Latest News

Showing posts with label OPINI. Show all posts
Showing posts with label OPINI. Show all posts

Thursday 1 November 2018

Makna Sumpah Pemuda Bagi Pendamping Desa


Oleh : Arjuna SP
Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia, merupakan keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". 
Bagi seorang pemuda maupun generasi muda hari Sumpah Pemuda adalah momen bagi kita untuk lebih meningkatkan jiwa yang berkakarter kebangsaan, seperti cinta tanah air, disiplin, dan pantang menyerah seperti yang telah dicontohkan oleh para pemuda atau pejuang kita. Menilik apa yang terjadi di masa kini, mungkin cukup memperihatinkan, bagaimana hari Sumpah Pemuda hanya dijadikan sebagai perayaan belaka.
Setiap tahun, hari sumpah pemuda selalu disemarakkan oleh berbagai kegiatan, mulai dari menggelar upacara bendera di instansi-instansi, pemberian penghargaan, dan kegiatan lainnya yang menunjukkan semangat kepemudaan. 
Pemerintah telah menetapkan tema Hari Sumpah Pemuda Tahun 2018 kali ini adalah "Bangun Pemuda Satukan Indonesia", bermakna pentingnya pembangunan kepemudaan untuk melahirkan generasi muda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpnan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu apa makna Hari Sumpah Pemuda bagi Pendamping Desa..?
Sebagai Tenaga Pendamping Profesional, pendamping desa memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun bangsa karena punya tugas yang sangat mulia yaitu mendampingi desa dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Pendampingan Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa yang merupakan amanat Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa, dimana disebutkan bahwa: "Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik ndonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika".
Dalam Undnag-Undang Desa jelas disebutkan bahwa pelaksanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui peringatan Hari Sumpah Pemuda bagi Pendamping Desa harus satukan tekad dan gelorakan semangat untuk membangun bangsa dari Desa mewujudkan Desa yang kuat, maju dan mandiri menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Salah satu implementasi dari Undang-Undang Desa adalah kebijakan Program Dana Desa, yang merupakan salah satu Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran atau desa. Hasil pemanfaatan Dana Desa 4 tahun pemerintahan Jokowi -- JK, Dana Desa telah diserap untuk membangun berbagai infrastruktur yang menunjang produktivitas dan kualitas hidup masyarakat. Dana Desa yang diberikan pemerintah dapat mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, menurunkan jumlah desa tertinggal, menangani stunting.
Keberhasilan Program Dana Desa tidak terlepas dari peran Pendamping Desa untuk membebaskan Desa dari kemiskinan dan mewujudkan kemandirian, hal ini disampaikan Presiden Jokowi saat Rapat Koordinasi dengan Pendamping Desa di Deliserdang, Sumatera Utara pada tanggal 8 Oktober 2018. Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa "penggunaan Dana Desa diperluas, selama 3 tahun ini fokus pada infrastruktur desa, tapi kedepan untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM), dan Pengembangan Ekonomi Rakyat melalui BUMDES".
Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo dalam setiap arahannya selalu menyampaikan bahwa Pendamping Desa harus bergandengan tangan tulus ikhlas berjuang, mengabdi Desa Membangun Indonesia dan banggalah jadi Pendamping Desa. #PendampingDesaKuat.
*)Penulis adalah TPPI Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara

Saturday 27 October 2018

DANA DESA, LAPANGAN KERJA, DAN KEMISKINAN

Bagaimana Dana Desa berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan menekan angka kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan? Apa kebijakan yang diperlukan guna lebih memasifkan percepatan pembanguann perdesaan dengan pada saat sama memberdayakan potensi Sumber Daya Manusia desa dan Sumber daya material lokal desa sehingga memungkinan terwujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan saling hubung dengan pembangunan manusia desa?

