Latest News

Showing posts with label Tokoh Pewayangan. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Pewayangan. Show all posts

Wednesday, 1 January 2014

Semar dan Punokawan

 Batara Semar

 MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru. Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
·         tidak pernah lapar
·         tidak pernah mengantuk
·         tidak pernah jatuh cinta
·         tidak pernah bersedih
·         tidak pernah merasa capek
·         tidak pernah menderita sakit
·         tidak pernah kepanasan
·         tidak pernah kedinginan

Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nyaIa selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akanmencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar. Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta. Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Semar dan Wahyu
Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Batara Semar,” telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.
Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.
Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hidup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu
Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.
Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.
Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.
Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.
Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.
Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga
Bocah Bajang dan Semar
Bocah Bajang nggiring angin
anawu banyu Segara
 ngon-ingone kebo dhungkul
sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.


Semar dan Dewa Ruci, keduanya merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat. (lukisan karya: herjaka HS, tahun 2003)
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akanmisteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang samaKe duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.


Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan ‘ngelmu’ sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati.Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
Panakawan
Di dalam cerita Pewayangan khususnya Yogyakarta dan Surakarta dikenal adanya tokoh Panakawan. Pana artinya mengetahui, memahami permasalahan yang dihadapi dan mampu memberikan solusi-solusinya. Sedangkan Kawan atau sekawan selain berarti berjumlah empat, juga dapat dimaknai sebagai teman atau sahabat. Mereka adalah Semar beserta ketiga anaknya, yaitu; Gareng, anak yang paling tua, Petruk anak kedua dan yang bungsu bernama Bagong.
Tugas utama panakawan adalah menghantar dan memomong tokoh ksatria dalam mencari dan mencapai cita-cita hidupnya. Hubungan antara panakawan dan tokoh ksatria adalah hubungan yang sangat lentur. Kadang-kadang hubungan mereka bagaikan abdi dan bendara, yang melayani dan yang dilayani. Ada kalanya hubungan mereka seperti layaknya raja dan rakyatnya, gusti dan kawula, yang disembah dan yang menyembah Namun yang lebih tepat hubungan antara Panakawan dan ksatria bagaikan kedua sahabat yang saling berkomunikasi, berinteraksi, bertukar pendapat serta pikirannya untuk menyelesaikan dan menyingkirkan masalah-masalah yang menghalangi dalam usahanya mencapai sebuah cita-cita. Mereka saling asah (mengasah budi dan pikiran), asih (mengasihi dan mencintai), asuh (menjaga dan memelihara).
Keberhasilan tokoh ksatria dalam mencapai cita-citanya sangat bergantung kepada panakawan. Jika sang ksatria bersikap rendah hati mampu membina hubungan yang harmonis dengan panakawan, mau membuka hati untuk mendengarkan dan melaksanakan saran dari tokoh panakawan, dan rela hidup miskin, niscaya keberhasilan akan tercapai. Namun jika terjadi sebaliknya, kegagalanlah yang didapat. Karena begitu dominannya peran panakawan dalam menentukan keberhasilan sang ksatria, maka kemudian muncul sebuah pertanyaan Siapakah sesungguhnya tokoh panakawan tersebut? Menyimbolkan apakah mereka? Mengapa berjumlah empat?
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan (ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
Sementara itu ada yang menguraikan bahwa ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta,. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan.Tangan cekot adalah rasa ketelitian. Kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Tangan depan menuding dengan telunjuknya, tangan belakang dalam posisi menggenggam. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya pekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karsa berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masin-masing dengan harmonis untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Diibaratkan seorang sais (jati diri manusia) mengendarai sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda (cipta, rasa, karsa dan karya). Bagaimana Kereta itu berjalan untuk mencapai tujuan sangat bergantung dengan kemampuansais dalam mengendalikan dan mengoptimalkan kuda-kudanya. Jika si sais terampil niscaya ke empat kudanya akan kompak berderap berpacu menuju sasaran. Rintangan yang menghadang di jalan tidak akan membuat kereta jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Paling-paling kereta akan mengurangi kecepatan sejenak untuk kemudian berpacu kembali. (Herjaka HS)


Wednesday, 24 July 2013

Hanoman (Kethek Putih)



Anoman dalam bentuk Wayang Kulit Purwa buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)  

Di sebuah telaga Nirmala ada seorang Dewi muda namanya Dewi Anjani. Ia sedang melakukan tapa Ngodok, yaitu laku tapa dengan merendamkan badannya ke dalam air dan tidak memakai busana. Laku tapa tersebut dilakukan oleh Anjani untuk sebuah permohonan, yaitu agar dirinya dibebaskan dari kutukan. Dewi Anjani yang berparas cantik dikutuk sehingga berubah menjadi berparas kera ketika ia dan dua saudaranya saling berebut pusaka Cupumanik Astagina. Walaupun Anjani berparas kera, kemolekan dan kemulusan tubuh seorang Dewi muda masih nampak kentara di balik jernihnya air telaga. 

Pada saat itu Batara Guru dewa tertinggi penguasa kahyangan sedang melanglang buwana dan melintas di atas tempat Dewi Anjani yang sedang merendamkan diri tanpa busana di tengah telaga. Melihat tubuh molek tersebut Batara Guru tak kuasa membendung gelora birahinya, maka keluarlah kama Batara Guru dan jatuh menimpa daun talas. Daunt alas tersebut hanyut terbawa arus air telaga, dan menuju ke mulut Dewi Anjani untuk kemudian dimakan. Akibatnya Dewi Anjani hamil. Batara Guru menyadari bahwa kehamilan Dewi Anjani akibat dari perilakunya maka diperintahkannya para Bidadari kahyangan untuk membantu persalinan Dewi Anjani. Namun jika dirunut dengan seksama kehamilan Dewi Anjani tersebut tidak semata-mata karena kama Batara Guru, namun juga karena daun talas. Karena sesungguhnya daun talas yang dimakan Dewi Anjani tersebut mempunyai kisahnya tersendiri. 

Kisah daun talas bermula ketika Rama dan Sinta diikuti oleh Laksmana adik Rama, meninggalkan Negara Ayodya memasuki hutan Dandaka. Pada waktu itu Dewi Sinta dalam keadaan hamil muda. Dikarenakan hidup susah di hutan maka kandungan Sinta mengalami keguguran. Janin muda yang gugur dari rahim Sinta dibungkus dengan daun talas dan dibuang jauh oleh Laksmana dan jatuh di telaga Nirmala. Daun talas pembungkus janin anak Sinta itulah yang bersama kama Batara Guru kemudian masuk kerahim Dewi Anjani dan membuahkan janin baru yang hidup.

