kepada para bendahara desa, apabila APBN yang dijanjikan itu turun , suka atau tidak suka , aparat pemeriksa dari pemerintah pusat seperti BPK, BPKP atau bahkan KPK bisa langsung turun ke lapangan. Jika ada temuan dari BPK dan BPKP dalam waktu 60 hari tidak ditindaklanjuti dimungkinkan untuk berurusan dengan aparat penegak hukum.

Sementara, Kabid Pemerintah Desa dan Kelurahan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Cirebon, Yadi Wikarsa menjelaskan pelatihan tersebut untuk membimbing bendahara desa dalam penatausahaan keuangan terutama ketika ada limpahan anggaran dari pusat.

"Serius dalam pendalaman materi ini, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana materi-materi yang sudah diberikan ini dari teori ataupun ada semacam praktiknya diharapkan bisa diaplikasikan didesa walaupun ada dinamika tersendiri bagaimana proses penyelenggaraan pemerintahan didesa tapi apapun itu harus berpengangan teguh pada aturan supaya nanti dikemudian hari tidak menjadi sandungan buat mereka sendiri" tandas yadi.

Kegiatan Pelatihan Aparatur Pemerintah Desa dalam Bidang Pengelolaan Keuangan Desa Pemerintah Kabupaten Cirebon, Tahun  Anggaran 2015 diikuti 412 bendahara desa selama empat hari dengan materi meliputi pembinaan keuangan, penatausahaan keuangan dan verifikasi, pengelolaan pajak serta kebijakan umum tentang keuangan.

Oleh : Yulianti RRI Cirebon 
http://www.rri.co.id/cirebon/post/berita/80366/ekonomi/bendahara_desa_jadi_ujung_tombak_bagi_pengelolaan_keuangan_desa_yang_akuntabel.html

Wednesday, 10 June 2015

Mempercepat Pemerataan Pembangunan

Gerakan pembangunan selama ini sering kali jadi bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mendapatkan proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian “kue” pembangunan. Kondisi semacam ini disamping menciptakan kecemburuan antara masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian kue pembangunan tersebut.

Dengan adanya Dana Desa, desa-desa yang tertinggal sebagaimana diperlihatkan dari rendahnya kualitas jalan, besarnya penduduk miskin akan memperoleh anggaran yang labih besar. Hal ini karena kebijakan Dana Desa menjawab permasalahan yang krusial di desa tertinggal dengan anggaran yang lebih baik. Skema pemberian Dana Desa yang langsung kepada desa dan dengan jumlah yang begitu besar maka kekecewaan masyarakat terhadap pembangunan merupakan kisah lama, dan kisah lama ini menceritakan betapa mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah. Peperintah desa sudah berupaya menyuarakan kepentingan masyarakatnya, tetapi tidak pernah ada dana yang jelas untuk realisasinya.

Kondisi di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan kecil dipenuhi.

Dana Desa yang menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan pembangunan desa dari kota. Akses pelayanan publik di kota lebih jauh lebih cepat berkembang dari pada di desa yang membuat budaya masyarakat desa untuk melakukan perantauan ke kota. Mendapat pekerjaan yang lebih baik, mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain. Adanya Dana Desa bertujuan untuk merubah budaya yang sedemikian rupa, dan beralih dengan kemandirian desa untuk membangun desanya.

Diolah dari sumber: Alokasi Dana Desa, penulis: Sutoro Eko, 2007. (hal 91-93)

Tuesday, 9 June 2015

RPJMDes 80 Persen Copy Paste, Dana Desa Rawan

JAKARTA– Ruang manipulasi dan korupsi dana desa terbuka lebar setelah diketahui banyak rencana panjang jangka menengah desa (RPJMDes) yang manipulatif. Dana desa hampir dipastikan tidak tepat sasaran.

Dari 150 RPJMDes yang saya teliti secara acak di beberapa pulau di Indonesia, ternyata 80 persennya copy paste dari desa lain atau RPJMDes sebelumnya. Jadi celah manipulasi dan korupsi sudah ada, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Sofyan Sjaf.

Langkah copy paste, menurut Sofyan, menjadi kecenderungan hampir semua desa. Pertama, karena masih belum memadainya sumber daya manusia aparatur desa. Kedua, rumitnya format RPJMDesa yang merupakan acuan dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang menjadi syarat pencairan dana desa.