Dalam tiga tahun sejak 2015 Alokasi Dana Desa terus menanjak signifikan. Dari Rp 20,67 trilyun atau sekitar Rp 280,3 juta perdesa pada 2015 hingga menjadi Rp 60 trilyun atau sekitar Rp 800,4 juta perdesa pada 2017. Dengan demikian bisa dikatakan secara teknis “janji” transfer Dana Desa mencapai 1 Miliar Per Desa telah diwujudkan.
Tantangannya kemudian adalah bagaimana Dana Desa yang jumlahnya cukup besar itu bisa benar-benar membantu mweujudkan terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat desa? Bukan sekedar menguap dan hanya memfasilitasi memfasilitasi infrastruktur semata tanpa menciptakan akselerasi ekonomi?
Salah satu jalan sekaligus tantangan dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara genuine  sekaligus pada saat sama menemukan strategi percepetan ekonomi desa dan menghapus kemiskinan dan ketimpangan desa adalah dengan mendorong kemampuan alokasi dan peruntukan Dana Desa yang sekali mendayung bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga desa, dan pada saat bersamaan proyek kebutuhan dasar warga desa melalui pembangunan infrastruktur bisa berjalan beriring mengejar ketertinggalannya terutama di desa-desa kawasan pinggiran indonesia. Maka pertanyaan selanjutany adalah seberapa besar Dana Desa bisa menciptakan lapangan kerja dan seberapa banyak menyerap tenaga kerja?
Hasilnya tidak buruk. Data lapangan menunjukkan pada tahun 2015, tenaga kerja yang terserap sebagai akibat dari kontribusi dana desa berjumlah 1,7 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2016 tenaga kerja yang terserap sebagai akibat dari kontribusi Dana Desa berjumlah 3,9 juta jiwa. Dan pada tahun 2017, tenaga kerja yang terserap sebagai akibat dari kontribusi Dana Desa berjumlah 5  juta jiwa.
Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa kontribusi Dana Desa dalam penyerapan tenaga kerja pada tahun 2017 telah mengalami peningkatan sampai 3 kali lipat dari angka penyerapan tenaga kerja.
Swakelola Pembangunan
Faktor kemajuan signifikan dari fenomena besarnya penyerapan tenaga kerja lokal yang bisa diserap oleh program pembangunan desa dan kontribusi Dana Desa dalam mempercepat akselerasi perekonomian desa, adalah pelaksanaan kegiatan pembangunan dana desa selama ini dilakukan secara swakelola dan padat karya dengan menggunakan material lokal.
Dana desa yang disalurkan ke desa-desa, dimanfaatkan oleh desa dalam membangun infrastruktur penunjang kegiatan di desa seperti membangun 21.811 unit BUMDesa, 5.220 unit Pasar Desa, 21.357 unit PAUD, dan 6.041 unit POLINDES. Pembangunan infrastruktur tersebut ternyata turut membawa pengaruh dalam mengurangi angka pengangguran di desa, karena berpotensi menyerap tenaga kerja di desa. Diasumsikan bahwa Posyandu dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 64.071 jiwa, POLINDES dapat menyerap 18.123 jiwa, PAUD dapat menyerap 41.919 jiwa, BUMDes dapat menyerap 65.919 jiwa, dan Pasar dapat menyerap 15.660 jiwa.
Padat Karya dan Pengentasan Kemiskinan
Wujud dari gerakan padat karya melalui dana desa dapat dilihat dengan adanya penggunaan dana desa untuk upah tenaga kerja di desa. Dalam hal ini pemerintah memilki target untuk dapat menurunkan tingkat kemiskinan perdesaan sesuai dengan besaran persentase jumlah penggunaan dana desa tersebut.
Dana Desa yang digunakan berjumlah 20% dari Rp 60 triliun, atau sekitar Rp12 triliun, maka rata-rata upah yang diperoleh rumah tangga miskin (RTM) adalah Rp 2.105.585. Dalam perhitungan ini diperkirakan lapangan kerja yang tercipta berjumlah 3,2 juta untuk RTM, dan 800 ribu untuk Non RTM.
Kemudian diperkirakan bahwa peran dana desa terhadap biaya penurunan kemiskinan berjumlah 12%, dan persentase penurunan tingkat kemiskinan perdesaan nasional berjumlah 2%, sehingga dapat ditargetkan tingkat kemiskinan perdesaan akan menurun sebanyak 12%, dan target untuk penurunan tingkat kemiskinan total akan berjumlah 10%.
Sementara jika dana desa yang digunakan berjumlah 50% dari Rp 60 trilyun, atau sekitar Rp 30 triilyun, maka rata-rata upah yang diperoleh rumah tangga miskin (RTM) adalah Rp 5.263.961. Dalam perhitungan ini diperkirakan lapangan kerja yang tercipta berjumlah 8 juta untuk RTM, dan 2 juta untuk Non RTM. Kemudian diperkirakan bahwa peran dana desa terhadap biaya penurunan kemiskinan berjumlah 30%, dan persentase penurunan tingkat kemiskinan perdesaan nasional berjumlah 5%, sehingga dapat ditargetkan tingkat kemiskinan perdesaan akan menurun sebanyak 9%, dan target untuk penurunan tingkat kemiskinan total akan berjumlah 8%.