Maka setelah tiba waktunya Dewi Anjani melahirkan seorang bayi laki-laki berupa kera berbulu putih kemilau dan diberi nama Anoman. Dewi Anjani dan Anoman kemudian dibawa ke Kahyangan. Sesampainya di Kahyangan Dewi Anjani dibebaskan dari kutuknya. Wajahnya dipulihkan seperti sedia kala berparas seorang Dewi yang molek. Sedangkan Anoman oleh Batara Guru diserahkan kepada Batara Bayu, Dewa penguasaa angin, untuk diasuh dan dididik agar menjadi seorang ksatria sakti dan perkasa yang berwatak luhur dan rendah hati. 

Oleh Batara Bayu Anoman diajari berbagai ilmu yang mengandalkan kekuatan angin. Oleh karena itu Anoman juga bernama Maruti yang artinya angin, karena diasuh oleh dewa angin. Anoman diberi busana yang serupa dengan busana Dewa Bayu yaitu Kampuh Poleng Bang Bintuluaji, dan Kuku Pancanaka 
Dari kisah tersebut tidak salah jika Anoman disebut Guru Putra karena anak Batara Guru, juga tidak salah jika disebut Ramandayapati karena anak Rama dan Bayu Suta karena anak Batara Bayu.

Dibawah asuhan Batara Bayu yang berkuasa atas angin, Anoman yang berujud kera berbulu putih tumbuh menjadi remaja yang perkasa. Atas perintah Batara Guru Anoman ditugaskan turun ke dunia untuk membantu Rama memerangi kejahatan. Kedatangan Anoman ke dunia menuju ke kerajaan kera yang berpusat di Goa Kiskenda, yang dirajai oleh Sugriwa uwak Anoman. Pada waktu itu Sugriwa sedang bermusuhan dengan Subali, saudara kembarnya.

Oleh karena Sugriwa tidak dapat mengalahkan Subali, Anoman diutus mencari bantuan untuk mengalahkan Subali. Maka kemudian bertemulah Anoman dengan Rama yang sanggup membantu Sugriwa dalam mengalahkan Subali. Setelah Rama berhasil membunuh Subali, Sugriwa dengan seluruh balatentara kera berjanji akan membantu Rama dalam mencari serta merebut Sinta dari tangan Dasamuka

Untuk menjajagi kekuatan Dasamuka di Negara Alengka, Anomanlah yang dipercaya Rama untuk menyusup ke Negara Alengka. Perjalanan Anoman sebagai duta Rama dihadang oleh Dewi Sayempraba putri begawan Wiswakrama. Dengan daya pikatnya, Dewi Sayempraba berhasil membujuk Anoman untuk singgah di kediamannya. Anoman, sebagai remaja belia yang belum berpengalaman terlena oleh rayuan Dewi Sayempraba. Dibalik pelayanan yang lembut dan romantis ada niat jahat yang sengaja disembunyikan. Dewi Sayempraba yang adalah isteri Dasamuka bermaksud membunuh Anoman dengan taburan racun pada buah-buahan yang disajikan, agar supaya Anoman gagal menjadi duta Rama dalam memerangi Dasamuka.
Dengan tidak menaruh kecurigaan terhadap Dewi Sayempraba, Anoman memakan buah yang disajikan dengan lahapnya. Racun yang ada dalam buah tersebut bereaksi amat cepat. Anoman tiba-tiba menjadi buta dan kehilangan seluruh kekuatannya. Bagai seonggok kain basah Anoman dicampakkan dan sengaja dibiarkan oleh Dewi Sayempraba sampai maut menjemput. 

Dalam kegelapan dan ketidak berdayaan Anoman dihampiri sosok burung Garuda yang terluka namanya Sempati. Racun yang menjalar disekujur tubuh Anoman dihisap dengan paruh dan bulunya, hingga benar-benar bersih. Tidak beberapa lama kemudian Anoman dapat melihat kembali dan pulih kekuatannya. 
Selanjutnya Garuda Sempati memberitahukan secara rinci mengenai Negara Alengka termasuk keberadaan taman Argosoka, tempat Dewi Sinta disekap. Setelah semuanya menjadi jelas, Anoman terbang secepat kilat menuju taman Argosoka, meninggalkan Dewi Sayempraba yang telah menyekapnya dengan nikmat dan racun yang mematikan.

Dewi Sayempraba kecewa karena telah gagal menjalankan tugasnya untuk menghalangi Anoman menjadi duta ke Negara Alengka. Namun dibalik kegagalannya Dewi Sayempraba mendapatkan apa yang selama ini didambakan yaitu seorang anak, yang sekarang telah tumbuh dalam rahimnya. Benih itu telah disemaikan oleh Anoman  (Herjaka HS)

Durmagati



Durmagati dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) 

Durmagati adalah anak Destarastra dan Dewi Gendari, penguasa Kadipaten Gajahoya. Bersama sembilanpuluh sembilan saudara yang lain ia disebut dengan nama para Kurawa. Durmagati tinggal di kasatrian Sobrahblambangan. Walaupun tidak termasuk tokoh utama, Durmagati selalu hadir dalam pasowanan di kraton Hastinapura.

Kehadiran tokoh yang satu ini cukup menghibur, karena keluguannya serta kelucuannya. Namun dibalik keluguan dan kelucuan tersebut sesungguhnya Durmagati senantiasa melontarkan kritik kepada petinggi kerajaan yang tidak bertanggungjawab. Termasuk juga yang sering memberikan laporan palsu, merekayasa, menfitnah sampai dengan merencanakan pembunuhan. Herannya, sebagian besar petinggi yang dikritik Durmagati tidak marah, hal tersebut dapat dimaklumi karena cara menyampaikan kritik Durmagati dengan gurauan dan selengekan.

Ketika ada perubahan kepemimpinan di Negara Hastinapura, Duryudana kakaknya naik tahta. Kebiasaan Durmagati dalam melontar kritik semakin berani. Yang menjadi sasaran kritik Durmagati antara lain adalah Patih Sengkuni, Pandita Durna, Adipati Karna, dan juga Duryudana.  Selain mengkritik, tidak ada satu pun hal besar yang dilakukan oleh Durmagati. Ia sangat penakut, tidak berani menghadapi musuh sendirian. Kecuali jika keroyokan. 

