Musyawarah Desa (Musdes) adalah proses musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Musyawarah adalah forum pengambilan keputusan yang sudah dikenal sejak lama dan menjadi bagian dari dasar negara. Sila keempat Pancasila menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Selain pada penjelasan pasal per pasal, bagian Penjelasan Umum UU Desa juga memuat penjelasan mengenai Musdes. Selengkapnya disebutkan: “
Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk kesepakatan dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa untuk menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa”.
Pembahasan di DPR
Pengaturan Musyawarah Desa dalam UU Desa hanya diatur dalam satu Pasal berisi empat ayat. Keempat ayat yang ada pada pasal 54 tersebut berisi tentang fungsi musyawarah Desa; hal yang dibahas dalam musyawarah desa; waktu penyelenggaraan Musyawarah Desa; dan Pembiayaan Musyawarah Desa. Dalam proses pembahasan DIM, klausul Musdes juga relatif tak banyak diperdebatkan, semua fraksi setuju kecuali untuk penempatan bab. Pemerintah dan DPR sepakat mengenai pentingnya penyelenggaraan musyawarah desa sebagai forum pengambilan keputusan desa.
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menyampaikan pandangan pemerintah saat mengantarkan RUU Desa:
“Musyawarah Desa ….merupakan forum tertinggi musyawarah yang berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Program-program strategis dimaksud termasuk proses penyusunan perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan”.
Dalam Raker 4 April 2012, Anang Prihantoro mewakili DPR menyampaikan pandangan berikut:
“RUU Desa yang diajukan oleh Pemerintah mereduksi kedudukan Musyawarah Desa dalam sistem pemerintahan desa. Musyawarah desa hanya berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan pemerintah desa. Hasil musyawarah digunakan sebagai bahan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa dan merupakan masukan bagi Kepala Desa dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan desa serta bagi BPD dalam penyelenggaraan musyawarah BPD. …..DPD RI mengusulkan desa membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa, atau nama lain, sebagai wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis.
Keputusan desa yang bersifat strategis mencakup: rencana pembangunan jangka menengah desa; investasi yang masuk desa; pengembangan kawasan perdesaan; pembentukan, penggabungan, pemekaran atau perubahan status desa. DPD mengusulkan musyawarah desa dalam hal ini bukan pemegang kedaulatan rakyat desa, bukan juga sebagai institusi yang permanen, tetapi sebagai forum pengambilan keputusan strategis yang mengikat bagi pemerintah dan warga desa. Penyelenggaraan musyawarah desa untuk pengambilan keputusan strategis dimaksudkan untuk menghindari bias elite yang dilakukan oleh Kepala Desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fawzi dalam Raker tanggal 15 Mei 2012 mengapresiasi usulan-usulan DPD yang menempatkan Musyawarah Desa sebagai pengambil kebijakan tertinggi di Desa dengan alasan beberapa peraturan perundangan lainnya tidak mengatur hal tersebut dan pembentukan UU Desa bukan untuk membentuk Daerah Otonomi III. Kutipan atas tanggapan Pemerintah terhadap usulan DPD tentang musyawarah Desa dapat dilihat di bawah ini:
“Terkait dengan usulan DPD-RI mengenai kedudukan lembaga perwakilan rakyat desa dalam desain Pemerintahan desa, dapat dijelaskan bahwa Rancangan Undang-undang tentang Desa tidak mengatur mengenai lembaga perwakilan rakyat desa tetapi mengatur Badan Permusyawaratan Desa yang berfungsi sebagai lembaga permusyawaratan dan pemufakatan dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan politik yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dimana penyebutan Badan Perwakilan Desa dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dirubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Landasan pemikirannya adalah bahwa Desa yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Rancangan Undang-undang tentang Desa tidak mengarah pada pembentukan Daerah Otonom Tingkat III sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1965, Undang-undang No. 1 Tahun 1957 maupun Undang-undang No. 22 Tahun 1948 semua tentang Pemerintahan Daerah. Demikian pula halnya dengan usulan DPD-RI agar Musyawarah Desa dijadikan wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis.”
Fraksi PPP, dalam pandangan mini fraksi, menyatakan musyawarah Desa penting karena ‘mengakomodasi adanya unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan Desa’. Di forum yang sama, Fraksi Partai Golkar menganggap musyawarah Desa sebagai wujud penguatan demokrasi di Desa.