Dari perhitungan di atas dapat dikatakan bahwa semakin besar prosentase penggunaan Dana Desa untuk upah tenaga kerja, maka semakin besar pula target prosentase penurunan tingkat kemiskinan perdesaan. Sehingga pengelolaan pembangunan padat karya mesti didorong lebih intens karena meruapakan jalan utama penciptaan lapangan kerja dan mampu menekan angka kemiskinan desa secara signifikan.
Program Padat Karya Cash sebagai pengganti BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang digagas pemerintah Jokowi-JK sesungguhnya memberi potensi besar pada tujuan pengurangan kemiskinan desa. Selamana ini terutama Kementerian Desa PDTT meruapakan kunci dan aktor utama yang memungkinkan memfasilitasi secara nyata program tersebut dan memberikan dukungan utama pada proses yang telah berjalan sampai sekarang. 
Benturan Pelaksanaan
Program Padat Karya Cash merupakan program baru sehingga ia mungkin memiliki kendala berupa benturan antra ideal-ideal tujuan kesejahteraan berhadapan dengan teknis pelaksanaan menyangkut peraturan perundangan yang selama ini berlaku. Sehingga dengan demikian diperlukan penyusunan peraturan terkait hal tersebut atau merevisi peraturan lama. Sehingga program padat karya cash bisa berjalan tanpa kendala demi terwujudnya ideal akseleasi pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan desa dan kemiskinan nasional melalui Dana Desa.
Benturan teknis peraturan yang dimaksud misalnya, dalam Lampiran Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa (BAB II Pengadaan Barang / Jasa Melalui Swakelola) dijelaskan bahwa “Khusus untuk pekerjaan konstruksi tidak sederhana, yaitu pekerjaan konstruksi yang membutuhkan tenaga ahli dan/atau peralatan berat, tidak dapat dilaksanakan secara swakelola”. Hal ini menimbulkan multi tafsir, sehingga perlu dilakukan peninjauan ulang terkait kebijakan tersebut.
Sementara itu dalam Rancangan Surat Edaran Menteri Desa PDTT kepada seluruh Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Desa tentang Pelibatan Tenaga Kerja Masyarakat Setempat dalam Pelaksanaan pembangunan melalui Dana Desa, terdapat empat poin yang ditekankan yaitu:  (1) pemanfaatan dana desa dilakukan dengan swakelola, (2) Pemanfaatan pembanguan dengan program swakelola dilakukan dengan memanfaatkan material lokal dan membeli dari masyarakat atau toko lokal, (3) harus dipastikan bahwa 30% dana desa digunakan untuk upah tenaga kerja lokal, dan (4) pekerjaan yang melibatkan masyarakat dibayarkan secara harian/mingguan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Melihat potensi percepatan pembangunan dan pada saat sama mendorong upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja desa yang memungkinkan menolong daya beli masyarakat secara berkelanjutan, Program tersebut di atas memerlukan respon cepat kebijakan berupa; Pertama, penyusunan Peraturan Presiden yang memuat bahwa kegiatan pembangunan desa diutamakan menggunakan tenaga kerja lokal dan material lokal. Kedua, Revisi terhadap Peraturan Kepala LKPP No. 13 Tahun 2013 tentang pedoman tata cara pengadaan barang/jasa di desa. Ketiga, Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa: a) Minimal 30% Dana Desa untuk tenaga kerja; b) Tenaga kerja mencakup seluruh rumah tangga miskin (RTM); c) RTM yang tidak bekerja dibantu pangan dan sandang selama pelaksanaan pembangunan desa. Keempat, Percepatan Pencairan Dana Desa (Tahap 1: Bulan Maret; Tahap II: Bulan Juni. Kelima, Penetapan jenis pelaporan kegiatan pembangunan yang lebih sederhana dan ditetapkan melalui peraturan bupati selambat-lambatnya Maret setiap tahunnya. Keenam, Penetapan upah kerja kegiatan infrastruktur: a) Ditetapkan melalui peraturan bupati selambat-lambatnya Maret setiap tahunnya; b) Upah kerja 80% lebih rendah daripada harga pasar; c) Upah dibayarkan mingguan atau harian.
Jika idealita pembangunan dengan skema swakelola dan padat karya melalui pemanfaatan Dana Desa tersebut bisa ditopang dengan kebutuhan teknis dan non teknis seperti Peraturan Pemerintah setingkat Presiden dan Menteri, kesiapan sumberdaya pendamping, dan kematangan perencanaan dari tingkat nasional sampai desa, bisa dipastikan pembangunan nasional akan terwujud dengan fundamental yang kuat dari desa dan tujuan memakmurkan rakyat dengan jalan memperluas keadilan sosial mungkin menemukan jalan yang lebih lapang. (*)
Oleh: Sabiq M 
Sumber : http://kemendesa.go.id/view/detil/2227/dana-desa-lapangan-kerja-dan-kemiskinan

