Latest News

Saturday 29 September 2018

Ini Loh !!! Yang di maksud dengan Pemberdayaan Masyarakat

Mandiri didefinisikan sebagai keadaan dimana satu pihak dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak-pihak lain. Namun, kemandirian (independence) juga dinyatakan sebagai prespektif yang sama sekali berbeda dengan saling ketergantungan (interdependence). Kondisi saling ketergantungan mensyaratkan kolaborasi dan sinergitas multi pihak. Arah dan ukuran keberhasilan pembangunan kini akan sangat ditentukan seberapa besar irisan sinergi dapat dilakukan oleh tiga pihak pelaku pembangunan (pemerintah, sektor usaha dan masyarakat sipil), dalam ruang kesetaraan dialog yang cukup luas bagi begitu kompleksnya permasalahan dan kondisi yang sesungguhnya kini dihadapi masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat di era globalisasi menghadapkan kita pada tantangan yang besar. Tantangan itu terlihat dalam ketidakstabilan ekologi, ekonomi, politik, sosial, dan kultural yang tampak nyata dalam pelanggaran HAM, degradasi lingkungan, eksploitasi ekonomi dan politik. Melihat tantangan yang kompleks ini, kebutuhan akan strategi pemberdayaan masyarakat (Desa) yang secara khusus diharapkan mampu:
  • merespon kondisi dan permasalahan masyarakat desa yang sangat spesifik di masing-masing wilayah;
  • membangun strategi pemberdayaan masyarakat yang mampu mendorong terwujudnya konsep desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah dengan membangkitkan dan mempertautkan segenap potensi kemampuan para pihak pada tingkat lokal itu sendiri,
  • membangun pemberdayaan yang memiliki perspektif jangka panjang dan tetap memegang teguh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pada sisi yang lain, UU Desa beserta PP, Permendagri, dan Permen Desa & PDT sudah diberlakukan secara formal sejak tahun anggaran 2015. Pemberlakukan UU dan peraturan tersebut mendorong dan menuntut kemandirian desa untuk diwujudkan. Desa akan mandiri jika masyarakatnya turut serta terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan, mengawasi, dan menyusun laporan bersama. Desa memiliki kewenangan besar mengatur rumah tangganya tanpa intervensi program dari pihak diluar desa. Tanggung jawab desa bukan lagi dipikul oleh perangkat pemerintah desa, melainkan bersama lembaga desa dan kelompok-kelompok masyarakat.
Desa Lestari merupakan strategi komprehensif yang dikembangkan bagi model pemberdayaan masyarakat desa yang berkelanjutan, seimbang dan lestari; pembangunan desa yang berusaha memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan desa dalam pemenuhan kebutuhannya di masa depan. Besarnya kewenangan desa dalam mengelola seluruh sendi kehidupannya memerlukan proses adaptasi, terutama bagi masyarakatnya. Desa Lestari awalnya merupakan pilot project program village development yang berbasis pendidikan masyarakat yang merupakan upaya memperkuat tata kelola pemerintahan desa yang baik dan mendorong terbangunnya kesepakatan pengelolaan desa. Desa masa depan adalah desa yang masyarakatnya partisipatif, mampu menumbuhkan dan mengembangkan nilai ekonomi, sosial, dan budaya. Maka dibutuhkan masyarakat desa yang sadar pada peran dan tanggung jawab atas keberlangsungan kehidupan desa. Desa harus berdaya bersama seluruh elemen yang ada di dalamnya, melalui penyelenggaraan kewenangan dasar desa yaitu asas rekognisi (hal-hal yang berkaitan dengan asal-usul) dan asas subsidiaritas (kewenangan lokal berskala desa).
Dalam memberdayakan masyarakat desa, Desa membutuhkan pihak eksternal yang berperan sebagai teman dan informan yang mampu memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan kawasan desa. Di era UU Desa masyarakat harus mau dan mampu menjadi subyek pembangunan. Masyarakat desa adalah mitra yang sejajar dengan perangkat pemerintahan desa. Desa yang otonom adalah konsep yang seharusnya dimaknai sebagai mampunya masyarakat desa untuk dapat mengatur dan melaksanakan dinamika kehidupannya berdasarkan kemampuan sendiri.*)

BUMDes sebagai Konektor 4.0



Revolusi Industri 4.0 bukan hanya masalah teknologi baru, tetapi masalah gagasan baru.

Berbeda dengan pemahaman banyak orang tentang disrupsi Industri 4.0, disrupsi tersebut tidak terjadi dengan acak. Disrupsi menyasar industri yang tidak efisien, contohnya industri transportasi, pemesanan tiket dan hotel dan sebentar lagi perbankan dan pendidikan. 

Customer sekarang berpikir mengapa saya harus membayar mahal, menunggu lama dan repot repot untuk hal hal yang bisa saya dapat lebih murah, cepat dan tidak repot.

Pebisnis lama, terjebak pada keyakinan-keyakinan usang. Bisnis hotel perlu modal besar, naik pesawat terbang memang biayanya mahal, buat supermarket perlu gudang besar. Keyakinan-keyakinan usang itu yang "membunuh" bisnis pemain-pemain lama.

Hal yang sama terjadi di desa. Berbeda dengan keyakinan banyak orang bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menyulitkan desa, justru Revolusi Industri 4.0 akan membuka banyak peluang bagi desa.

Saat ini banyak start up didukung kemampuan teknologi tinggi dan pendanaan besar siap masuk desa. 