Hasto Wiyono dari STPD “APMD” Yogyakarta menyampaikan pandangan mengenai musyawarah desa dalam RDPU tanggal 7 Juni 2012. Ia mengatakan:
“Kemudian untuk musyawarah desa. Untuk musyawarah desa, kami juga menginginkan agar musyawarah desa itu menjadi lebih bermakna bukan sekadar untuk prosedur. Jadi musyawarah desa untuk memenuhi persyaratan yang namanya partisipatif dengan mengumpulkan orang, maka itu adalah partisipatif. Kami tidak sepakat dengan itu. Saya kira sepemikiran dengan teman dari UKSW. Namun demikian, musyawarah desa itu bukan juga merupakan pemegang kedaulatan rakyat desa, tetapi musyawarah desa itu sebagai satu arena untuk melakukan rembuk, melakukan pembahasan, melakukan apa namanya ya untuk mengambil keputusan bersama terutama hal-hal yang sangat strategis. Nah misalnya nanti di dalam konteks pembangunan pedesaan, dalam pengelolaan resourceh terutama sumberdaya alam untuk pertambangan misalnya. Ini saya kira musyawarah desa menjadi sangat penting sebelum Kepala Desa itu memutuskan atau mengizinkan atau tidak ketika ada investor itu masuk. Jadi musyawarah desa rakyat diajak bicara, sehingga dalam konteks ini betul-betul desa itu menjadi sebuah subjek ya, menjadi subjek yang keberadaannya memang dihormati dan diakui.”
Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Shirley dari Surya Research Center:
“Saya setuju dengan rekan-rekan, teman-teman yang memberikan tanggapan tentang RUU ini bahwa Badan Musyawarah Desa jangan kita anggap kecil. Perlakukan mereka seperti kita memperlakukan DPR ini bahwa teman-teman di DPR ini terdiri dari berbagai macam musyawarah desa yang ada di Indonesia ini berkumpul dan kemudian juga bisa mengontrol SKPD atau teman-teman birokrat lainnya yang di daerah-daerah dan dibenak kami Surya Research kami mengadakan dalam tanda kutip ini juga merupakan tawaran dari setiap kali kami mengunjungi kabupaten, bagaimana kalau kita membentuk kelompok penguatan masyarakat, kita menyebutnya seperti itu kelompok penguatan masyarakat.”
Dalam RDPU 10 Oktober 2012, Sutoro Eko dari IRE menyampaikan pandangan berikut:
“Ini ada persoalan kuasa desa dan kuasa rakyat ya, itu menyatu di dalam desa tetapi persoalannya begini pak, kuasa desa ini sekarang tidak berdaya karena berhadapan dengan kuasa negara dan kuasa modal, jadi banyak sumber daya lokal yang ini terkikis abis lah kalau ada intervensi modal misalnya soal air dan macam-macam, dan oleh karena ini kan persoalan agraria yang kita harus selesaikan juga, termasuk pembangunan pedesaan yang mengandung investasi ya, sebenarnya pikiran yang sudah berkembang, bagaimana desa itu secara kolektif mampu mengontrol usulan kita itu ada semacam musyawarah desa, musyawarah desa itu sebagai semacam institusi yang bisa kita panggil untuk mengambil keputusan strategis di desa, supaya ini tidak hanya diputuskan oleh segelintir orang tetapi oleh forum yang lebih besar, karena modalnya kan Bupati-Kepala Desa selesai gitu ya, jadi artinya keputusan mengenai investasi yang bersentuhan dengan desa itu tidak hanya dari tangan Bupati, tetapi juga itu basisnya ada di desa, dan desa itu pengambil keputusannya adalah musyawarah desa.”