Tuesday 23 October 2018

Peran Pemuda Untuk Masyarakat




Oleh : Ficky Show
Sejarah telah membuktikan bahwasanya pemuda adalah salah satu pilar yang memiliki peran besar dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga maju mundurnya suatu negara sedikit banyak ditentukan oleh pemikiran dan kontribusi aktif dari pemuda di negara tersebut. Begitu juga dalam lingkup kehidupan bermasyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial dalam tatanan masyarakat sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsa, karena pemuda sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai pemuda akan menguasai masa depan.
Ada beberapa alasan mengapa pemuda memiliki tanggung jawab besar dalam tatanan masyarakat, antara lain :
  1. Kemurnian idealismenya
  2. Keberanian dan keterbukaannya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan baru
  3. Semangat pengabdiannya
  4. Spontanitas dan pengabdiannya
  5. Inovasi dan kreativitasnya
  6. Keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
  7. Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan kepribadiannya yang mandiri
  8. Masih langkanya pengalaman pengalaman yang dapat merelevansikakan pendapat, sikap, dan tindakannya dengan kenyataan yang ada.
Alasan-alasan tersebut pada dasarnya melekat pada diri pemuda yang jika dikembangkan dan dibangkitkan kesadarannya, maka pemuda dapat berperan secara alamiah dalam kepeloporan dan kepemimpinan untuk menggerakkan potensi-potensi dan sumber daya yang ada dalam masyarakat serta untuk kemajuan bangsa.
Menurut Ginandjar Kartasasmita, kepeloporan dan kepemimpinan bisa berarti sama yakni berada di muka dan diteladani oleh yang lain. Tetapi, dapat pula memiliki arti sendiri.
Kepeloporan jelas menunjukkan sikap berdiri di muka, merintis, membuka jalan, dan memulai sesuatu, untuk diikuti, dilanjutkan, dikembangkan, dipikirkan oleh yang lain. Dalam
kepeloporan ada unsur menghadapi risiko. Kesanggupan untuk memikul risiko ini penting dalam setiap perjuangan, untuk itu diperlukan ketangguhan fisik maupun mental dimana tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk mengambil risiko ini.
Kepemimpinan bisa berada di muka, bisa di tengah, dan bisa di belakang, seperti ungkapan “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wurihandayani”. Tidak semua orang juga bisa menjadi pemimpin. Pemimpin juga tidak dibatasi oleh usia, bahkan dengan tambah usia makin banyak pengalaman, makin arif kepemimpinan. Dalam konteks ini menurut Ginandjar adalah kepemimpinan di “lapangan”. Kepemimpinan dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pembangunan yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat, dalam berbagai kegiatan. Kepemimpinan serupa itu sangat sesuai untuk para pemuda, karena ciri pemuda yang dinamis. Kepemimpinan yang dinamis diperlukan oleh masyarakat yang sedang membangun. Apabila dengan bertambahnya usia, kepemimpinan menjadi lebih arif karena bertambahnya pengalaman, namun hal itu bisa dibarengi dengan berkurangnya dinamika. Pada lapisan pemimpin-pemimpin muda itulah diharapkan munculnya sumber dinamika. Sumber dinamika yang dapat mengembangkan kreativitas, melahirkan gagasan baru, mendobrak hambatan-hambatan, mencari pemecahan masalah, dan jika perlu dengan menembus sekat-sekat berpikir konvensional.
Keberadaan pemuda di Indonesia sesungguhnya dapat menjadi aset yang berharga bagi masa depan bangsa ini ke arah yang lebih baik dan mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain dalam segala bidang, dari sisi lain dengan begitu pemuda sangatlah ikut serta berperan aktif untuk kemajuan negeri ini, bertindak positif memajukan masyarakat yang berkemajuan dan membantu program pemerintah untuk munuju Indonesia yang sesuai yang tercantum dalam Pancasila.
https://jalandamai.org/peran-pemuda-untuk-masyarakat.html ( disalin pada tanggal 23/10/2018, 23.41 WIB )