Sofyan mewanti-wanti Pemerintah Desa untuk tidak terlebih dahulu mencairkan dana desa jika memang RPJMDes mereka tidak faktual. Apalagi, saat ini dana desa sekitar 70 persen desa belum sampai di kas desa. Sementara 30 persennya belum cair di tingkat kabupaten.

Pemerintah Desa sebaiknya segera menggelar musyawarah desa bersama Badan Pengawas Desa. Sebagai pengambil keputusan tertinggi sesuai UU Desa,‎ musyawarah desa bisa merevisi RPJMDes menjadi RPJMDes pembaharuan. Selanjutnya, mereka harus menyesuaikan APBDes mereka menjadi APBDes peralihan.

Jika anggaran sudah di kas kabupaten dan ada penghilangan potensi desa yang seharusnya mendapat alokasi dana desa, maka dana desa bisa dialihkan. Menurut Sofyan, pembangunan tidak berarti harus selalu fisik. Penguatan kapasitas aparat desa atau hal lain bisa menjadi pengalokasian baru.

Terlebih lagi ini menunjukkan persiapan dana desa tidak matang. RPJMDes adalah dokumen penting. Ini harus dipertimbangkan oleh legislator agar RPJMDes sesuai dengan agenda perencanaan.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Rufinus‎ Hutauruk, mengatakan jika benar terjadi manipulasi RPJMDesa, maka itu sudah termasuk perbuatan melawan hukum. RPJMDes yang kemudian diurai dalam APBDes seharusnya diklarifikasi berulang-ulang apakah benar musyawarah desa pahami seluruh perencanaan. Jika manipulasi APBDes dilakukan, Rufinus mengatakan bisa dipastikan aparat desa akan menjadi sasaran penegak hukum

Diolah dari sumber: pikiran-rakyat.com, penulis: Amaliya, 9 Juni 2015

Dana Desa Harus Jadi Berkah, Jangan Jadi Bencana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta Pemerintah menyiapkan cetak biru (blue print) arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indikator kesuksesan yang jelas dan terukur. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Institut for Research and Empowerment (IRE) dan Harian Umum Kompas mengadakan acara diskusi panel, Jumat (5/6) dengan tema “Mengawal Dana Desa”.

Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad mengatakan implementasi pembangunan desa harus jelas dijabarkan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Menurut dia, pembangunan desa harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan dan ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU.

Keberadaan Undang-Undang (UU) Desa hendaknya terus dijaga momentumnya serta dikawal pelaksanaannya sehingga tujuan penguatan otonomi asli desa dapat diwujudkan secara sistematis, terencana, dan terukur.

Kemampuan perangkat desa dalam mengelola dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan. Jangan sampai dana desa yang seharusnya menjadi “berkah” berubah menjadi “bencana” akibat salah urus dan berbagaipenyimpangan (korupsi). Oleh karena itu, kesiapan administrasi dan sumberdaya pengelolaan keuangan desa menjadi mutlak. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah.

Momentum UU Desa harus dikelola serius, jangan terlena soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis. Pemerintah harus menyiapkan cetak biru (blue print) arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indicator kesuksesan yang jelas dan terukur.

Diolah dari sumber: republika.co.id, penulis: Dwi Murdaningsih, 5 Juni 2015

Saturday, 6 June 2015

DPD Minta Pemerintah Siapkan Blue Print Dana Desa

Jakarta, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta pemerintah menyiapkan cetak biru (blue print) arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang.

Blue print harus juga berisi indikator kesuksesan yang jelas dan terukur.

“Keberadaan Undang-Undang (UU) Desa hendaknya terus dijaga momentumnya serta dikawal pelaksanaannya sehingga tujuan penguatan otonomi asli desa dapat diwujudkan secara sistematis, terencana, dan terukur,” kata Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad di Jakarta, Jumat (5/6).

Ia mengharapkan implementasi pembangunan desa harus jelas dijabarkan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Antara lain mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan dan ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU.

“Kemampuan perangkat desa dalam mengelola dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan. Jangan sampai dana desa yang seharusnya menjadi “berkah” berubah menjadi “bencana” akibat salah urus dan berbagai penyimpangan (korupsi)," tuturnya.

Menurutnya, kesiapan administrasi dan sumberdaya pengelolaan keuangan desa menjadi mutlak. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah.