Dalam perang besar Baratayuda yang melibatkan Negara Hastinapura, Durmagati bersama Jayadrata serta para kurawa yang lain mengeroyok Abimanyu anak Harjuna hingga tewas. Harjuna mengamuk dan menghujankan ribuan anak panah kearah orang-orang yang membunuh Abimanyu. Semua pembunuh Abimanyu tewas, termasuk juga Durmagati. (Herjaka HS)



Dursasana



Tokoh Dursasana dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Tembi rumah budaya. (Foto: Sartono)

Dursasana adalah anak nomor dua dari pasangan Destarastra dengan Dewi Gendari. Ia mempunyai 99 saudara kandung yang disebut Kurawa. Adik Prabu Duryudana raja Hastina ini bertempat tinggal di kadipaten Banjarjungut. Ia beristrikan salah satu putri dari Negeri Kasipura atau Swantipura yang bernama Dewi Saltani. Dari perkawinannya Dursasana mempunyai anak tunggal bernama Raden Dursala.

Sepanjang hidupnya Dursasana selalu mendukung semua rencana Duryudana untuk membunuh para Pandawa, yang adalah adik sepupunya. Dursasana berbadan tingi besar. Tangannya tidak mau diam, selalu bergerak-gerak pada setiap aktivitasnya. Pada waktu duduk, pada waktu bicara, bahkan pada saat tidur pun tangan Dursasana selalu bergerak-gerak.
Ia dikenal sebagai seseorang yang sangat kurangajar, tidak tahu sopan santun. Catatan dalam sejarah hidupnya yang dinilai sangat keterlaluan dalam ukuran kekurangajaran adalah ketika, para Kurawa yang dibotohi oleh Sengkuni memenangkan permaian dadu. Pada waktu itu Dursasana menjambak rambut Durpadi dan menyeretnya dari keputren ke hadapan orang banyak.
Atas hasutan Sengkuni dan Karna, pakaian Durpadi berusaha dilepas oleh Dursasana dihadapan kalayak. Namun keajaiban terjadi, setiap kali Dursasana berhasil menanggalkan pakaian Durpadi, secepat kilat, dengan tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, pakaian Durpadi kembali utuh seperti semula.

Demikian hingga berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus pakaian Durpadi yang dilepas Dursasana, tidak membuat Durpadi telanjang. Pakaian yang dikenakan masih utuh menempel di badannya. Dursasana kehabisan tenaga, ia terbaring lemas tertimbun pakaian Durpadi yang menggunung. 

Atas kekurangajaran Dursasana yang kelewat batas, Dursasana menerima hukum karma. Walaupun ia mempunyai pusaka sakti yaitu panah Kyai Barla, ia tak kuasa menandingi kesaktian Wrekudara. Dursasana mati secara mengenaskan di tengah sungai Kelawing atau Cing-Cing Goling. Darahnya dipakai keramas Durpadi yang telah dikurangajari habis-habisan. (Herjaka HS)


Batara Kamajaya



Kamajaya dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. Selain bentuk seperti Lesmana Widagda, Kamajaya digambarkan memakai jubah bermotif dan bersepatu, atau memakai mahkota uncit dengan motif bludiran (foto: Sartono)

Batara atau Dewa Kamajaya adalah anak Sang Hyang Ismaya, saudara kandung Yamadipati. Kamajaya adalah salah satu dari Dewa yang berjumlah tigapuluh. Kamajaya merupakan dewa yang paling tampan.

Tempat tinggalnya di Kahyangan Cakrakembang. Isterinya bernama Dewi Kamaratih. Sepasang dewa-dewi ini dikenal sebagai dewa asmara atau dewa cintakasih. Sikap saling setia dan saling mencintai diantara mereka patut dijadikan tauladan bagi pasangan suami isteri. Karena sikap keteladanan itulah maka tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih digunakan sebagai symbol dalam upacara perkawinan. Dengan tujuan agar sepasang suami istri itu nantinya selalu rukun sepanjang hidupnya, seperti Kamajaya dan Dewi Kamaratih.

Kamajaya memiliki senjata yang sakti yaitu panah Pancawiyasa. Dalam cerita pewayangan Kamajaya pernah dibunuh oleh Batara Guru, pada saat Kahyangan diserang oleh Prabu Nilarudraka. Ketika itu Batara Guru sedang tidur, dan tidak ada Dewa yang berani membangunkannya. Akhirnya Kamajaya melepaskan panah Pancawiyasa untuk membangunkan Batara Guru. Maka bangunlah Batara Guru, tetapi ia langsung murka. Akhirnya Kamajaya dibunuhnya dengan Trinetra. 

Berdasarkan kitab Smaradahana dikisahkan bahwa Kamajaya yang telah mai dihidupkan kembali oleh Guru atas permohonan para dewa. Kamajaya sangat menyayangi para Pandawa. Beberapa kali ia menyelamatkan Pandawa pada saat genting. Salah satunya adalah ketika negara Amarta ditinggal para Pandawa yang sedang menjalankan tugas dan darmanya sebagai satria, Kamajaya datang menyamar sebagai pandita untuk melindungi para putra Pandawa dan para isteri Arjuna, dari serangan Kurawa. (Herjaka HS)


Prabu Destarastra


Destarastra wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya
(foto: Sartono) 

Aku adalah anak sulung Prabu Kresna Dwipayana atau Begawan Abiyasa raja Hastinapura, lahir dari seorang Ibu bernama Dewi Ambika putri dari negara Giyantipura atau negara Kasi. Sejak lahir aku mempunyai cacat netra, tidak dapat melihat atau buta. Aku mempunyai dua adik dari ibu yang berbeda yaitu Pandudewanata dan Yamawidura. 

Walaupun aku cacat, aku memiliki mantra sakti Aji Lebur Saketi yang sangat ditakuti lawan. Apabila mantra Aji Lebur Saketi aku baca maka semua benda yang aku pegang akan hancur menjadi debu. 
Nama lain dari Destarastra adalah Raden Kuru. Ia bertempat tinggal di Kadipaten Gajahoya. Isterinya bernama Dewi Gendari putri Prabu Keswara dari Plasajenar atau Gandaradesa. 