Mereka mengembangkan drone, dengan kemampuan pencitraan dan sensor yang super sensitif, sehingga bisa memotret warna daun, mengukur suhu, kelembapan dan mengkonversinya, dengan bantuan kecerdasan buatan, untuk menghitung jenis pupuk, komposisi dan takaran yang tepat untuk tiap pohon!

Sistem pengairan yang terhubung dengan kendali elektronik jarak jauh, bisa dikendalikan secara otomatis atau dimodifikasi lewat tablet dan handphone. Hasil pertaniannya sudah terkoneksi dengan pasar nasional dan global lewat e-commerce. Inilah pola pertanian para millenial, mereka bertani dengan gadget.

Akan semakin banyak anak muda millenial, membawa teknologi digital untuk masuk ke desa, khususnya pertanian. Mereka melihat inefisensi terbesar industri di Indonesia ada di pertanian. Mengapa harga Alpokat Soe di NTT hanya Rp3.600 per kg dan menjadi Rp50.000 per kg di Jakarta?

Desa bukan miskin potensi, ataupun sumber daya manusia. Desa hanya tidak memiliki konektivitas yang tepat. Infrastrukur yang jelek, skala produksi yang kecil-kecil dan menyebar, sehingga membuat produk desa kalah bersaing atau tidak menemukan ceruk pasar yang tepat. 

Sebesar-besarnya potensi di desa, tetapi kalau tidak konek dengan pasar yang membutuhkan maka akan sia-sia. Disinilah peluang terbesar generasi millenial dan teknologi digital untuk melakukan intervensi. Argumen kami yang terakhir disinilah peran strategis BUMDes.

BUMDes bisa menjadi konektor, untuk menghubungkan potensi desa yang belum optimal dengan pasar, anak muda dengan teknologi digital dan jejaring pemasaran nasional. Inilah yang kami sebut BUMDed sebagai Konektor 4.0

Jangan sampai dengan hadirnya Revolusi Industri masuk ke desa, desa menjadi maju teapi kehilangan jati dirinya. Harga itu akan menjadi sangat mahal di masa depan, karena selama ratusan tahun desa sudah mengajarkan pada Indonesia, bahwa kearifan lokal, semangat persatuan dan gotong royong, serta konsisten menjaga kelestarian alam adalah modal terbesar untuk bertahan dan berkelanjutan.

Demikian ringkasan materi yang disampaikan di "Konferensi Pembangunan Jawa Barat 4.0" memperingati Dies Natalis Unpad ke 61.

Oleh Rudy Suryanto, Founder Bumdes.id

Desa Cerdas

desalogi.id - Desa Cerdas tumbuh merespon kemajuan teknologi, dari Teknologi Informasi sampai teknologi sumber daya terbarukan. Kisah perjuangan Desa agar memiliki domain sendiri, seperti desa.ID atau bentuk Sistem Informasi Desa lainnya, bisa disebut bagian dari rintisan Desa Cerdas ini. Kenyataannya, Desa-Desa yang mampu memanfaatkan Teknologi Informasi, kemajuan pembangunan Desa menemukan jalannya. Disebutnya, Desa tak lagi diberitakan tetapi Desa itu sendiri yang bercerita. Tentu melalui website Desa. 

Kemajuan Teknologi Informasi (TI) memang memberi dampak besar. Hampir setiap orang memiliki gadget, termasuk warga Desa. Informasi cepat mengalir ke setiap rumah, ke setiap orang tanpa banyak hambatan. Secara kelembagaan, UU Desa juga memfasilitasinya dengan Pasal terkait Sistem Informasi Desa (SID) yang menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten / Kota untuk mendukung pembangunan Desa. SID tidak tumbuh cepat, tapi justru Desa-Desa bergerak lebih maju bersama dukungan jejaring TI mereka. Di Pemalang, SID berkembang baik. Kelembagaan SID melalui Pusat Pemberdayaan Informatika dan Desa (Puspindes) yang dibentuk oleh Relawan TIK bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pemalang, mampu menopang tata kelola pembangunan Desa dan menguatkan pelayanan publik oleh Pemerintah Desa. Melalui Puspindes juga dikembangkan program Desa Pintar, dan bahkan TI telah didayagunakan untuk E-Vote Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Pemalang. 
Di Bali, Desa Duda Timur, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem mengembangkan aplikasi Sm@rtDesa untuk menangani kemiskinan, pelayanan publik, sistem kependudukan berbasis golongan darah, pengelolaaan potensi Desa, Toko Desa dan lain-lainya. Launching Sm@rtDesa oleh Bupati Karangasem sudah dilakukan pada awal tahun 2018. Kini warga Desa bisa merasakan manfaatnya. Efektitas pelayanan publik dari Pemerintah Desa bisa diwujudkan. Kepala Desa Duda Timur bisa bangga. Disiarkan TVRI pada 14 September 2018,  Perbekel Gede Pawarna menyatakan aplikasi Sm@rtDesa adalah yang pertama di Indonesia, dan ini adalah hadiah bagi Desa-Desa lainnya untuk memajukan wilayah Desanya. Model Desa Cerdas berdasar aplikasi yang lain juga banyak berkembang seperti aplikasi pemetaan partisipatif, atau pemetaan kemiskinan by name by address. Sayangnya, konsolidasi gagasan dan praktik kemajuan Desa Cerdas ini belum optimal. 
Desa Cerdas memang bukan sekedar soal Teknologi Informasi, khususnya internet. Tetapi ia bisa menjadi instrumen utamanya. Desa Cerdas lainnya adalah mengembangkan penerangan (listrik) dengan energi solar bertenaga matahari atau tenaga angin. Pemanfaatan sumber daya yang tersedia, terbarukan, tidak merusak ekologi untuk kemajuan wilayah menjadikan upaya itu bisa digolongkan cerdas. 
Pengalaman India, Desa Cerdas atau yang biasa disebut Smart Village, banyak didasarkan pada jawaban terhadap masalah kemiskinan Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal. Dukungan kebijakan berbasis teknologi dipandang penting untuk melepaskan Desa miskin itu lepas dari kesulitan kehidupan mereka. Contoh nyata soal penerangan. Tanpa listrik, kehidupan Desa berhenti sore, potensi desa tidak bisa dikembangkan, anak-anak pun tidak bisa belajar secara baik. Banyak contoh Smart Village yang bisa diakses melalui Youtube. 
Dari pengalaman-pengalaman mewujudkan Desa Cerdas itu, ada beberapa faktor kunci untuk pengembangannya. Pertama, inovasi. Kemampuan memahami wilayah, pemetaan potensi Desa, pelibatan aktif warga Desa akan memaksimalkan nilai-nilai dan kekuatan Desa dalam bentuk inovasi. Inovasi yang bersifat asli, empati dan partisipatif. Kedua, pemanfaaan kemajuan teknologi, baik TI maupun tekonologi sumber daya terbarukan. Karakteristik, potensi, kebutuhan utama Desa menentukan pilihan penggunaan teknologi ini. Ketiga, fokus pada tujuan untuk pemenuhan hak-hak dasar warga Desa. Pelayanan publik berbasis teknologi informasi adalah untuk memaksimalkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dasar mencapai dan tepat sasaran. 
Dari berbagai praktik baik Desa Cerdas juga, dukungan Pemerintah Desa yang anti korupsi, mampu menguatkan partisipasi warga Desa, dan sekaligus mampu dan kreatif melaksanakan Kewenangan Desa akan memaksimalkan proses dan dampak pengembangan Desa Cerdas pada pencapaian tujuan pembangunan Desa.
Ayo, jangan ragu untuk mulai.