Friday 19 October 2018

Merokok yang Mentaqwakan


Nyaris dari kita semua sepakat bahwa rokok hanya merupakan gaya hidup. Meski saya sendiri bukan perokok, namun saya mengimani bahwa rokok telah menjadi trend gaya hidup banyak orang, dan sebagian orang mungkin menyebutnya sebagai kebutuhan (dalam) hidup.  Pikiran liar saya malah menganggap bahwa rokok merupakan bagian dari hidup itu sendiri. Pasalnya, bungkus rokok selalu berkata; “merokok membunuhmu”  itu artinya merokok merupakan salah satu variable yang determinan dalam menentukan hidup-mati seseorang. Dan dewasa ini hal-ihwal rokok mulai ramai diperbincangkan khalayak, bukan soal halal-haramnya, namun lebih pada soal harganya yang melambung tinggi.
Sebagaimana dilansir Kompas.com, adalah Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, yang melakukan ijtihad riset kepada 1000 orang melalui telepon dalam kurun waktu Desember 2015 hingga Januari 2016. Sebanyak 76 persen perokok setuju jika harga rokok dan cukai dinaikkan. Hasil riset juga menunjukkan bahwa 72 persen responden mengatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas 50.000 rupiah.
Kebijakan menaikkan harga rokok dan cukai sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh negara-negara lainnya. Pasalnya, harga rokok di Indonesia memang paling murah dibanding harga rokok di negara lain. Di Singapura misalnya, harga rokok mencapai 120.000 rupiah, sedangkan (kemarin) di Indonesia hanya 12.000 rupiah saja.
Seperti biasa, menyoal kebijakan Pemerintah, suara Pro-Kontra itu pasti ada. Terlepas setuju atau tidak, itu kembali kepada diri kita sendiri. Namun alangkah baiknya jika melakukan kaidah yang berbunyi al khuruju minal khilafi mustahabun, alias keluar dari polemik pro-kontra, sembari mengambil hikmah yang terserak di balik aktivitas ‘merokok’.
Pertama, dengan rokok  –yang bungkusnya penuh ancaman membunuhmu–  bisa mengingatkan smoker kepada kematian. Dengan resiko mati yang cuma sejengkal jari dan sedekat nadi, karena hidup penuh ancaman ‘dibunuh’ rokok sendiri, mereka pasti waspada dan selalu dzikrul mautialias ingat mati. Sebagaimana termaktub dalam Kitab Mutammimah karya Syekh al ‘Allamah Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrohman Arru’aini Al Maliki yang berbunyi “shohhi syammir wa laa tazal dzakirol mauti ~ fanisyaanuhu dzolalun mubinu” terjemahan bebasnya adalah ‘waspadalah dan jangan pernah lupa untuk mengingat mati, karena melupakan resiko kematian adalah kesesatan yang nyata.

Kedua, ada adagium yang berbunyi al istiqomatu khoirun min alfi karomah, artinya konsistensi dalam suatu hal itu jauh lebih baik daripada seribu kemuliaan. Dengan begitu orang yang tetap mempertahankan aktivitas merokok artinya dia istiqomah dan lebih baik daripada seribu kemuliaan sekalipun. Sebagaimana anekdot “merokok ketika harga murah itu wajar, tapi merokok ketika harga mahal itu sangar,” seloroh seorang teman
Ketiga, ada fakta menarik yang ditemukan oleh seorang ahli kimia organik; Dr. Getha Zahar, yang menemukan terapi rokok untuk pengobatan kanker. Istilah yang dipakainya adalah terapi rokok divine atau divine kretek, yakni meniupkan asap rokok ke dalam lubang telinga, hidung, mulut pasien. Yang digunakan memang bukan rokok yang dijual di pasaran, karena dibuat dengan tembakau tingwe alias linthing dewe (racikan sendiri), tapi aktivitas mengobatinya tetap merokok bukan?
Keempat, merokok membuat sense of giving dan jiwa sosisal seseorang menjadi tinggi. Lazimnya dalam sebuah majlis ketika seorang perokok mau merokok, mereka menawarkan rokok kepada orang-orang di sekitarnya. “Monggo rokok, mas…” begitu kurang lebih ujarnya sembari menyodorkan bungkus rokok. Selain ada himmah dan usaha untuk memberi, ia juga melakukan ajaran Rosulullah untuk mendahulukan orang lain dalam urusan dunia. Lebih dari itu, sesama perokok biasanya saling peduli dengan ‘menyediakan’ nyala api korek kepada kawan yang lain.
Kelima, dengan naiknya harga rokok akan membuat penikmatnya semakin bersemangat dalam ikhtiyar mereka mencukupi kebutuhan. Anggaran biaya (gaya) hidup membengkak, maka harus putar otak, kreatifitas dalam usaha dan semangat bekerja semakin dipacu.  Sebab mereka menyakini kaidah fiqih al ajru ala qodri ta’ab, bahwa sebuah nilai sebuah upah itu disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam melakukannya. Jadi biarlah rokok mahal itu menjadi salah satu motivasi mereka untuk bekerja lebih giat.
Keenam, di jagad sosial media banyak taggar #KamiTidakPanik muncul dalam merespon harga rokok yang meroket. Hal ini adalah refleksi sebuah tawakkal  tingkat tinggi seorang hamba pada jaminan rejeki Tuhannya. Justru jika Tuhan mentakdirkan harga rokok mengalami kenaikan, maka ada probabilitas bertambahnya rejeki yang dijatahkan. Sebab mereka meyakini suatu ayat Al Quran; Laa yukallifulllahu nafsan illa wus’ahaa, bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya.
Ketujuh, merokok menambah rejeki kenikmatan. Ada quote ala santri yang berbunyi Ni’matul ududi ba’dad dhahaar, kenikmatan merokok adalah setelah makan. Maka lazimnya semakin nikmat ditabur seyogyanya kita semakin bersyukur, dan semakin bersyukur rejeki pasti ditambah nikmatnya. Sebagaima janji Allah dalam Al Quran; La in syakartum La azidannakum. Jika kalian bersyukur maka akan Aku (Allah-red) tambahi nkmat kepada kalian. Maka, nikmat mana lagi yang kau dustakan? Merokok –yang sering dianggap buruk– bisa jadi membuat penikmatnya lebih bertaqwa dibanding mereka yang tak merokok namun hanya bisa mencerca. Wallahu A’lam. (yeabe-69)
Yanuar Aris Budiarto, santri MUS-YQ, Yanbu’ul Quran Kudus. Alumnus Hubungan Internasional UNWAHAS Semarang.