Tanggapan
Musyawarah adalah forum bertemunya berbagai kepentingan para pemangku kepentingan. Keinginan umum (
general will) dipertemukan dalam forum itu, dibahas, dan kemudian diputuskan bersama-sama mana yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada. Dalam forum itu bersatu keinginan Kepala Desa dan mungkin juga keinginan pemerintahan kabupaten/kota yang disampaikan lewat Kepala Desa, keinginan warga desa, dan keinginan pemangku kepentingan lainnya. Konsep musyawarah pada hakekatnya menunjukkan bahwa forum tersebut bersifat partisipatif dan dialogis.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaannya, PP 72 tahun 2005, tak mengatur spesifik musyawarah Desa. Namun korelasi kedua regulasi ini bisa dilihat dari pembahasan perencanaan desa yang disebut dalam Pasal 54 UU Desa. Musyawarah Desa sebagaimana diinginkan dalam Pasal 54 merupakan sebuah tahapan yang cukup penting dalam pembangunan desa, khususnya perencanaan desa. Salah satu perencanaan desa yang berlangsung terjadwal tahunan adalah Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Payung hukum pelaksanaan Musrenbang secara umum diatur dalam Undang Undang No. 25 Tahun 2004 dan secara teknis pelaksanaannya diatur melalui Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun. Secara khusus Musrenbangdes diatur dalam Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa yang didalamnya termuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) tahunan yang kemudian ditekniskan lagi melalui Surat Dirjen PMD No. 414.2/1408/PMD tanggal 31 Maret 2010 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan Pembangunan Desa.
Perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan konsep dan proses yang tak terpisahkan sehingga mustahil perencanaan pembangunan dilakukan tanpa membahas anggaran pembiayaannya. Oleh karena itu, bersamaan dengan penyusunan dokumen perencanaan, Desa juga menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Payung hukum penyusunan APB Desa adalah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PP No. 58 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta Permendagri No. 37 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa.
Pasal 54 UU Desa tidak menyebutkan secara jelas tentang rekomendasi pengaturan teknis pelaksanaan Musyawarah Desa. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 memuat sejumlah aturan mengenau musyawarah desa. Rinciannya antara lain:
- Pasal 9 dan 10 tentang pembuatan kesepakatan dalam pembentukan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
- Pasal 18 tentang pembuatan kesepakatan dalam penggabungan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
- Pasal 22 tentang prakarsa perubahan status desa menjadi kelurahan;
- Pasal 26 tentang prakarsa perubahandesa adat menjadi desa;
- Pasal 45, 47, dan 56 tentang pemilihan Kepala Desa antarwaktu melalui musyawarah desa;
- Pasal 111 tentang pengelolaan kekayaan milik desa;
- Pasal114 tentang perencanaan pembangunan desa;
- Pasal 121 tentang pelaksanaan pembangunan desa;
- Pasal 125 tentang pembangunan kawasan perdesaan;
- Pasal 126 dan Pasal 130 tentang pemberdayaan;
- Pasal132 dan 136 tentang BUM Desa Masyarakat Desa.
Dengan konsep hibrid atau campuran, masyarakat desa mempunyai kewenangan untuk mengatur desa sebagaimana halnya kewenangan pemerintah desa. Dalam musyawarah desa, masyarakat desa mempunyai kedudukan yang sama dan saling terkait dengan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Kedudukan dan korelasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar : Keterkaitan para pemangku kepentingan
Gambar tersebut memperlihatkan keterkaitan antara para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan musyawarah desa. Kepala Desa beserta perangkatnya saling terkait dengan masyarakat desa beserta unsur-unsur representasinya, dan BPD beserta pengurusnya. Mereka membawa kepentingan yang menguat pada irisan lingkaran. Artinya, musyawarah desa harus selalu diarahkan pada tercapainya mufakat.
Dalam prakteknya, sesuai dengan konstruksi campuran yang dipakai UU Desa, sangat mungkin terjadi perbedaan kepentingan tiap-tiap unsur yang membentuk Musdes. Oleh karena itu sangat mungkin terjadi Kepala Desa yang membawa kepentingan pemerintahan kabupaten/kota menolak melaksanakan keputusan Musdes, baik secara terang-terangan maupun secara halus. Penjelasan Pasal 54 UU Desa sebenarnya sudah memberi garis yang tegas: “Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat pemerintah desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya”. Dalam hal terjadi konflik kepentingan, maka peraturan teknis harus memberikan jalan keluar yang tegas, misalnya sejauh mana masyarakat desa punya kewenangan menegur Kepala Desa. Pasal 68 ayat (1) UU Desa memang memberi hak kepada masyarakat desa untuk melakukan pengawasan atas kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa serta menyampaikan aspirasi, saran dan pendapat. Dalam hal konflik kepentingan itu berkaitan dengan hak asal usul dan lokal berskala desa, maka Desa punya kekuatan untuk mengatur dan mengurus. Sedangkan jika berkaitan dengan wewenang yang ditugaskan dan kewenangan lain dari supra desa, maka Desa hanya punya kewenangan mengurus (vide Pasal 20 dan 21 UU Desa). Bahkan dalam hal penataan Desa, keputusan akhir tetap ada di tangan pemerintah kabupaten/kota. Musyawarah Desa hanya sekadar forum untuk memberikan pertimbangan dan masukan (Penjelasan Pasal 54 ayat 2 UU Desa).