Menengok Data Perkembangan Desa

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menjadikan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa mandiri serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menjadikan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa mandiri serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.
Semenjak UU Desa digulirkan empat tahun lalu, pemerintah mendukung gerakan pembangunan desa agar masyarakat desa bisa menjadi subjek pembangunan. Bukti ini tercetak jelas dalam Nawacita ketiga, yaitu "Membangun dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan." Upaya ini kemudian diperkuat dengan dukungan materiil berupa program dana desa.

Dana desa yang disalurkan tak tanggung-tanggung, mengalami kenaikan tiap tahunnya yaitu pada 2015 sebesar Rp 20,67 triliun, 2016 sebesar Rp 46,98 triliun, 2017 sebesar Rp 60 triliun, 2018 masih sebesar Rp 60 triliun, dan untuk 2019 pemerintah mengalokasikan hingga Rp 73 triliun. Dana ini banyak digunakan untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan desa, air bersih, MCK, irigasi, PAUD, dan sebagainya. Pemerintah tentu mengharapkan hasil bagunan fisik ini berdampak besar pada akselerasi kemajuan desa.

Data yang Tersedia

Perkembangan desa bisa dilihat dari berbagai data yang tersedia. Salah satunya adalah Indeks Desa Membangun (IDM) yang diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Indeks ini mengelompokkan desa menjadi lima kategori yaitu desa mandiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal, dan desa sangat tertinggal. IDM mulai diluncurkan pada 2015 dengan bersumber pada data Potensi Desa yang telah dipublikasikan oleh BPS.

Ada 54 variabel yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 dimensi yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Indikator sosial digunakan untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat desa yang terdiri dari modal sosial, kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Dimensi ekonomi digunakan untuk menggambarkan bagaimana ketahanan ekonomi desa yang dilihat dari keragaman produksi desa, tersedianya pusat pelayanan perdagangan, akses distribusi/logistik, akses ke lembaga keuangan, lembaga ekonomi, dan keterbukaan wilayah. Sedangkan, dimensi terakhir yaitu dimensi ekologi melihat kondisi lingkungan desa dari variabel kualitas lingkungan, potensi rawan bencana, dan tanggap bencana.

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni 2015, hanya 173 (0,23%) dari 74.093 desa yang menduduki kategori desa mandiri, disusul 3.610 desa maju (4,83%), 22.916 desa berkembang (30,66%), 33.948 desa tertinggal (45,41%), dan 14.107 desa sangat tertinggal (18,87%). Data ini menunjukkan bahwa kondisi desa pada waktu itu masih didominasi oleh kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal, sementara desa mandiri dan desa maju hanya mengambil porsi kurang dari 5% saja.

Perlu diingat kembali bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menargetkan terjadi peningkatan desa paling sedikit 2.000 desa mandiri dan penurunan desa tertinggal sampai dengan 5.000 desa tertinggal. Artinya, pemerintah harus bisa membuat komposisi perkembangan status desa yang terdiri dari setidaknya 2,93% desa mandiri, dan menekan jumlah desa tertinggal hingga tersisa 39,07% pada 2019. Bukan pekerjaan mudah tentunya. Pemerintah perlu terus memantau bagaimana perkembangan desa setiap tahunnya agar penanganan melalui kebijakan bisa sigap dilakukan.