Pesantren di Era Milenial

Oleh: Abdulloh Hamid M.Pd.
Syawwal, selain dikenal sebagai bulan silaturahmi, dikenal pula sebagai bulan awal masuk pesantren bagi para santri di pondok pesantren salafiyah (mondok). Tradisi mondok sendiri, mengakar di kalangan keluarga yang memiliki riwayat apakah orang tua atau saudaranya, yang dulunya juga mondok (sel lama).

Bagi keluarga santri dengan tradisi mondok yang sangat kental ini, tujuan memasukkan anak ke pondok pesantren, paling tidak ada dua hal utama. Pertama, tafaqquh fi al-din. Kedua, tabarrukan (berharap berkah) para kiai.
Seiring perkembangan zaman, di era teknologi informasi ini, ada pergeseran latar belakang santri mondok berikut tujuan yang melatarinya. Kini sudah banyak masyarakat ekonomi kelas menengah (ekonomi) dan masyarakat perkotaan (urban), yang juga tertarik memasukkan anaknya di pesantren.
Apa motif atau niatannya? Jika dianalisa secara mendalam, ketertarikan masyarakat ekonomi menengah dan masyarakat urban memasukkan anaknya di pesantren, antara lain dengan tujuan terhindar dari pergaulan bebas dan memiliki karakter yang baik.
Trust (kepercayaan) masyarakat kepada pesantren ini muncul, lantaran lembaga pendidikan tradisional yang telah memberikan sumbangsih tak terperikan bagi bangsa, ini diyakini mempunyai daya imun yang teruji dari pergaulan bebas yang melewati batas.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa realitas santri era milenial kini, tidak terbatas dari sel lama saja, melainkan ada sel-sel baru, yakni dari keluarga yang tidak memiliki tradisi mondok, sehingga ketika mau memasukkan anaknya di pondok, bisa jadi akan menanyakan perihal apakah di pondok tidurnya pakai memakaia alas (kasur), ada AC, bagaimana kamar tidurnya, kualitas makanan, apakah ada fasilitas internet, dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan semacam itulah, sejak dikampanyekan gerakan nasional Ayo Mondok oleh Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (PP RMI) Nahdlatul Ulama (NU) pada 1 Juni 2015 M bertepatan dengan 15 Sya’ban 1436 H, tim media dan informasi PP RMI NU mencatat ada banyak efek positif. Yaitu adanya peningkatan sel baru di berbagai pondok pesantren, seperti di pondok pesantren Lirboyo dan pondok Termas.
Berpijak pada prinsip al–muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al–akhdzu bi al–jadid al–ashlah, gerakan nasional Ayo Mondok menerjemahkannya sebagai tetap memelihara sel lama dan juga melayani kehadiran sel-sel baru di pesantren. Untuk itu, inovasi bagi pesantren di era milenial, adalah sebuah keniscayaan (keharusan).
Mengubah Paradigma
Sebagian masyarakat masih memiliki paradigma tidak memondokkan anaknya dengan alasan kasihan atau dengan banyak pertimbangan; bagaimana makannya, tidurnya, bagaimana anak mencuci pakaian dan lain sebagainya.
Tak pelak, sekolah SD, SMP dan SMA menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat, ketimbang memasukkan anak di madrasah (MI, MTs dan MA). ini berlanjut, selepas SMA, belakar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dinilai lebih menjanjikan dan berharap anaknya kelak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau bekerja di institusi bonafid dengan gaji besar.
Pandangan masyarakat inilah, yang mesti dirubah. Bahwa Anak adalah amanah dunia-akhirat, sehingga harus dijaga, dirawat, dan dipastikan pendidikannya sebaik mungkin, agar menjadi anak yang sholeh atau sholehah. Anak tidak sekadar membutuhkan asupan duniawi saja, juga asupan ukhrawi.
Rasulullah Muhammad SAW. dalam sebuah hadis bersabda: “ … Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak sholeh yang selalu mendoakannya” (HR Muslim 3.084).
Menurut Nurcholish Madjid (2002 : 5), pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Oleh Zamakhsyari Dhofier, pesantren diklasifikasi dalam dua kategori, yaitu pondok pesantren salafiyyah dan khalafiyyah.
Pengklasifikasian ini merujuk pada prespektif keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi. Pondok salafiyyah tetap mengajarkan kitab-kitab Islam klasik dengan sistem sorogan dan bandongan dalam pengkajiannya. Sedang pesantren khalafiyyah, telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya.
Di era sekarang, kendati orang tua mendapatkan banyak model pesantren berikut beragam jurusan bagi anaknya, namun ada nilai-nilai karakter pesantren yang penting sebagai garis penegas sebagaimana dikemukakan KH. Sahal Mahfudz (2005).
Nilai-nilai karakter itu adalah teguh dalam hal aqidah dasar dan syari’ah, toleran dalam hal syari’ah (tuntunan sosial), memiliki dan dapat menerima sudut pandang yang beragam terhadap sesuatu permasalahan sosial, serta menjaga dan mengedepankan moralitas sebagai panduan sikap dan perilaku keseharian.
Dan yang tak kalah penting dari keberadaan pesantren, yaitu bahwa santri mempunyai keunggulan di bidang keilmuan yang otoritatif, melalui sanad (mata rantai) keilmuan yang jelas dan tersambung hingga Rasulullah Muhammad SAW. Wallahu a’lam bi al-shawab. (aulawi)