Dia menambahkan keberpihakan anggaran untuk desa, baik yang berasal dari pusat maupun daerah, haruslah menjadi stimulus bagi Pemerintah Desa untuk menghasilkan pendapatan sendiri.

Apalagi, UU telah memberikan ruang bagi desa untuk mendapatkan dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Desa yang merupakan hasil usaha yang dilakukan di desa.

Sumber : http://sp.beritasatu.com/

Thursday, 4 June 2015

Dana Desa Jadi Kisah Sukses Desentralisasi Fiskal

JAKARTA, WOL – Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro optimistis, implementasi dana desa akan kembali menjadi salah satu kisah sukses Indonesia dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal. Ia menambahkan, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sendiri hingga saat ini dinilai telah membuahkan kesuksesan.

Menkeu mentargetkan bahwa dana desa ini menjadi kisah sukses, success story dari desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia. Desentralisasi fiskal yang ada sudah banyak dianggap sebagai kisah sukses, karena banyak negara yang tidak berhasil melakukan desentralisasi fiskal yang baik.

Untuk mendukung suksesnya implementasi dana desa tersebut, pemerintah telah menyiapkan berbagai perangkat hukum yang diperlukan. Berbagai peraturan tersebut telah disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Kementerian Keuangan.

Lebih lanjut Menkeu mengungkapkan, Kementerian Dalam Negeri telah menyiapkan aturan yang terkait dengan konteks pemerintahan desa. Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyiapkan aturan yang terkait dengan konteks pemberdayaan desa. Sementara, Kementerian Keuangan menyiapkan aturan yang terkait dengan konteks keuangan dan evaluasinya.

Jadi pemerintah pusat pada intinya ingin dana desa ini sukses. Bagaimana menjaga governance atau tata laksana dari pelaksanaan dana desa itu sendiri.

Diolah dari sumber: waspada.co.id, 2 April 2015

Pentingnya Pemerataan SDM yang Berwawasan di Desa

Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang terlalu pesat salah satunya disebabkan oleh makin maraknya urbanisasi yang terjadi. Perpindahan penduduk desa ke kota ini sebenarnya merupakan polemik yang mempunyai banyak keuntungan sekaligus kerugian. Pola pikir warga desa yang yakin bakal lebih sukses menggantungkan harapan di ibukota daripada di kampung halaman tidak selamanya bisa dijamin oleh pemerintah. Salah satu yang membuat arus urbanisasi makin deras adalah karena kurangnya aliran dana strategis dari pemerintah pusat ke desa.

Tahun 2015 diawali dengan program pemerintah via Kementerian Keuangan yang mengusulkan untuk menyiapkan aliran dana ke desa desa di indonesia sebesar Rp 9 triliun pada APBN 2015. Salah satu visi Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam kerangka NKRI. Untuk itu perlu dialokasikan dana yang lebih besar untuk memperkuat pembangunan daerah dan desa. Rencananya pada RAPBN-P tahun 2015, pemerintah akan memberikan tambahan alokasi Dana Desa sebesar Rp11.700,0 miliar.

Padahal sebelum era pemerintahan Presiden Jokowi sudah banyak program pedesaan yang dicanangkan oleh pemerintah seperti program pengembangan kecamatan (PPK) dan juga program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM). Sayangnya sekali lagi program-program tersebut tidak di dukung dengan SDM yang mau membimbing aparat desa untuk segera mengeksekusi kebijakan pemerintah pusat.

Hal tersebut berujung pada rasa ketidakpercayaan pemerintah pusat pada aparat desa apakah dana dana yang dialirkan bisa dimanfaatkan betul untuk kesejahteraan desa. Apalagi setelah wacana aliran dana desa yang baru dicanangkan Kementerian Keuangan di tahun 2015 yang sumbernya murni berasal dari alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada postur APBN. Sebenarnya bukan masalah besar kecilnya dana, tetapi kesiapan SDM nya itu sendiri.

Apakah pemerintah pusat sudah menyiapkan langkah dan strategi untuk menangani pemerataan ekonomi secara keseluruhan, bukan hanya lewat materi saja tapi juga lewat ilmu dan wawasan untuk pengelolaan dana sehingga hasilnya bisa dirasakan semua warga desa.