Pada tahun berikutnya 2016, Kemendesa PDTT melakukan survei untuk mengisi kekosongan input data IDM, karena publikasi data Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak dilakukan setiap tahun. Ada 1.429 desa yang dijadikan sebagai sampel yang hasilnya menunjukkan bahwa komposisi status perkembangan desa mengalami perbaikan. Meski tidak bisa dijadikan patokan sepenuhnya bahwa realitas seluruh desa lainnya mengalami perubahan dengan komposisi demikian, namun setidaknya dengan hasil survei ini, pemerintah bisa melihat gambaran kasar bagaimana arah pembangunan desa.

Dalam rentang waktu satu tahun, komposisi desa tertinggal mengalami penurunan dari 45,41% pada 2015 menjadi 31,36% pada 2016, jauh melebihi target yang diharapkan. Sementara, untuk desa mandiri juga mengalami perbaikan dari semula 0,23% menjadi 1,19% pada 2016. Komposisi status lainnya yaitu 15,32% desa maju, 46,95% desa berkembang, dan 5,17% desa sangat tertinggal. Sekali lagi, capaian ini diperoleh melalui hasil survei dengan sampel yang sedikit, sehingga pemerintah belum bisa melakukan klaim sepenuhnya.

Pada 2017, pemerintah absen dalam publikasi data perkembangan desa. Hal ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Kali ini pemerintah melakukan survei kembali untuk melihat perkembangan desa secara lebih nyata dengan jangkauan sampel yang lebih besar yaitu 69.115 desa, hampir mendekati total keseluruhan desa yang berjumlah 74.794 desa. Konsekuensinya waktu yang dibutuhkan juga panjang, sehingga hasil survei yang telah dimulai pada 2017 ini baru bisa disampaikan ke publik satu tahun berikutnya yaitu tahun sekarang 2018.

Melihat dari segi jumlah sampelnya, survei kali ini dirasa lebih tepat dibandingkan dengan tahun dasar yakni 2015. Selama 3 tahun berjalan, status beberapa desa telah mengalami perbaikan. Jumlah desa maju bertambah menjadi 4.784 desa (6,92%), desa berkembang sebanyak 30.293 desa (43,83%), dan desa sangat tertinggal jauh berkurang menjadi 6.633 desa (9,6%). Bahkan untuk target pemerintah dalam mengentaskan setidaknya 5.000 desa tertinggal hampir tercapai, karena jumlah desa tertinggal terbaru sebanyak 27.092 desa (39,20%). Angka ini jauh berkurang dibandingkan 2015.

Jerih payah pemerintah dan berbagai pihak untuk mengangkat desa dari ketertinggalan tercermin dari hasil tersebut. Namun demikian, pekerjaan rumah tetap belum usai karena kondisi berbeda untuk target peningkatan desa mandiri. Datanya memang mengalami peningkatan namun tidak signifikan, yakni dari 173 desa pada 2015 menjadi 313 desa mandiri pada 2018, masih jauh dari target yang diinginkan. Akselerasi perbaikan status desa tertinggal sepertinya lebih kencang daripada desa mandiri.

Pemerintah harus bergegas diri untuk menelisik lebih dalam dan mencari solusi guna mewujudkan target yang telah direncanakan. Waktu yang tersisa kini hanya 1 tahun, butuh kerja keras dan dorongan gotong royong dari semua pihak. Mengungkit status desa demi kesejahteraan masyarakat desa merupakan tugas semua pihak yakni pemerintah, masyarakat desa, dan juga kita.

Oleh: Ana Fitrotul Mu'arofah, S.E, M.E 
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia

Sumber: Detik.com

Thursday 27 September 2018

BUMDes sebagai Konektor 4.0

Revolusi Industri 4.0 bukan hanya masalah teknologi baru, tetapi masalah gagasan baru.
Revolusi Industri 4.0 bukan hanya masalah teknologi baru, tetapi masalah gagasan baru.
Berbeda dengan pemahaman banyak orang tentang disrupsi Industri 4.0, disrupsi tersebut tidak terjadi dengan acak. Disrupsi menyasar industri yang tidak efisien, contohnya industri transportasi, pemesanan tiket dan hotel dan sebentar lagi perbankan dan pendidikan. 

Customer sekarang berpikir mengapa saya harus membayar mahal, menunggu lama dan repot repot untuk hal hal yang bisa saya dapat lebih murah, cepat dan tidak repot.

Pebisnis lama, terjebak pada keyakinan-keyakinan usang. Bisnis hotel perlu modal besar, naik pesawat terbang memang biayanya mahal, buat supermarket perlu gudang besar. Keyakinan-keyakinan usang itu yang "membunuh" bisnis pemain-pemain lama.

Hal yang sama terjadi di desa. Berbeda dengan keyakinan banyak orang bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menyulitkan desa, justru Revolusi Industri 4.0 akan membuka banyak peluang bagi desa.

Saat ini banyak start up didukung kemampuan teknologi tinggi dan pendanaan besar siap masuk desa. 

Mereka mengembangkan drone, dengan kemampuan pencitraan dan sensor yang super sensitif, sehingga bisa memotret warna daun, mengukur suhu, kelembapan dan mengkonversinya, dengan bantuan kecerdasan buatan, untuk menghitung jenis pupuk, komposisi dan takaran yang tepat untuk tiap pohon!

Sistem pengairan yang terhubung dengan kendali elektronik jarak jauh, bisa dikendalikan secara otomatis atau dimodifikasi lewat tablet dan handphone. Hasil pertaniannya sudah terkoneksi dengan pasar nasional dan global lewat e-commerce. Inilah pola pertanian para millenial, mereka bertani dengan gadget.