Perkawinan Destarastra dengan Gendari ini adalah atas kebaikan Pandudewanata adiknya, yang waktu itu memenangkan sayembara dengan memboyong tiga putri. Satu dari ketiga putri boyongan tersebut diberikan kepada Destarastra. Dari perkawinan dengan Dewi Gendari putri boyongan tersebut Destarastra dikaruniai seratus orang anak laki-laki dan ditambah satu anak perempuan, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kurawa. Dari seratus anak, yang lahir sulung merupakan anak istimewa. Istimewa karena ketika lahir bayi tersebut mempunyai badan yang paling besar, berkulit kuning dan tangisnya seperti serigala. Ia diberi nama Duryudana.

Pada akhir hayatnya, Destarastra mati tertimbun beteng bersama isterinya, dan tanpa sengaja diinjak-injak oleh seratus anaknya. Peristiwa tersebut terjadi pada awal perang Baratayuda, pada saat cerita Kresna duta. Ada versi lain yang mengatakan bahwa matinya Destarastra pada waktu perang Baratayuda sudah selesai, yaitu ketika Destarastra bersama Gendari isterinya bertapa di hutan. Tiba-tiba hutan terbakar dan mereka berdua mati bersama. (Herjaka HS)

Dewi Sinta



Sinta dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (Foto: Sartono) 

Dewi Sinta lahir dari rahim Dewi Tari isteri Dasamuka raja raksasa di negara Alengka. Kelahirannya sudah diramalkan oleh para ahli nujum negara Alengka, bahwa anak di dalam kandungan Dewi Tari tersebut adalah titisan Dewi Widowati yang diincar oleh Dasamuka untuk dijadikan isteri. Karena dipercaya bahwa barangsiapa memperistri Dewi Widowati atau titisannya akan mendapat kemuliaan lahir dan batin. Maka jika ramalan para nujum itu benar, maka dikhawatirkan bahwa anak dewi Tari akan diperistri ole ayahnya sendiri. 

Apa yang diramalkan para nujum menjadi kenyataan, anak Dewi Tari lahir perempuan, dan merupakan titisan Dewi Widowati. Tandanya adalah, wajahnya cantik jelita dan memancarkan aura sinar pada tubuhnya. Gunawan Wibisana adik Dasamuka yang rupawan sangat cemas bahwa nantinya setelah dewasa, kakaknya akan memperistri anaknya sendiri. Mumpung kakaknya tidak sedang berada di kraton, Gunawan Wibisana memohon ijin kepada Dewi Tari untuk membuang bayi perempuan tersebut dan menggantinya dengan bayi laki-laki. Dewi Tari menyetujui langkah Gunawan Wibisana demi keselamatan bayinya. 

Maka kemudian bayi tersebut dimasukkan ke dalam kendaga yang indah dan nyaman, dengan diberi beberapa kelengkapan bayi serta mainan yang berbentuk kupat sinta, untuk kemudian dihanyutkan ke sungai. Sebagai pengganti dari bayi yang dilahirkan Dewi Tari, Gunawan Wibisana memohon seorang bayi laki-laki dari sebuah gumpalan mega di langit. Permohonan Gunawan Wibisana di perkenankan, maka berubahlah gumpalan mega tersebut menjadi bayi laki-laki, dan diberi nama Megananda atau Indrajit. 

Kendaga yang berisi bayi perempuan tersebut terbawa aliran sungai dan masuk ke persawahan bumi Mantili. Pada waktu itu Prabu Janaka raja Mantili, sedang memimpin upacara ritual para petani yang diselenggarakan pada setiap awal musim tanam. Betapa terkejutnya Prabu Janaka, ketika mata bajak yang sedang dijalankan terantuk sebuah kendaga yang berkilau indah. Lebih terkejut lagi setelah diketahui bahwa di dalam kendaga tersebut terdapat seorang bayi perempuan yang cantik bersinar-sinar. Bayi tersebut kemudian dibawa ke dalam kraton dan diangkat anak oleh Prabu Janaka dan diberi nama Sinta, nama yang berasal dari salah satu jenis ketupat yang artinya adalah mata bajak. 

Prabu Janaka bersama tiga permaisurinya yaitu Dewi Sara, Dewi Tatawi, Dewi Sumerta bersukacita atas kehadiran seorang bayi yang sangat cantik jelita di dalam keluarga mereka, untuk menemani Mayaretna anak semata wayang Prabu Janaka yang lahir dari Dewi Sumerta. 

Melalui ujung mata bajak, Prabu Janaka menemukan seorang bayi, yang kemudian diangkat anak dan diberi nama Sinta. Setelah dewasa Sinta dipinang oleh Rama, putra Prabu Dasarata raja Ayodya, melalui sebuah Sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka. Walaupun Sinta adalah anak raja Alengka yang diangkat anak oleh raja Mantili dan kemudian menjadi menantu raja Ayodya, hidup Sinta tidak pernah lepas dari kesengsaraan. 

Ketika bayi ia di buang di sungai, kemudian setelah dewasa ia hidup dalam pembuangan di hutan Dandaka mendampingi Rama suaminya dan Laskmana adik Rama. Di hutan Dandaka ia diculik oleh Dasamuka yang adalah ayah Sinta yang sesungguhnya. Namun dalam hal ini Sinta tidak tahu bahwa yang menculik adalah ayahnya. Demikian juga Dasamuka tidak tahu bahwa yang diculik adalah anak kandungnya. Rahasia ini disimpan rapat-rapat oleh Wibisana dan Dewi Tari.

Kisah penculikan ini berawal saat Sinta melihat seekor kidang lucu dan bercahaya laksana emas. Ia memohon kepada Rama suaminya untuk menangkap kidang tersebut. Namun ternyata tidak mudah. Seekor kidang yang kelihatan jinak tersebut selalu gagal ditangkap Rama, hingga tidak disadarinya Rama semakin jauh meninggalkan Sinta dan Laksmana. Lama ditunggu dalam suasana cemas Rama tak kunjung datang. Tiba-tiba terdengarlah jerit melengking yang memilukan. Sinta dan Laksmana saling pandang, di dalam hati mereka ada perasaan yang sama. Sama-sama mengkhawatirkan keselamatan Rama. Maka kemudian Sinta menyuruh Laskmana untuk menyusul Rama. Laksmana kebingungan. Jika ia menyusul Rama, lalu bagaimana dengan keselamatan Sinta? Dalam suasana yang mencekam seperti ini tidakkah Sinta yang seharusnya mendapat perlindungan? 