Ironi Desa Membangun Indonesia

Angka kemiskinan di pedesaan semakin melonjak jauh melampaui angka kemiskinan di kota. Sebaran angka kemiskinan di pulau-pulau di Indonesia per Maret 2018 menunjukkan keterpurukan masyarakat pedesaan. Jika dirata-rata, angka kemiskinan di perkotaan 6,64 persen, sedangkan di pedesaan 15,45 persen.



Realitas itu menunjukkan ironi tersendiri. Pertama, desa adalah tempat produksi bahan-bahan pangan masyarakat. Sawah-sawah dan kebun pada umumnya terletak di desa. Desa menyediakan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Kedua, dalam empat tahun terakhir pemerintahan desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberikan kewenangan lokal berskala desa. Tak hanya sampai di situ, desa juga mendapat dana transfer dari pusat berupa Dana Desa, di samping Alokasi Dana Desa. Jumlah akumulatifnya berkisar Rp 1,2 miliar hingga Rp 2 miliar masing-masing desa sesuai dengan kondisi kemiskinan, luas, infrastruktur, dan tingkat kesulitan medan desa.

Ketiga, pengalokasian Dana Desa secara nasional selalu meningkat signifikan tiap tahun. Pada 2015 dialokasikan sebesar Rp 20,77 triliun, meningkat menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016, dan pada 2017 dan 2018 alokasinya kembali meningkat menjadi Rp 60 triliun, dan pada 2019 direncanakan naik hingga Rp 80 triliun.

Keempat, sesuai dengan Nawacita nomor tiga pemerintahan Jokowi-JK, yaitu membangun dari pinggiran, banyak program yang menyasar ke pedesaan, mulai program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, dan lain-lain.

Kelima, pemerintah desa mendapatkan fasilitas tenaga pendamping desa, yang eksistensinya melekat dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendamping desa ini direkrut, dilatih, dan ditugaskan untuk membantu pemerintah desa menjalankan program-program pemerintah desa agar strategis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang berlaku.

Jebakan dan Belenggu

Terdapat dua jebakan yang umum didapati dalam pembangunan desa. Pertama, garapan pemerintah desa cenderung mengarusutamakan pembangunan infrastruktur. Alasannya, kegiatan fisik lebih mudah dilihat hasilnya dan bisa dijadikan komoditas kampanye politik desa bagi kepala desa ketika pemilihan kepala desa periode berikutnya. Selain itu, kreativitas pemerintah desa rupanya masih banyak yang perlu distimulasi dengan best practies pembangunan desa dalam banyak bidang di desa-desa yang sudah maju dan mandiri.

Kedua, aturan terkait teknokrasi desa yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, pemberdayaan, pembangunan, dan pembinaan desa masih sangat rumit. Lebih-lebih persoalan administrasi dalam penyelenggaraan Dana Desa. Banyak pegiat desa yang mengeluhkan aspek ini. Mereka mengatakan, desa sudah diberi kewenangan dan dana namun masih dibelenggu dengan aturan-aturan yang rumit dan menyiksa pemerintah desa.

Pada titik tertentu, hal itu menyebabkan banyak pemerintah desa yang terjebak dalam kerumitan-kerumitan teknis. Potensi dan energi pendamping desa pun terkuras pada masalah-masalah teknis yang sebenarnya bisa diantisipasi oleh pemerintah pada aspek hulunya. Pendamping kemudian hanya seperti hakim garis yang menjadi juru bicara aturan tentang administrasi desa yang rumit.