Akan semakin banyak anak muda millenial, membawa teknologi digital untuk masuk ke desa, khususnya pertanian. Mereka melihat inefisensi terbesar industri di Indonesia ada di pertanian. Mengapa harga Alpokat Soe di NTT hanya Rp3.600 per kg dan menjadi Rp50.000 per kg di Jakarta?

Desa bukan miskin potensi, ataupun sumber daya manusia. Desa hanya tidak memiliki konektivitas yang tepat. Infrastrukur yang jelek, skala produksi yang kecil-kecil dan menyebar, sehingga membuat produk desa kalah bersaing atau tidak menemukan ceruk pasar yang tepat. 

Sebesar-besarnya potensi di desa, tetapi kalau tidak konek dengan pasar yang membutuhkan maka akan sia-sia. Disinilah peluang terbesar generasi millenial dan teknologi digital untuk melakukan intervensi. Argumen kami yang terakhir disinilah peran strategis BUMDes.

BUMDes bisa menjadi konektor, untuk menghubungkan potensi desa yang belum optimal dengan pasar, anak muda dengan teknologi digital dan jejaring pemasaran nasional. Inilah yang kami sebut BUMDed sebagai Konektor 4.0

Jangan sampai dengan hadirnya Revolusi Industri masuk ke desa, desa menjadi maju teapi kehilangan jati dirinya. Harga itu akan menjadi sangat mahal di masa depan, karena selama ratusan tahun desa sudah mengajarkan pada Indonesia, bahwa kearifan lokal, semangat persatuan dan gotong royong, serta konsisten menjaga kelestarian alam adalah modal terbesar untuk bertahan dan berkelanjutan.

Demikian ringkasan materi yang disampaikan di "Konferensi Pembangunan Jawa Barat 4.0" memperingati Dies Natalis Unpad ke 61.

Oleh Rudy Suryanto, Founder Bumdes.id

Pembangunan Tidak Merata, Kemana Dana Desa ?


Ketika Kades Curhat ke Jokowi Tak Bisa Membuat LPJ Dana Desa

Suara.comBeberapa Kepala Desa di Yogyakartaa curhat ke Presiden Joko Widodokesulitan membuat laporan pertanggungjawaban dana desa. Alasan para kades itu karena laporan dana desa terdiri dari lembaran dokumen yang bertumpuk-tumpuk.
Salah satu kepala desa, Hari Wibowo menyampaikan langsung dihadapan Jokowi. Kepala desa Mlese, Ceper, Klaten, Jawa Tengah itu menceritakan betapa sulitnya dalam membuat LPJ terlebih harus mengutamakan pembayar pajak terutama untuk toko-toko di desa.
Ia menjelaskan tidak semua toko dapat menyesuaikan nilai barang pembelanjaan yang dirancang pemerintah desa, terlebih tidak semua toko mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

"Masalah pajak, padahal semua bantuan kena pajak,'' kata Hari saat ditunjuk maju menjelaskan persoalan LPJ anggaran desa.
Hari juga menyampaikan terkadang dalam perencaan dana desa itu tidak sesuai dengan realisasinya. hari menjelaskan beberapa masyarakat desa kurang pandai dalam mengatur perencanaan anggaran dana desa sehingga dalam pengimplementasiannya tidak berjalan dengan baik.
"Masalah realisasi antara perencanaan dan realisasi, dipelaksana kegiatan perencanaan tidak seperti yang diharapkan, sehingga laporan dana desa ada yang lebih ada yang kurang, implementasinya sulit,'' keluh Hari.
Hal sama juga dirasakan oleh Kandar, Kepala desa Timbulharjo, Sewon, Bantul. Kandar menjelaskan membuat laporan sangatlah rumit, seperti melampirkan kebutuhan dengan detail, kemudian toko tidak mempunyai pajak sehingga harus membuat nota sendiri untuk menyesuaikan standar laporan pertanggungjawaban anggaran desa yang dibuat oleh pemerintah.
"Yang jelas harus hati-hati, agak rumit, lampiran-lampirannya dan juga harus tepat waktu, kadang pajak itu toko nggak mau nghitung pajak, bikin nota sendiri. Karena semua kena pajak,'' ungkap Kandar.
Ia juga mengeluhkan, bagi para petani yang tidak punya NPWP, satu sisi dituntut untuk membeli barang material di desa atau lingkup kecamatan, menurut Kandar ini agak sulit dilakukan apalagi bagi masyarakat yang dinilai berada di kelas bawah.
"Petani yang gak punya NPWP juga susah ketika beli barang di toko deket desa," ungkap Kandar.
Mendengar keluhan masyarakat, Jokowi akan mencoba melakukan perbaikan sistem dan format laporan pertanggungjawaban anggaran desa. Jokowi membenarkan hampir semua desa merasa kesulitan dalam membuat laporan pertanggungjawaban.
"Saya sudah mendengar waktu ke desa itu memang keluhannya maslah LPJ keuangan, terlalu rumit saya kira kalau kita ini juga dalam lingkung desa laporannya seperti kementerian gak sanggup nanti," kata Jokowi usai menghadiri kegiatan temu kepala desa se-Jawa dan se-Kalimantan.
Jokowi akan mencoba untuk berkoordinasi dengan menteri keuangan untuk memperbaiki sistem tersebut. Ini dilakukan supaya LPJ tersebut lebih simpel dan gampang untuk dilihat kesalahannya.
"Ini akan saya koordinasikan dengan keuangan, nanti LPJ akan dievaluasi, lebih simpel lebih sederhana dan gampang ngeceknya,'' kata Jokowi.
Anggaran dana desa yang dikeluarkan dalam empat tahun terakhir dalam kepemimpinan Jokowi sudah mencapai Rp 187 triliun. Jokowi juga merinci pengeluaran dana desa dari tahun ketahun, dalam hitungannya tahun 2015 dana desa dikuncurkan Rp 20 triliun, tahun 2016 naik menjadi Rp 24 triliun, tahun 2017 naik lagi menjadi Rp 60 triliun dan tahun 2018 sama Rp 60 triliun. (Somad)

https://www.suara.com/news/2018/07/25/170444/ketika-kades-curhat-ke-jokowi-tak-bisa-membuat-lpj-dana-desa