Dengan adanya bantuan di bidang peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) aparat desa setidaknya aparat desa lebih aware dengan program pemerintah dan hal ini bisa menguatkan sinergi pemerintahan desa dan pusat sehingga yang namanya korupsi ataupun aliran dana macet bisa diselesaikan sekaligus jika pemerintah berani mengeluarkan sedikit usaha untuk turut serta membangun SDM desa. Mari kita kawal bersama!

Diolah dari sumber: apbnnews.com, 2 Februari 2015

Hati-hati Penipuan Jadi Pendamping Dana Desa

JAKARTA, (PRLM).- Indikasi penipuan yang mengatasnamakan rekrutmen pendamping dana desa terjadi di Kabupaten Tasikmalaya. Mereka yang berminat menjadi pendamping, diminta membayar uang administrasi Rp 500.000. Setelah diterima sebagai pendamping dana desa, pemungut meminta uang hingga senilai gaji.

“Saya bingung. Kok pakai uang segala dan tidak melalui aparat desa. Sudah ada beberapa teman saya yang menyetor ke orang ini. Dia mengaku itu rekrutmen untuk menjadi pendamping kecamatan UU Desa,” ujar Neng (bukan nama sebenarnya), kepada “PR” Online, Minggu (31/5/2015).

Neng menuturkan, orang yang dimaksud mengaku bernama Sal (inisial). Neng menceritakan, banyak orang yang sudah mendaftar secara langsung ke rumah Sal ‎di Cidoyang, Kecamatan Padakembang. Kepada orang-orang yang ditargetkannya, Sal menjamin SK pengangkatan akan turun jika mereka memberikan uang administrasi. Bahkan, Sal mengumbar bahwa dirinya dipercaya langsung oleh Dirjen terkait sehingga sudah pasti orang yang mendaftar kepadanya akan menjadi pendamping dana desa.

“Bahkan dia juga mengatakan ada orang-orang titipan bupati dan wakil bupati yang sudah diplot ke kecamatan A, B, C, dll. Jadi seolah bupati dan wabup merestui orang ini,” ujar Neng.

Untuk mendaftar, warga menyerahkan sejumlah dokumen pribadi seperti curriculum vitae, ijazah, dan transkrip nilai. ‎Selanjutnya, pendaftar mengisi daftar buku dengan identitasnya seperti nama dan nomor telepon. “Mereka tidak diberi kuitansi meski sudah membayar,” kata dia.

Dengan janji pasti diterima, lanjut Neng, hal itu menggiurkan banyak orang. Apalagi, mereka yang sebelumnya bekerja saat ada program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), kini banyak yang menganggur setelah program itu dilebur di dalam dana desa itu.

Perjanjiannya, jika nanti telah diterima, maka pendaftar harus menyetorkan sisa uang sehingga uang yang disetorkan ke pemungut sesuai dengan gaji pendaftar. “Misalnya nanti gaji pendamping Rp 6 juta, jadi harus bayar lagi ke dia Rp 5,5 juta karena sudah bayar Rp 500.000 di awal,” tutur dia.

Neng ‎merasa resah dengan praktik pemungutan itu. Jika praktik itu ilegal, akan banyak orang yang dirugikan. “Seharusnya ada kejelasan seperti apa rekrutmen pendamping dana desa itu. Mereka yang mencari pekerjaan tahu harus ke mana untuk bisa mendaftar,” kata dia.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Arwani Thomafi, menegaskan tidak boleh ada pungutan apapun dalam proses rekrutmen pendamping dana desa. “Rekrutmen juga harus benar-benar selektif dan sesuai dengan panduan umum proses rekrutmen tenaga pendamping sebagai implementasi Undang-Undang Desa yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal,” kata dia.

Di dalam panduan tersebut disebutkan, secara garis besar proses rekrutmen pendamping terdiri dari lima tahapan pokok yaitu pemetaan kebutuhan, pengumuman, selektif pasif, seleksi aktif melalui wawancara, fokus group discussion dan tes tertulis, serta pembekalan melalui pelatihan. Rekrutmen pendamping pun harus menyeleksi pelamar sesuai kompetensi yang ditetapkan dan merekrut pendamping sesuai kebutuhan.