Potensi pendamping desa untuk bisa menjadi mitra pemerintah desa dalam memunculkan dan mendorong gagasan visioner, progresif, inovatif, efektif, dan efisien dalam desa membangun Indonesia kemudian terbentur dengan ketakutan-ketakutan administratif yang oleh pihak-pihak tertentu sering dikonversi menjadi alat menundukkan desa.

Selain itu, hingga saat ini posisi pendamping subordinatif di bawah kepala desa. Eksistensinya seperti konsultan yang disediakan oleh pemerintah namun tetap harus tunduk pada kepala desa. Pekerjaannya dinilai oleh kepala desa dan untuk mencairkan honornya, timesheet pekerjaan pendamping harus disahkan kepala desa. Ini menyebabkan relasi kepala desa dengan pendamping desa tidak setara. Kondisi ini menyebabkan sulit mewujudkan dialog yang produktif dan menghasilkan gagasan inovatif dan progresif.

Menguatkan Pemberdayaan

Dengan kewenangan dan sumber dana yang memadai, desa sangat mungkin menginisiasi dan merencanakan pembangunan yang substantif, integratif, komprehensif, dan inovatif. Ini memberikan kesempatan kepada pemerintah desa untuk membangun dan menguatkan aspek pemberdayaan dan ekonomi pemerintah dan masyarakat desa melalui penekanan bidang pemberdayaan dan pembangunan ekonomi produktif di desa.

Penekanan pada aspek pemberdayaan dan pembangunan ekonomi desa merupakan pilihan strategis yang bisa memberikan percepatan kemandirian desa dengan meningkatkan pendapatan asli desa. Tingginya pendapatan asli desa (PADes) tentu akan menjadikan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) lebih besar, sehingga pada tahun-tahun anggaran selanjutnya, pemerintah desa dapat lebih leluasa dalam membangun sektor-sektor strategis lainnya, khususnya pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial dasar.

Pemberdayaan masyarakat desa harus dilakukan kepada petani, kelompok usaha produktif dan kreatif dalam kerangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produk mereka, berdasarkan keunggulan komparatif maupun kompetitif. Pemerintah desa perlu secara serius membina Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bergerak dalam bidang jasa promosi, distribusi, dan penjualan produk unggulan masyarakat desa yang telah diberdayakan sebelumnya.

Tentu, BUMDes ini harus dikelola secara inovatif dan profesional. Pemerintah desa melalui BUMDes ini akan menjadi marketer dan sales bagi produk-produk unggulan masyarakat desa. Dengan konsep ini, BUMDes dan masyarakat memiliki hubungan simbiosis mutualisme: ketika masyarakat desa produktif dan inovatif, maka BUMDes tentu memiliki kesempatan luas untuk membangun ekspansi bisnisnya, yang memungkinkan kedua belah pihak sama-sama untung optimal. Sehingga, kekhawatiran BUMDes akan "membunuh" usaha masyarakat desa dapat ditepis.

Kedua, pemerintah desa bisa menjadi motor bagi masyarakat desa untuk melakukan langkah-langkah kecil namun bisa berdampak besar bagi kedaulatan ekonomi desa. Seperti, gerakan menghidupkan pekarangan rumah dengan menanam cabe, sayur, buah-buahan, dan lain-lain yang bisa membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga.

Gerakan kecil ini bisa menekan pengeluaran sehari-hari rumah tangga. Ini bisa menjadi strategi menangkal dampak buruk semakin tingginya harga kebutuhan pokok di pasar. Kegiatan semacam ini misalnya telah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah desa Karangmelok, Tamanan Bondowoso, Jawa Timur sejak 2016.

Pemerintah desa juga bisa menjadi navigator bagi penyelesaian masalah-masalah produksi masyarakat desa. Ini misalnya dicontohkan pemerintah desa Harjomulyo, salah satu desa di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di desa yang mayoritas warganya adalah pengrajin krey itu, kepala desa menjadi motor gerakan menanam bambu di belakang rumah dan pinggiran lahan masyarakat khususnya yang di pinggir sungai.

Gerakan ini menyelesaikan persoalan kekurangan bahan baku krey yang sebelumnya banyak tergantung pada bahan baku dari luar desa. Dengan begitu, biaya produksi dapat ditekan. Di bagian hilirnya, pemerintah desa dengan BUMDes-nya bisa memutus mata rantai distribusi barang produk masyarakat desa sehingga bisa meningkatkan penghasilan masyarakat desa.

Langkah-langkah itu secara khusus mungkin bisa menjadi penangkal dampak buruk turunnya nilai tukar petani (NTP) desa dan naiknya harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat desa. Secara umum, langkah tersebut dapat menjadi penguat kedaulatan ekonomi desa.

Oleh Fathor Rahman Jm Dosen IAIN Jember, Pendamping Ahli Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) Kabupaten Bondowoso 2016-2017.

( disalin pada tanggal 20/10/2018, 00.53 WIB )

Tags

Recent Post