Ridwan Kamil Bakal Pacu Program Desa Digital


AyoBandung.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) bakal segera meluncurkan program anyar, yaitu Desa Digital. Program Desa Digital betujuan mentransformasi kehidupan desa melalui teknologi. Program ini merupakan visi dari Jabar sebagai provinsi digital.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan kamil (ayobandung.com/Eneng Reni)



"Desa digital ini yang paling istimewa. Dalam waktu dekat kita akan merilis program desa digital. Di mana seluruh kehidupan desa akan kita digitalisasi. Ada wifi sadesaeun, punya website, punya akses langsung ke gubernur buat curhat, dan sebagainya, termasuk desa award juga,” kata Gubernur Jabar, Ridwan Kamil di Gedung Sate, Selasa (25/9/2018).

Menurut pria yang karib disapa Emil itu, nantinya, dengan program Desa Digital ini setiap desa di Jabar wajib memiliki wifi dan website yang berkenaan dengan masing- masing desa.

"Intinya konsep Desa digital ini mentransformasi kehidupan desa melalui teknologi. Jadi dia harus punya wifi di desanya, dia harus punya website tentang desanya," sambungnya.

Selain itu, Pemprov akan melakukan pelatihan digital commerce terhadap desa-desa di Jabar. Dengan begitu, masyarakat desa dapat melakukan transaksi jual beli online.

"Kita juga punya aplikasi agar warga desa bisa curhat langsung ke gubernur. Kita juga ada bantuan approve kredit via hp di desa-desa. Intinya kota mentranformasi desa sesuai visi Jawa Barat sebagai provinsi digital," ujarnya.

Selain akan merilis program Desa Digital, Pemrov Jabar pun, kata Emil, berupaya menjadikan Jabar Juara dari berbagai sisi. Oleh karenanya, saat ini dirinya menugaskan asistennya untuk meneliti peringkat Provinsi Jabar dari berbagai sisi.

"Makanya saya minta pak asisten meneliti ranking-ranking Jabar di bidang-bidang lain yang masih jelek. Misal, indeks kebahagian yang masih ranking 29 atau ranking-rangking yang dianggap kurang," tandasnya.


Reporter : Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Anggaran Dana Desa di Tahun 2019 Naik 73 Triliun






JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengatakan, alokasi dana desa untuk anggaran tahun 2019 akan lebih besar dari tahun ini. Dana desa merupakan bagian dari belanja pemerintah pusat dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. "Tahun depan (dana desa) mungkin meningkat kurang lebih Rp 73 triliun," ujar Jokowi dalam sambutannya di acara Pekan Purna Bakti Indonesia (PPI) di Jakarta, Selasa (25/9/2018). Jokowi menambahkan, alokasi anggaran untuk dana desa terus bertambah sejak 2015. Sejak 2015 hingga 2018 total alokasi anggaran untuk dana desa mencapai Rp 187 triliun. "Sebuah angka yang sangat besar sekali, kalau tidak ada pengawasan akan sangat berbahaya uang sebesar itu," ucap dia

Atas dasar itu, dia meminta penyaluran dana desa tersebut harus diawasi dengan sebaik-baiknya. Sebab, dana desa bisa sangat membantu masyarakat. "Kalau bisa digunakan tepat sasaran dan fokus ini akan bermanfaat bagi rakyat, petani, nelayan dan bagi penduduk kita yang ada di desa," kata Jokowi.





Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi: Anggaran Dana Desa di 2019 Naik Jadi Rp 73 Triliun", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/25/165659526/jokowi-anggaran-dana-desa-di-2019-naik-jadi-rp-73-triliun
Penulis : Akhdi Martin Pratama
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan



Wednesday 26 September 2018

INDUSTRI ANTI-KEMISKINAN

Oleh: Dr. H. Sutoro Eko Y, (Guru Desa)



Setiap calon penguasa pasti melakukan eksploitasi terhadap kaum miskin sembari obral anti-kemiskinan. Setelah berkuasa, sang penguasa itu bikin program antikemiskinan (penanggulangan kemiskinan) yang didukung dunia internasional, teknokrat, para ahli, LSM, fasilitator, dan masih banyak lagi.

Apa hasilnya? Pada tahun 2010, seorang pejabat program anti-kemiskinan berujar dengan data: "Dana untuk penanggulangan kemiskinan meningkat drastis sebesar 250% selama lima tahun, tetapi angka kemiskinan hanya turun 2%".

Mengapa bisa begitu? Pokoknya yang pakai kata "anti", baik antikorupsi maupun antikemiskinan, selalu terjebak pada gejala industri. Program penanggulangan kemiskinan adalah industri untuk mengawetkan kemiskinan. Dalam industri anti-kemiskinan pasti ada banyak kesibukan memproduksi indikator, data, statistik, sistem informasi, alat, panduan, pelatihan, laporan dan sebagainya. Manusia, warga dan rakyat disederhanakan dengan angka-angka statistik menjadi penduduk miskin, yang kemudian diintervensi secara teknis dengan proyek, perangkat dan bantuan.