Diolah dari sumber:pikiran-rakyat.com, penulis: Amaliya, 1 Juni 2015

Tantangan & Peluang Pembangunan Pedesaan dengan Implementasi UU Desa

UU Desa No 6 tahun 2014 beserta sejumlah peraturan turunannya telah disahkan. Tujuan dari UU tersebut antara lain memajukan perekonomian masyarakat di pedesaan, mengatasi kesenjangan pembangunan kota dan desa, memperkuat peran penduduk desa dalam pembangunan serta meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa.

Untuk mencapai hal tersebut, beberapa hak dan wewenang diberikan kepada desa. Salah satunya adalah alokasi khusus APBN untuk pedesaan. Dana tersebut akan dibagikan kepada seluruh desa di Indonesia dengan nilai nominal dan proses sebagaimana yang ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 60 tahun 2014. Pada RAPBN 2015 dana yang diusulkan Pemerintah sebesar Rp 9.1 triliun.

Undang Undang Desa diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pemberantasan kemiskinan yang memang secara proporsi lebih besar berada di pedesaan, dan menekan kesenjangan pendapatan antara kota dan desa serta mengoreksi arah pembangunan selama ini yang bias urban.

Data dari BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 15%, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional (kota dan desa) yang sebesar 11,2% tahun 2013. Belum lagi mempertimbangkan jumlah penduduk yang hampir miskin (sedikit berada di atas garis kemiskinan). Olahan data CORE Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata prosentase penduduk perdesaan yang hampir miskin (2 kali di atas garis kemiskinan) di kawasan perdesaan pada tahun 2013 dapat mencapai 61%. Kelompok masyarakat inilah yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan jika ada sedikit saja guncangan ekonomi seperti kenaikan harga bahan makanan pokok, dll.

Di samping itu, tingkat kesenjangan pendapatan di pedesaan, juga cenderung melebar dalam satu dekade terakhir, tercermin dari koefisien gini ratio yang meningkat dari 0,29 (2002) menjadi 0,32 (2013) meskipun angka ini berada di bawah koefisien gini ratio perkotaan. Tingkat pendidikan penduduk desa juga lebih memprihatinkan dibanding perkotaan, tercermin dari persentase penduduk berpendidikan tertinggi SD atau lebih rendah hingga 70% (2013).

Lemahnya dukungan terhadap sektor pertanian ditambah dengan tekanan hidup desa yang tinggi mengakibatkan semakin tertekannya petani di pedesaan. Sebagian di antara mereka harus kehilangan lahan dan menjadi buruh tani, atau bermigrasi ke perkotaan, sehingga jumlah rumah tangga petani semakin lama semakin berkurang. Lemahnya daya saing sektor pertanian ini pulalah yang mengakibatkan perubahan struktur ekonomi di banyak daerah di Indonesia dimana telah terjadi pergeseran sektor utama di sejumlah propinsi dari pertanian menjadi non-pertanian.

Akan tetapi, di sisi lain, ada beberapa kekhawatiran mengenai dampak pengalokasian sejumlah besar dana tersebut ke pedesaan. Sejauh mana dana tersebut efektif berdampak pada perbaikan kinerja sektor pertanian yang pada gilirannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, serta bagaimana meminimalkan penyimpangan-penyimpangan penggunaan dana tersebut akibat keterbatasan kapasitas, kualitas dan akuntabilitas sumber daya manusia khususnya di pedesaan.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk memuluskan implementasi, mengantisipasi potensi penyimpangan, dan untuk mencapai tujuan UU Desa, maka perlu dilakukan, pertama, perlunya perumusan definisi maupun kriteria yang tepat bagi desa yang akan mendapatkan alokasi dana. Hal ini dimaksudkan agar tujuan diberlakukannya UU Desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dan mengurangi kesenjangan dapat tercapai. Kedua, mensosialisasikan UU Desa kepada masyarakat perdesaan agar masyarakat desa dapat memahami maksud dari UU tersebut sehingga dapat memanfaatkan dana tersebut secara produktif. Ketiga, pentingnya memberikan pendampingan kepada aparat di desa dalam perumusan program, pembukuan, dan sistem pelaporan, misalnya dengan memanfaatkan PNPM. Sistem pelaporan juga harus dibuat sederhana untuk mempermudah pengelola dana di desa yang secara umum terbatas secara kapasitas dan infrastruktur. Keempat, pemerintah perlu pula memperkuat aspek pemantauan dalam pelaksanaan dan penggunaan dana tersebut oleh di tingkat desa, agar potensi penyelewengan dan penyimpangan dapat dihindari.