Dikarenakan Laksmana tidak segera menyusul Rama, Sinta mempunyai prasangka bahwa Laksmana sengaja membiarkan Rama celaka. Maka kemudian keluarah kata-kata dari mulut Sinta: “Apakah jika kakanda Rama mati, aku bersedia menjadi istrimu?” Tuduhan Sinta atas dirinya itu sungguh sangat menyakitkan dan tak berdasar. Untuk membuktikan bahwa di hati Laksmana tidak terbersit sedikit pun niat untuk memiliki Sinta maka Laksmana menghilangkan ke-lelaki-annya dan berjanji akan hidup wadat. Selanjutnya Laksmana meninggalkan Sinta sendirian, namun sebelumnya ia menggoreskan rajah disekeliling Sinta. 

Sepeninggal Laksmana Sinta keluar dari goresan rajah yang mengelilinginya karena terpancing rasa belaskasihan dari seorang brahmana tua yang kehausan dan kelaparan. Ternyata brahmana tua tersebut merupakan penjelmaan Dasamuka yang telah menyusun strategi untuk menculik Sinta. 

Bermula dari pengaduan Sarpakenaka adiknya, yang dipotong hidungnya dalam perang tanding melawan Laksmana, Dasamuka tahu bahwa di tengah hutan Dandaka ada wanita yang sangat cantik. Menurut Sarpakenaka bahwa wanita itu pantas menjadi istri kakanda Dasamuka. Benarlah apa yang dikatakan Sarpakenaka, bahwa wanita itu sangat memikat. Dasamuka bernafsu untuk menculiknya. Dibantu oleh Kala Marica yang menjelma menjadi seekor kidang kencana, untuk memancing Rama dan Laksmana meninggalkan Sinta, Dasamuka berhasil dengan mudah menculik Sinta.

Pada saat Sinta dibawa terbang Dasamuka, seekor burung Jatayu berniat menolong Sinta. Maka dengan sayapnya yang besar dan perkasa Jatayu berhasil menjatuhkan Dasamuka dan merebut Sinta. Dalam sekejap Sinta telah berpindah tangan, dari tangan Dasamuka berpindah ke sayap Jatayu. Dikarenakan secara psikologi Sinta mendapat goncangan hebat dan beruntun, maka jiwanya pun tergoncang. Seperti yang di alami Laksmana, niat baik Jatayu justru menimbulkan prasangka buruk di hati Sinta, sehingga keluarlah kata-kata yang menyakitkan dari mulit Sinta. “Aku tidak mau menjadi isterinya seorang raksasa apalagi menjadi isterinya seekor burung.” 

Burung Jatayu yang sedang membawa Sinta tergoncang hatinya karena kata-kata Sinta yang merendahkan dirinya. Akibatnya ia lengah, sayapnya berhasil ditebas dengan pedang Mentawa, dan Sinta pun berhasil direbut kembali oleh Dasamuka, untuk dibawa terbang ke negara Alengka. (Herjaka HS)

Patih Sengkuni (Banjaran Sengkuni)



(Riwayat Sengkuni)

Lakon banjaran ini mengisahkan riwayat Sengkuni alias Harya Suman. Kisahnya dimulai dengan pengusiran Batara Dwapara dari kahyangan oleh Sang Hyang Tungal.

Karena sifatnya yang selalu iri. berhati dengki dan berakal busuk. Batara Dwapara harus menjalani hidup di dunia, sebagai manusia. “Di dunia. kamu boleh melampiaskan sifat busukmu sepuas-puasnya,” kata Sang Hyang Tunggal. Ketika Batara Dwapara turun ke dunia, permaisuri raja Awu-awu Langit atau Kerajaan Gandara, sedang bersalin. Batara Dwapara segera merasuk ke dalam tubuh bayi yang diberi nama Harya Suman alias Sengkuni itu.

Setelah Dewasa, Sengkuni mengabdi pada Prabu Pandu Dewanata. raja Astina. Pada saat inilah Seng¬kuni memfitnah Patih Gandamana, sehingga Gandamana mengundurkan diri dari jabatan patih Astina. Hal ini menggembirakan Sengkuni, karena jabatan itu akhirnya diberikan kepadanya.

Sewaktu Pandu Dewanata wafat, Begawan Abiyasa berencana akan membagikan minyak sakti Lenga Tula warisan Pandu, untuk kekebalan para Kurawa dan Pandawa. Namun, saat pembagian itu terjadi keributan, karena Kurawa ingin merampas minyak itu. Begawan Abiyasa yang terdesak sampai terjengkang jatuh, dan Dewi Kunti pingsan. Minyak itu jatuh di rerumputan.

Patih Sengkuni segera menanggalkan seluruh pakaiannya, dan dengan bertelanjang bulat ia ber-guling-guling di rumput yang basah karena minyak itu. Dengan demikian seluruh tubuh Sengkuni menjadi kebal, kecuali bagian dalam mulut dan duburnya.Setelah itu. karena melihat Dewi Kunti tergeletak pingsan, Patih Sengkuni lalu mendekatinya dan menarik semekan (kain penutup dada)nya, tetapi sebelum ia berbuat lebih jauh, Dewi Kunti siuman. Saat itu juga Dewi Kunti berujar, tidak akan memakai semekan, jika tidak terbuat dari kulit Sengkuni.

Sejak itu. Dewi Kunti hanya mengenakan jubah lorodan (bekas pakai) milik Begawan Abiyasa. Setelah menjabat sebagai patih Astina, perilaku sirik dan jahat Sengkuni makin berkembang. la menghasut para Kurawa untuk membunuh Pandawa dan Dewi Kunti dalam peristiwa Bale Sigala-gala.

Patih Sengkuni juga berhasil memperdaya Pandawa, dengan mengajaknya bermain judi. Pada perjudian itu Sengkuni mewakili Kurawa, sedangkan Yudistira mewakili Pandawa. Akibat kecurangan Sengkuni, Pandawa kehilangan segalanya. Selain kehilangan kerajaan dan seluruh kekayaannya, Pandawa harus hidup sebagai orang buangan selama 12 tahun.