Industri itu sungguh menyenangkan rakyat tetapi sebenarnya tidak menolong rakyat. Kata orang: proyek anti-kemiskinan ibarat menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang. Prestasi hebatnya adalah laporan statistik yang dikemas secara canggih untuk membius banyak orang, termasuk menjadi alat untuk ABS.



Smart Village

Desa memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Bukan hanya dikarenakan sebagian besar rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa, tetapi desa memberikan sumbangan besar dalam menciptakan stabilitas nasional. Pembangunan desa adalah merupakan bagian dari rangkaian pembangunan nasional. Berbagai bentuk dan program untuk mendorong percepatan pembangunan kawasan perdesaan telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya masih belum signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas penduduk miskin di Indonesia mendiami kawasan perdesaan. Rendahnya kesejahteraan masyarakat di kawasan perdesaan disebabkan antara lain oleh penyebaran sumber daya ekonomi yang tidak merata antara desa dan kota.

Desa-desa di Indonesia memiliki ciri khas unik tersendiri serta permasalahan yang berbeda. Persoalan ekonomi masih menjadi kendala bagi tercapainya Smart Village. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (2015), meskipun pembangunan ekonomi khususnya sektor produksi telah diintervensi melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara kelembagaan, reformasi perdesaan masih mengalami kendala di kelompok tani seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau Badan Usaha Unit Desa (BUUD).
Untuk mengatasi permasalahan ini, pembangunan desa harus dilakukan dengan cerdas (smart), yaitu agar penyelesaian masalah dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan masalah itu sendiri. Solusi cerdas yang dimaksud adalah dengan menerapkan desa cerdas (smart village), yaitu sebuah ekosistem yang memungkinkan pemerintah, industri, akademisi maupun elemen masyarakat terlibat untuk menjadikan desa menjadi lebih baik. Dalam konsep desa cerdas, konsep menjadi lebih baik diukur dengan melihat kinerja pengelolaan sumber daya sehingga menjadi lebih efisien, berkelanjutan dan melibatkan beragam elemen masyarakat. Konsep Smart Village dibutuhkan agar desa-desa tersebut mampu mengetahui permasalahan yang ada di dalamnya (sensing), memahami kondisi permasalahan tersebut (understanding), dan dapat mengatur (controlling) berbagai sumber daya yang ada untuk digunakan secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya.
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa maka menjadi peluang yang sangat besar bagi setiap desa yang ada di Indonesia untuk bisa mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Potensi desa adalah daya, kekuatan, kesanggupan dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu desa yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menerapkan strategi membangun desa dalam kerangka optimalisasi melalui:
  1. perubahan paradigma pihak yang berkepentingan;
  2. penguatan basis komunitas;
  3. proteksi komunitas;
  4. penguatan sumber daya manusia; dan
  5. penguatan modal sosial.
Dari studi pustaka mengenai pendekatan Smart Village yang ada di dunia dan juga dengan melihat indikator yang digunakan untuk menghitung masyarakat berkelanjutan, terlihat bahwa masing-masing pendekatan memiliki kekuatannya masing-masing.
Sebagaimana yang terlihat pada penggunaan terminologi Smart Village, India dan Kenya memiliki definisi yang berbeda. India membangun konsep Smart Village melalui ekosistem sedangkan Kenya, khususnya desa Ikisaya membangun konsep Smart Village dengan fokus pada permasalahan utama di daerah mereka yaitu listrik. Keduanya memiliki irisan di kegiatan dimana edukasi masyarakat atau reformasi nilai merupakan bagian dari ekosistem Smart Village sementara di Kenya, edukasi ini diperlukan untuk mendukung keberlanjutan energi terbarukan di daerah tersebut. Irisan antara kedua negara yang mengadopsi pendekatan berbeda ini mengimplikasikan bahwa pendekatan ekosistem bisa berjalan selaras dengan pendekatan sektoral.

Menengok Data Perkembangan Desa

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menjadikan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa mandiri serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.
Gambar :https://www.bastamanography.id
Semenjak UU Desa digulirkan empat tahun lalu, pemerintah mendukung gerakan pembangunan desa agar masyarakat desa bisa menjadi subjek pembangunan. Bukti ini tercetak jelas dalam Nawacita ketiga, yaitu "Membangun dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan." Upaya ini kemudian diperkuat dengan dukungan materiil berupa program dana desa. 


Dana desa yang disalurkan tak tanggung-tanggung, mengalami kenaikan tiap tahunnya yaitu pada 2015 sebesar Rp 20,67 triliun, 2016 sebesar Rp 46,98 triliun, 2017 sebesar Rp 60 triliun, 2018 masih sebesar Rp 60 triliun, dan untuk 2019 pemerintah mengalokasikan hingga Rp 73 triliun. Dana ini banyak digunakan untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan desa, air bersih, MCK, irigasi, PAUD, dan sebagainya. Pemerintah tentu mengharapkan hasil bagunan fisik ini berdampak besar pada akselerasi kemajuan desa.

Data yang Tersedia


Perkembangan desa bisa dilihat dari berbagai data yang tersedia. Salah satunya adalah Indeks Desa Membangun (IDM) yang diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Indeks ini mengelompokkan desa menjadi lima kategori yaitu desa mandiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal, dan desa sangat tertinggal. IDM mulai diluncurkan pada 2015 dengan bersumber pada data Potensi Desa yang telah dipublikasikan oleh BPS. 