Meskipun persoalan yang terkait dengan UU Desa ini sangat kompleks, UU ini sangat penting sebagai upaya mengoreksi sistem pengelolaan ekonomi yang selama ini terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi kurang memperhatikan kualitas dari pertumbuhan itu sendiri, dan lebih condong/bias ke perkotaan.

Diolah dari sumber: coreindonesia.org, 19 September 2014

Friday, 29 May 2015

Menyoal Kesiapan Pemerintahan Desa

Lahirnya UU 6/2014 tentang Pemerintahan Desa, tampaknya masih membutuhkan kesiapan pelaksanaannya dalam berbagai aspek yang serius. Kesiapan itu baik di tingkat atas (pemerintah pusat) maupun level bawah (grass roots) di desa sendiri.

Salah satu tampak jelas terkait perubahan nomenklatur kementerian untuk mengurusi dana desa. Belum ada titik temu bahwa Kemendagri akan menyerahkan atau tidak Ditjen PMD ke Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Karena itu, diyakini bila penyerahan dilakukan, komitmen pembangunan desa akan segera terwujud.

Sementara UU Desa baru itu melahirkan karakteristik unik desa dalam struktur formal kelembagaan negara Republik Indonesia. Itu masih menyisakan keraguan akan terlaksana dengan baik. Setidaknya, ada tiga aspek yang problematik dialami desa. Ketiganya menyangkut kesiapan personel aparatur pemerintahan desa, penerapan, dan penggunaan anggaran maupun peningkatan fungsi pelayanan masyarakatnya seiring tingginya dana yang diperoleh.

Anggaran Rp1,4 miliar tiap desa per tahun yang diamanatkan UU Desa memang memunculkan kekhawatiran tersendiri akan efektivitas dan transparansi penggunaannya. Jumlah sebesar itu tidak tepat sasaran bahkan akan sia-sia tanpa kesiapan yang optimal dari tingkat pusat hingga desa. Lantas hal-hal apa saja yang menjadi problem dalam sistem pemerintahan desa yang baru ini? Apakah desa sudah siap dalam pelaksanaan UU Desa? Kesiapan apa yang diperlukan dalam tegaknya penerapan UU Desa ini?

Rentan Kesiapan
UU tersebut ditujukkan guna meningkatkan partisipasi dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Tujuan itu menunjukkan bahwa kehendak bottom up dalam berjalannya fungsi pemerintahan. Dalam konsep demikian, masyarakat desa sudah saatnya menjadi pelaku utama dalam kegiatan pembangunan di desanya. Tentu peran serta itu harus diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai. Untuk itu, peran pemerintah masih sangat diperlukan dalam sosialisasi UU ini.

Selain itu, UU juga berfungsi mempercepat pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Artinya, di bawah UU No 6 Tahun 2014 berarti memberikan harapan baru guna meningkatkan peran aparat pemerintah desa sebagai garda terdepan dalam pembangunan dan kemasyarakatan.

Saat pelaksanaan UU Desa yang kian mendesak berhadapan dengan perubahan struktur pemerintahan desa yang belum tertata, hal tersebut membuat kondisi menjadi rentan. Bila itu tidak segera diterapkan, akan melanggar UU. Namun, kalau hal tersebut dipaksakan dengan kesiapan yang minim, bisa menjadikan kondisi yang amburadul. Penerapan hanya berhenti pada tataran formalnya. Sementara secara substansi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Memang dalam penerapan sebuah tata kerja yang baru tidak bisa langsung dilakukan dengan sempurna. Namun, kesiapan pemerintahan desa akan lebih meminimalkan persoalan yang terjadi sehingga tujuan utama penerapan UU Desa akan menjadi kenyataan.

Problem di Bawah
Pengawasan yang dilakukan terhadap desa selama ini masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi temuan. Temuan ini menunjukkan bahwa banyak desa yang belum memiliki kesiapan memadai dalam penerapan UU Desa yang baru. Temuan itu terkait proses dan administrasi pemerintahan yang harus segera diakhiri agar desa bisa berfungsi dengan baik. Temuan yang masih terjadi, di antaranya surat pertanggung jawaban (SPJ) yang belum memenuhi syarat formal dan material. Kemampuan kepala desa berikut aparaturnya masih menjadi kendala.