Ketika pecah Baratayuda, Sengkuni dapat di-tangkap Bima, kuku Pancanaka yang kanan di-masukkan ke dalam mulut Sengkuni. sedangkan yang kiri ke duburnya. Bagian tubuh itulah yang tidak kebal. Setelah itu, Sengkuni dikuliti hidup-hidup. dan setelah itu baru dapat dibunuh.Sisa kulit Sengkuni kemudian digunakan sebagai semekan Dewi Kunti.
Lakon ini cukup terkenal.

Tuesday, 23 July 2013

Bima (Werkudara)



BIMA,anak kedua Dewi Kunti. Ayahnya adalah Prabu Pandu Dewanata, raja Astina. Dengan demikian ia juga merupakan orang kedua dalam keluarga Pandawa. Walaupun ayahnya yang resmi adalah Prabu Pandu Dewanata, raja Astina, namun sebenarnya Bima adalah anak kandung Batara Bayu, dewa yang menjadi penguasa angin.

Mengenai hal itu kisahnya adalah sebagai berikut.
Beberapa waktu sesudah Prabu Pandu Dewanata menikah dengan Dewi Kunti dan Dewi Madrim, ia dikutuk seorang brahmana bernama Resi Kimidama (atau Kimindama). Bunyi kutukannya adalah, bilamana Pandu sampai menjalankan kewajiban sebagai suami dan tidur seranjang dengan istrinya, maka saat itu juga ajalnya sampai. Karena adanya kutukan itu Pandu tidak berani lagi menyentuh istrinya. Namun sebagai raja, ia harus mempunyai keturunan sebagai pewaris takhta. Itulah sebabnya, Prabu Pandu kemudian mengizinkan Dewi Kunti menerapkan Aji Adityarhedaya ajaran Resi Druwasa yang dimiliknya untuk memanggil dewa. Suami istri itu sepakat dewa yang dipanggil pertama kali adalah Batara Darma, yaitu dewa kejujuran dan kebenaran. Maka Batara Darma pun datang, dan sembilan bulan kemudian Dewi Kunti melahirkan seorang putra yang diberi nama Puntadewa.

Beberapa waktu kemudian Kunti atas izin Pandu memanggil Batara Bayu. Dari Batara Bayu, dewa pe­nguasa angin itu, Kunti mendapat putra yang diberi nama Bima. Karena itu pula Bima juga disebut Bayuputra, Bayusiwi, Bayusuta atau Bayutanaya, Pawa-nasuta. Semua nama itu menandakan ia seorang putra Batara Bayu.

Bima berperawakan tinggi, besar, gagah, berkumis dan berjenggot. la mempunyai kuku panjang dan kuat, yang menjadi senjata alamiah, disebut kuku Pancanaka.
Pakaiannya juga khas seperti halnya putera angkat Batara Bayu lainnya. yakni berkain Poleng bong bintulu lima warna. (Ada yang menyebut dodot poleng bong bintulu aji, terdiri atas warna putih, hitam. kuning, merah. hijau).

Kepada siapa pun Bima tidak pernah memakai bahasa krama hingil atau bahasa halus. la selalu berbicara dengan bahasa ngoko. atau bahasa lugas sederajat. bahkan juga kepada para dewa. Tetapi khusus hanya kepada Dewaruci. Bima mau menggunakan bahasa halus atau krama inggil.
Di kalangan penggemar pewayangan. Bima dianggap mewakili karakter seorang yang jujur, lugas, tidak pandang bulu. ulet, tidak pernah putus asa. spontan, dan tak pernah menghindari tantangan. Namun Bima pun dikenal sebagai ksatria yang tak mengenal belas kasihan pada musuhnya yang jahat. Kepada Dursasana dan Patih Sengkuni yang dibencinya. Bima melampiaskan dendamnya dalam Baratayuda. Setelah dibunuh. Dursasana dirobek dadanya dan dihirup darahnya; sedangkan Patih Seng­kuni selain dipatahkan kaki dan tangannya, disobek kulitnya. juga dirobek mulutnya. Peristiwa ini juga sekaligus merupakan bukti terlaksananya kutukan Patih Gandamana terhadap Patih Sengkuni yang pernah memfitnahnya.
Sejak saat kelahirannya Bima telah membuat sensasi. la lahir dalam keadaan terbungkus kulit tebal. Bermacam cara telah dilakukan untuk membuka ku­lit itu. berbagai senjala tajam telah dipakai untuk merobeknya. namun tidak satu pun yang berhasil. Melihat kenyataan itu Prabu Pandu Dewanala lain masuk ke sanggar pamujan untuk memohon petunjuk dari para dewa. Akhirnya, Batara Guru terpaksa mengutus Batara Narada untuk menolongnya.

Atas petunjuk Batara Narada, seekor gajah bernama Sena disunih memeeahkan kulit pembungkus itu. Saat itu pula Batara Bayu merasuk ke tubuh Gajah Sena. Bayi Bima yang terbungkus kulit tebal itu diinjak-injak dan ditendang oleh Gajah Sena sehingga akhirnya pembungkus itu robek. Begitu keluar dari pembung-kusnya bayi Bima langsung menyerang sang Gajah.
Sekali pukul, gajah itu mati. Dan begitu mati, Gajah Sena langsung menghilang musnah dan menyatu dalam diri Bima. Jtuiah sebabnya, ia juga disebut Bimasena, Bratasena, alau Sena saja. Beberapa dalang juga me-nyebutkan panggilan kesayangan Prubu Kresna terhadap Bima adalah Bungkus. (Lakon Bima Bungkus). Peristiwa pecahnya bungkus bayi Bima itu disertai dengan datangnya angin ribut. Kulit pembungkus bayi itu ditcrbangkan angin ke angkasa. melayang-layang. dan akhirnya jatuh di pangkuan seorang pertapa sakti bernama Begawan Sapwani. Karena tidak mempunyai anak, Begawan Sapwani kemudian memuja kulit pembungkus bayi Bima itu. Atas pennohonan pendeta sakti itu, para dewa mengubah ujud kulit pembungkus itu menjadi seorang bayi. Begawan Sapwani dan istrinya memelihara bayi hasil pujaan itu dengan tekun dan penuh kasih sayang. Setelah besar, bayi itu tumbuh menjadi seorang ksatria gagah perkasa dengan bentuk badan dan raut muka yang mirip sekali dengan Bima. Begawan Sapwani memberi nama Jayadrata pada anak hasil pujaannya itu.