Seperti disebutkan dalam Pasal 54 UU Desa, musyarawah Desa adalah forum untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembentuk Undang-Undang telah menetapkan tujuh isu strategis, sebagaimana tergambar berikut:
Bagan Isu-Isu Strategis yang Dibahas dalam Musyawarah Desa
Pasal 54 ayat (2) UU Desa mengatur apa saja yang disebut sebagai hal yang bersifat strategis yang menjadi dasar penyelenggaraan musyawarah Desa. Tetapi tidak jelas apa maksud isu strategis dan penormaannya terkesan tidak membuka peluang untuk menambahkan hal strategis itu. Seolah-olah hanya ketujuh hal itu saja yang masuk kategori hal strategis. Berarti pula di luar ketujuh hal tersebut tidak harus diputuskan lewat musyawarah Desa. Dalam praktiknya sangat mungkin terjadi perbedaan pandangan antara warga desa dengan pemerintah desa mengenai sifat strategisnya sesuatu hal. Apalagi jika sudah menyangkut frasa ‘kejadian luar biasa’. Apa yang dimaksud dengan kejadian luar biasa? Banjir, misalnya, bisa disebut kejadian luar biasa. Lalu, apakah harus Musdes dulu sebelum banjir ditangani? Isu strategis dalam Pasal 54 lebih sebagai isu yang penting menurut pembentuk Undang-Undang, dan bukan isu strategis menurut kenyataan yang dihadapi masyarakat.
- Pelaksanaan dan Pembiayaan Musdes
Berdasarkan UU Desa, Musdes diselenggarakan minimal satu kali dalam setahun. Undang-Undang tidak menyebutkan kapan waktu pelaksanaan dan berapa lama waktu penyelenggaraan Musdes. Pada praktiknya, musrenbang diselenggarakan pada Januari setiap tahun. Namun dilihat dari keragaman isu strategis, ada kemungkinan besar pelaksanaan Musdes lebih dari satu kali.
Pembiayaan Musdes berasal dari APB Desa. Penyelenggaraan Musdes yang hanya bergantung pada APB Desa sebenarnya menimbulkan dua persoalan. Pertama, bila dana APB Desa tidak mencukupi untuk Musdes sekali setahun, bisakah Desa tak menyelenggarakan Musdes? Penyelenggara Musdes adalah BPD dengan difasilitasi pemerintah desa. Jika pemerintah desa berdalih tidak ada dana, apakah BPD bisa membatalkan pelaksanaan Musdes, dan lantas memberikan kewenangan kepada Kepala Desa untuk memutuskan hal-hal strategis tanpa melibatkan BPD? Kedua, persoalan pertama sebenarnya bisa diatasi dengan membuka peluang pendanaan Musdes diambil dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Tetapi akan muncul persoalan, apa kaedah yang harus ditaati peserta Musdes jika dana Musdes berasal dari pihak ketiga?
Dilihat dari konstruksi hibriditas, sebenarnya peluang untuk mendapatkan biaya pelaksanaan Musdes dari luar desa tetap dimungkinkan. Sebagian biaya Musdes adalah dari pendapatan desa yang bisa berasal dari beragam sumber, antara lain ‘
hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga’. Dari rumusan Pasal 72 ayat (1) huruf
f UU Desa tersebut tergambar jelas salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dana itu tidak bersifat mengikat. Jika ada penyimpangan dalam penggunaan dana pihak ketiga untuk Musdes tersebut, sesuai Pasal 75 ayat (1) UU Desa, yang akan dimintai tanggung jawab terutama adalah Kepala Desa sebagai ‘
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa’.
Sumber : http://kedesa.id/id_ID/wiki/penyelenggaraan-pemerintahan-desa-dan-peraturan-desa/musyawarah-desa/