Selain itu, sering pula pemeriksaan atasan langsung atas pengelolaan keuangan belum dilaksanakan sesuai ketentuan dan pengelolaan pembangunan dan administrasi pelaksanaan kegiatan belum tertib. Di samping kemampuan, kedisiplinan ternyata turut mendukung kekarutmarutan pemerintahan desa.

Lebih parah lagi, pada hal tersebut sering dialami ketekoran kas desa karena terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan desa. Bentuk lainnya berupa tunggakan sewa tanah kas desa serta belum lengkapnya buku administrasi keuangan ataupun barang desa. Keadaan itu rentan menjadi indikasi penyelewengan keuangan desa, seperti pemakaian keuangan desa tanpa laporan.

Di samping itu, kerap timbul penyelewengan dalam pengelolaan keuangan begitu pula dengan aset desa. Hal tersebut akibat inventarisasi serta sistem pembukuan administrasi yang buruk, di antaranya tidak tertib dalam pembukuan administrasi keuangan, baik buku kas umum (BKU) maupun buku bantu, bahkan ada pula desa yang tidak membuat BKU. Masih banyak hal yang menjadi kelemahan desa yang harus dibenahi dan dipersiapkan untuk menghadapi UU baru di desa.

Menyiapkan
Pelaksanaan sistem pemerintahan desa di bawah UU Desa yang baru menuntut kesiapan yang sangat baik. Berbagai hal harus diperhitungkan, direncanakan, dan diawasi pelaksanaannya terus menerus. Termasuk diperlukan pengarahan, penyuluhan, bahkan pendampingan agar benar-benar dilaksanakan sesuai aturan yang ada. Sejumlah upaya bisa dilakukan untuk meningkatkan kesiapan pelaksanaan pemerintahan desa.

Pertama, meningkatkan kematangan dalam melaksanakan peraturan yang terkait dengan pemerintahan desa. Pematangan itu dalam bentuk peningkatan terus menerus terhadap pemahaman terhadap materi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tidak hanya UU saja, tetapi juga PP No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demikian juga PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBD. Pematangan itu meliputi tingkat pemerintah pusat, daerah, hingga ke desa.

Kedua, penyiapan agar segenap pihak terkait bisa memiliki respons dengan cara yang benar terhadap sistem pemerintahan desa yang baru. Respons itu akan menentukan keberhasilan tujuan diterapkannya UU Desa ini. Yang termasuk dalam upaya itu ialah meningkatkan sikap mawas diri aparatur sebagai tindak cegah melakukan pelanggaran, penyalahgunaan, dan penyimpangan dalam pemerintahan desa.

Ketiga, menyiapkan tenaga yang memiliki minat dan motivasi serta disiplin cukup dalam melaksanakan pemerintahan desa. Langkah itu bisa ditempuh melalui perekrutan personil yang berkemampuan memadai. Bagi aparatur yang sudah ada, cara itu ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan secara teratur dan berkelanjutan.

Keempat, penentuan tingkatan yang harus dicapai aparatur, baik desa maupun tingkatan di atasnya. Bagi aparatur desa dituntut memiliki kemampuan dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa, penyusunan APB Desa, maupun penyusunan LPJ Desa. Demikian pula dalam menyusun administrasi pembukuan dan aset pemerintah desa.

Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakmatangan dalam penerapan sistem otonomi daerah beberapa waktu lalu telah mengakibatkan fungsinya jauh panggang dari api. Hal itu tidak boleh terjadi terhadap desa kita. Kesiapan yang lebih baik akan jauh bermanfaat daripada penerapan yang tergesa-gesa dan dipaksakan. Namun, berkutat pada hal-hal yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat desa sehingga menjadi hambatan, juga bukan tindakan yang bijak.

Diolah dari sumber: metrotvnews.com, penulis: Suyatno (analis politik pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka), 9 Januari 2015

Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru pada pembangunan di tingkat Desa. UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.

Pengakuan Atas Desa
Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.

Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural.

UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).

Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari “pengaturan desa” dalam UU Desa mencakup:
  • Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;
  • Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;
  • Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  • Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  • Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  • Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa;
  • Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa;
  • Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan;
  • Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.

Prinsip Subsidiaritas memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.

Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa
UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa. UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan “desa membangun” keduanya harus terintegerasi dengan baik.

Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya.

Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).

Sistem Informasi Desa
Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa.

Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.

Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai “pengumpul data” atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya, desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah “disetorkan” kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa.

Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kab/Kota.

Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standardisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justeru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.

Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa
Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara lain:
  • sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota;
  • Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);
  • Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, melainkan sumber daya manusia.
  • Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;
  • Penerapan Sistem Informasi Desa harus mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;
  • Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;
Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi.

Diolah dari sumber: sekolahdesa.or.id, 29 April 2015

Thursday, 28 May 2015

4 Faktor yang Mempengaruhi Administrasi Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa sangat rentan dengan perubahan. Perubahan yang terjadi dapat menimbulkan kesinambungan yang baik dan sebaliknya. Menghadapi beberapa faktor yang dapat merubah pemerintahan desa diharapkan pemerintah desa dapat tetap stabil untuk menjaga situasi dan kondisi masyarakat yang tetap teratur. Beberapa faktor tersebut bisa berasal dari empat faktor berikut ini.

Faktor Politik
Pada faktor politik dilihat dari kesadaran bernegara masyarakatnya cukup baik misalnya pada kesadaran masyarakat untuk berhubungan dengan kantor Kades dapat dikatakan lancar terbukti surat-surat yang diperlukan oleh anggota masyarakat cepat urusannya misalnya KTP, Surat keterangan dan lain-lain.

Dan dengan adanya partisipasi politik yang sudah berkembang pada masyarakat desa membantu kepala-kepala lingkungan yang ada berperan sebagaimana yang diharapkan, sehingga mempermudah dan mempercepat tugas-tugas di pedesaan atau di kelurahan

Faktor Ekonomi
Dari data yang ada memperlihatkan faktor ekonomi sangat mempengaruhi akan kelancaran roda organisasi pemerintahan Desa. Dapat dilihat dari jumlah surat-surat jalan, KTP, Surat Keterangan lainnya. Dapat dilihat juga dari kewajiban bayar pajak dan retribusi misalnya PBB, disamping itu sumbangan masyarakat pada hari-hari besar (Negara maupun Agama).

Faktor Sosial Budaya
Masyarakat adalah kumpulan dari individu-lndividu atau sekelompok manusia. Atau dengan pengertian lain dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah satu kesatuan yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Dalam bidang ini yang perlu diperhatikan adalah kelompok-kelompok atau golongan yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Setiap masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama, dimana akan terbentuklah berbagai macam organisasi sosial. Setiap masyarakat mengenal organisasi sosial, struktur kelas dan sebagainya, sekalipun sifatnya dan cirinya berbeda-beda, faktor ini berhubungan erat dengan struktur sosial yang mempunyai nilai sosial yang mengatur kehidupan masyarakat sekelilingnya karena manusia selain sebagai mahluk berpikir, juga mempunyai daya kreasi, sehingga dapat menarik pelajaran dari pengalamannya dan mencetuskan ide-ide yang baru sebagai hasil dari proses sosial. Proses sosial merupakan suatu proses yang berarti bahwa merupakan suatu gejala perubahan. Perubahan sosial tidak terjadi secara mendadak, melainkan berubah karena hasil pendidikan dan kebudaaan. Oleh sebab itu faktor yang penting dalam pertumbuhan suatu masyarakat adalah faktor waktu, karena waktu memberikan kesempatan pada individu untuk bekerja sama.

Faktor Hankam
Perkembangan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, apabila tidak didukung oleh situasi dan kondisi yang mantap dan stabil. Oleh sebab itu diperlukan adanya keamanan yang mantap dan mandiri. Aman, tenteram, tertib dan sentosa adalah idaman setiap insan (manusia) di dalam suatu masyarakat. Dengan adanya faktor keamanan yang terjamin, maka memungkinkan masyarakatnya mencari nafkah lebih luas dan leluasa (sesuai dengan kaedah dan norma yang berlaku sehingga pandapatannya dapat lebih meningkat lagi.

Faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya sudah jelas mempengaruhi akan faktor Hankam ini. Ketentraman, tertib, harmonis, tolong-menolong, setia kawan dan efektifnya lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada menyebabkan situasi dan kondisi masyarakat menjadi mantap dan stabil.

Diolah dari sumber: celotehlestarius.blogspot.com, penulis: Lase Saja, 17 Maret 2015

Tags

Recent Post