Versi lain mcngenai lakon Bima bungkus adalah sebagai berikut: Karena usaha untuk membuka bungkus bayi Bima tidak berhasil, Abiyasa menyarankan agar bayi bungkus itu dibawa ke Hutan Krendawahana (Krendayana) dan ditinggalkan di sana. Penghuni hutan itu, yaitu para jin gandarwa anak buah Batari Durga menjadi resah karena bungkus bayi itu memancarkan hawa panas. Batari Durga memerintahkan anak buahnya unluk menghancurkan bungkus bayi itu, tetapi tidak herhasil.

Keresahan itu akhirnya menjalar pula ke kahyangan. Batara Guru mengutus Gajah Sena unluk memecahkan bungkus bayi Bima. Sebelum Gajah Sena datang. lebih dulu Batari Durga masuk ke dalani bungkus Bima. Karena kagum pada keperkasaan bayi itu. dalam bungkus itu Batari Durga menghadiahi Bima kelengkapan pakaian. kain kampuh poleng bang bintulu. gelang candrakirana, kalung naga banda, sumping surengpali. dan pupuk jurat asem.

Dengan demikian, ketika akhirnya Gajah Sena berhasil memecahkan bungkus ilu. Bima keluar dengan berpakaian lengkap. 
Cerita selanjutnya. sama dengan versi perlama. Pada masa kecilnya. ketika para Pandawa masih berkumpul bersama para Kurawa di Kerajaan Astina. Bima sudah menjadi saingan Duryudana. Mercka se-ring berkelahi. Waktu belajar bersama-sama pada Resi Krepa dan Begawan Drona pun. mereka selalu ber-saing. Demikian pula ketika Prabu Baladewa mengajarkan ilmu berkelahi dengan gada. Bima dan Duryudana sama-sama berusaha menjadi murid yang rajin dan tekun.

Pada suatu saat, atas hasutan Patih Sengkuni, para Kurawa pernah meracuni Bima dengan tujuan mem-bunuhnya. Para Kurawa memperhitungkan, bilamana Bima mati tentu kekuatan Pandawa akan lumpuh ka­rena di antara para Pendawa, Bimalah yang paling kuat. Tetapi setelah kena racun, temyata Bima tidak mati. la hanya tak sadarkan diri. Para Kurawa yang mengira Bima telah mati, beramai-ramai meng-gotong dan membuangnya di Sungai Gangga. Di sungai itu tubuh Bima digigit puluhan ular berbisa. Namun bisa ular tersebut bukan membunuhnya, melainkan justru menambah kesaktiannya. Berkat pengaruh bisa ular itu, untuk selanjutnya Bima kebal terhadap racun apa pun.

Dalam pewayangan, usaha Kurawa untuk membunuh Bima dicerilakan sebagai berikul:
Atas hasutan Patih Sengkuni, suatu saat Kurawa mcngajak Bima bermabuk-mabukan. Mulanya Bima menolak. Tetapi karena Kurawa menyebutnya ia takut minum minuman keras.  Bima akhirnya mau. Ternyata minuman yang diberikan pada Bima sehelumnya te­lah diberi racun. Setelah Bima pingsan, para Kurawa menggotongnya dan memasukkannya ke Sumur Jalatunda yang lerkenal angker. Sumur ilu dipenuhi oleh ular berbisa.

Namun usaha Kurawa membunuh Bima gagal karena ksatria bertubuh tinggi besar itu ditolong Batara Dawung Nala. Berkat pertolongan dewa itu Bima menjadi kebal terhadap segala macam racun. Setelah lolos dari Sumur Jalatunda, Batara Dawung Nala memberinya nama baru: Bondan Peksajandu.
Dalam pewayangan, sebuah lakon mengisahkan persaingan antara Kurawa dan Pandawa semasa mereka masih muda. Suatu saat Duryudana menantang Yudistira (saat itu masih bemama Puntadewa) untuk mengadu bobot antara kedua keluarga itu. Mulanya Yudistira menolak, karena ia tahu benar bahwa bobot Kurawa yang seratus orang itu tentu lebih berat daripada Pandawa yang cuma lima orang. Namun Bima mendesak agar abang sulungnya melayani tantangan para Kurawa itu.

Sebuah balok kayu panjang disiapkan sebagai timbangan. Balok timbangan itu akan menentukan, mana yang lebih berat bobot seratus orang Kurawa dengan lima orang Pandawa.
Duryudana dan adik-adiknya lebih dahulu duduk di ujung balok yang satu. Namun walaupun jumlah mereka sudah seratus orang, Duryudana masih menyuruh Bogadenta ikut. sehingga mereka menjadi seratus satu. Bogadenla seharusnya tidak tennasuk Kurawa. karena ia hanya berasal dari ari-ari Kurawa yang dipuja menjadi manusia oleh Dewi Gendari.

Mengetahui kecurangan itu, Bima mendapat akal. Disuruhnya semua saudaranya duduk di ujung balok timbangan dengan menyisakan lernpat paling ujung baginya. Setelah itu ia mundur bebcrapa langkah rncngambil ancang-ancang. Dengan lompatan panjang Bima menghentak jatuh di ujung balok. sehingga semua Kurawa di ujung yang lain terpental jatuh. Dari semua yang terpental. Bogadenta yang duduk di ujung balok timbangan terpental paling jauh, sampai jatuh ke Kerajaan Turilaya.
Kebulatan hati dan sifatnya yang pantang menyerah dibuktikan Bima waktu Pandita Drona menyuruhnya mencari Tina Prawitasari. Selain selalu menjunjung tinggi perintah gurunya, Bima sendiri memang bertekad tidak akan berhenti berusaha sebelum apa yang dicarinya diperoleh. Dalam pengembaraan mencari air suci Prawitasari itu Bima harus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Semuanya dihadapi dan ditanggulanginya. Di antaranya. di Gunung Candramuka ia harus melawan dua raksasa sakti bernama Rukmuka dan Rukmakala.