Ada 54 variabel yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 dimensi yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Indikator sosial digunakan untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat desa yang terdiri dari modal sosial, kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Dimensi ekonomi digunakan untuk menggambarkan bagaimana ketahanan ekonomi desa yang dilihat dari keragaman produksi desa, tersedianya pusat pelayanan perdagangan, akses distribusi/logistik, akses ke lembaga keuangan, lembaga ekonomi, dan keterbukaan wilayah. Sedangkan, dimensi terakhir yaitu dimensi ekologi melihat kondisi lingkungan desa dari variabel kualitas lingkungan, potensi rawan bencana, dan tanggap bencana.

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni 2015, hanya 173 (0,23%) dari 74.093 desa yang menduduki kategori desa mandiri, disusul 3.610 desa maju (4,83%), 22.916 desa berkembang (30,66%), 33.948 desa tertinggal (45,41%), dan 14.107 desa sangat tertinggal (18,87%). Data ini menunjukkan bahwa kondisi desa pada waktu itu masih didominasi oleh kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal, sementara desa mandiri dan desa maju hanya mengambil porsi kurang dari 5% saja.
Perlu diingat kembali bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menargetkan terjadi peningkatan desa paling sedikit 2.000 desa mandiri dan penurunan desa tertinggal sampai dengan 5.000 desa tertinggal. Artinya, pemerintah harus bisa membuat komposisi perkembangan status desa yang terdiri dari setidaknya 2,93% desa mandiri, dan menekan jumlah desa tertinggal hingga tersisa 39,07% pada 2019. Bukan pekerjaan mudah tentunya. Pemerintah perlu terus memantau bagaimana perkembangan desa setiap tahunnya agar penanganan melalui kebijakan bisa sigap dilakukan.


Pada tahun berikutnya 2016, Kemendesa PDTT melakukan survei untuk mengisi kekosongan input data IDM, karena publikasi data Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak dilakukan setiap tahun. Ada 1.429 desa yang dijadikan sebagai sampel yang hasilnya menunjukkan bahwa komposisi status perkembangan desa mengalami perbaikan. Meski tidak bisa dijadikan patokan sepenuhnya bahwa realitas seluruh desa lainnya mengalami perubahan dengan komposisi demikian, namun setidaknya dengan hasil survei ini, pemerintah bisa melihat gambaran kasar bagaimana arah pembangunan desa. 



Dalam rentang waktu satu tahun, komposisi desa tertinggal mengalami penurunan dari 45,41% pada 2015 menjadi 31,36% pada 2016, jauh melebihi target yang diharapkan. Sementara, untuk desa mandiri juga mengalami perbaikan dari semula 0,23% menjadi 1,19% pada 2016. Komposisi status lainnya yaitu 15,32% desa maju, 46,95% desa berkembang, dan 5,17% desa sangat tertinggal. Sekali lagi, capaian ini diperoleh melalui hasil survei dengan sampel yang sedikit, sehingga pemerintah belum bisa melakukan klaim sepenuhnya.



Pada 2017, pemerintah absen dalam publikasi data perkembangan desa. Hal ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Kali ini pemerintah melakukan survei kembali untuk melihat perkembangan desa secara lebih nyata dengan jangkauan sampel yang lebih besar yaitu 69.115 desa, hampir mendekati total keseluruhan desa yang berjumlah 74.794 desa. Konsekuensinya waktu yang dibutuhkan juga panjang, sehingga hasil survei yang telah dimulai pada 2017 ini baru bisa disampaikan ke publik satu tahun berikutnya yaitu tahun sekarang 2018.



Melihat dari segi jumlah sampelnya, survei kali ini dirasa lebih tepat dibandingkan dengan tahun dasar yakni 2015. Selama 3 tahun berjalan, status beberapa desa telah mengalami perbaikan. Jumlah desa maju bertambah menjadi 4.784 desa (6,92%), desa berkembang sebanyak 30.293 desa (43,83%), dan desa sangat tertinggal jauh berkurang menjadi 6.633 desa (9,6%). Bahkan untuk target pemerintah dalam mengentaskan setidaknya 5.000 desa tertinggal hampir tercapai, karena jumlah desa tertinggal terbaru sebanyak 27.092 desa (39,20%). Angka ini jauh berkurang dibandingkan 2015. 



Jerih payah pemerintah dan berbagai pihak untuk mengangkat desa dari ketertinggalan tercermin dari hasil tersebut. Namun demikian, pekerjaan rumah tetap belum usai karena kondisi berbeda untuk target peningkatan desa mandiri. Datanya memang mengalami peningkatan namun tidak signifikan, yakni dari 173 desa pada 2015 menjadi 313 desa mandiri pada 2018, masih jauh dari target yang diinginkan. Akselerasi perbaikan status desa tertinggal sepertinya lebih kencang daripada desa mandiri.



Pemerintah harus bergegas diri untuk menelisik lebih dalam dan mencari solusi guna mewujudkan target yang telah direncanakan. Waktu yang tersisa kini hanya 1 tahun, butuh kerja keras dan dorongan gotong royong dari semua pihak. Mengungkit status desa demi kesejahteraan masyarakat desa merupakan tugas semua pihak yakni pemerintah, masyarakat desa, dan juga kita.



Ana Fitrotul Mu'arofah, S.E, M.E Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia


Tags

Recent Post