Setelah kedua penghalang itu dikalahkan, mereka berubah ujud menjadi Batara Endra dan Batara Bayu. Sewaktu harus pergi ke Teleng samudra. ia dicegat seekor ular naga bernama Nawawata atau Nemburnawa. Dengan kuku Paneanaka naga itu dibunuhnya.
Akhirnya Bima berjumpa dengan Dewaruci. seorang dewa kerdil yang amat mirip dengan dirinya. Dewa Bajang itu menyuruh Bima masuk ke dalam telinganya. Walaupun perintah itu tidak masuk akal. karena Bima percaya, ia menurutinya. Di dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil itu, Bima justru dapat menyaksikan alam semesta yang mahaluas. Dewa Ruci memberinya berbagai wejangan berharga yang bermantaat untuk mengenali diri pribadinya, dan mengerti akan makna hidupnya.

Pada masa remaja, Bima menyelamatkan saudara-saudara dan ibunya dari amukan api, ketika para Kurawa mencoba membunuh mereka. Waktu itu mereka sedang menginap di Bale Sigala-gala, sebuah tempat peristirahatan yang jauh letaknya dari istana. Atas hasutan Sengkuni, para Kurawa membakar penginapan itu waktu Pandawa dan ibunya sedang tidur.
Mengenai cara Pandawa menyelamatkan diri bersama ibu mereka, ada dua versi cerita.
Yang pertama menyebutkan, sebelum Bale Sigala-gala terbakar, Batara Narada telah lebih dahulu meng-ingatkan Bima akan bahaya yang akan terjadi. Sesuai dengan pesan Batara Narada, waktu api berkobar Bima menggendong ibunya dan membimbing semua saudaranya, berlari mengikuti garangan putih (cerpelai -semacam musang) masuk ke dalam liang. Liang itu ternyata merupakan jalan di bawah tanah menuju ke
 Kahyangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga bersemayam. Di sini Bima bertemu dengan Dewi Nagagini puteri Antaboga. Mereka menikah dan membuahkan anak yang diberi nama Antareja.
Versi kedua menyebutkan, Yama Widura. yakni paman mereka dari pihak ayah, yang memperingatkan Bima. Karena itu mereka dapat meloloskan diri dan masuk ke hutan. Di hutan ini mereka bertemu dengan Sang Hyang Antaboga yang kemudian membawanya ke Kahyangan Saptapertala. Cerita selanjutnya sama dengan versi yang pertama. Untuk jelasnya, baca Ba­le Sigala-gala.

Sesudah menikah Bima dengan Dewi Nagagini. para Pandawa dan Dewi Kunti meneruskan pengembaraannya di hutan. Di sini mereka bertemu dengan Prabu Arimba yang hendak membalas dendam ke-matian ayahnya, yaitu Prabu Trembaka. Dulu, dalam perang antara Astina dengan Pringgadani. Trembaka tewas dibunuh oleh Prabu Pandu Dewanata, ayah Pandawa.

Bima dan Arimba berkelahi selama berhari-hari. Dewi Arimbi, adik Arimba yang menyaksikan perkelahian itu, kagum dan akhirnya jatuh cinta pada Bima. la berusaha melerai perkelahian itu namun tidak berhasil. Arimba akhirnya tewas. Sebelum ajalnya ia berpesan pada adiknya, Arimbi, bahwa ia merestui dntanya pada Bima. Selain itu Arimba juga mcwariskan Kerajaan Pringgadani pada Arimbi.

Pada mulanya cinta Arimbi pada Bima sama sekali tidak diacuhkan.Tetapi raseksi itu terus saja mengikuti perjalanan Bima dan sekalian saudaranya. Akhirnya dengan bijaksana Dewi Kunti yang mengetahui gelagat cinta raksasa wanita itu segera berkata: “Aduuuh, cantiknya gadis ini…” Maka seketika itu juga Dewi Arimbi berubah ujud menjadi gadis cantik yang bertubuh tinggi besar, Bima akhirnya menikah dengan Arimbi dan mereka mendapat seorang anak yang di­beri nama Gatotkaca.

Suatu ketika, dalam pengembaraan mereka di tengah hutan, Nakula dan Sadewa menangis karena kelaparan. Dewi Kunti mengutus Bima dan Arjuna untuk meneari makanan. Mereka pergi ke arah yang berbeda. Dalam perjalanan itu Bima berjumpa dengan orang-orang yang sedang mengungsi. Setelah me-nanyakan sebabnya. Bima tahu bahwa raja negeri itu bernama Prabu Baka, mempunyai kegemaran makan orang. Penduduk takut jika harus menyerahkan salah seorang anggota keluarganya untuk santapan bagi Prabu Baka. Mendengar hal itu, Bima lalu menawarkan dirinya sebagai santapan raja pemakan manusia itu. Pada saat berhadapan dengan Prabu Baka, Bima me-nantang dan akhirnya dapat membunuhnya.

Sebagai terima kasih, rakyat negeri itu minta agar Bima bersedia menjadi raja mereka. Tetapi Bima menolak. Orang-orang lalu bertanya apa yang di-inginkannya. Dengan jujur Bima menjawab, ia mem-butuhkan dua bungkus nasi untuk adiknya yang sedang kelaparan. Nasi yang dibawa Bima diterima dengan senang hati oleh Kunti karena nasi itu diperoleh dengan cucuran keringat. Sedangkan nasi yang dibawa Arjuna ditolak. karena hanya merupakan pemberian orang hanya karena berdasarkan belas kasihan. Baca juga Arjuna.

Versi lain dan bagian kisah itu menceritakan bahwa ketika Bima pergi mencarikan makanan bagai Nakula dan Sadewa, ia bertemu dengan seorang brahmana beraama Resi Hijrapa. Brahmana ini tinggai di sebuah desa yang termasuk wilayah Kerajaan Manahilan.  Ketika dijumpai Bima. brahmana ini sedang bertangis-tangisan dengan islri dan anak-anaknya. Kepada Bima. Resi Hijrapa mengatakan, hari itu ia mendapat giliran harus menyerahkan salah seorang dari liga anaknya untuk dijadikan santapan rajanya. yakni Prabu Dawaka. Tanpa pikir panjang Bima segera menawarkan dirinya sebagai pengganti anak Hijrapa. Diantarkan oleh Resi Hijrapa. Bima akhirya dibawa ke hadapan raja raksasa yang buas itu. Prabu Dawaka segera menerkam Bima hendak dimakan mentah-mentah. Namun segera gigi raksasa patah begitu digunakan menggigit Bima. Prabu Dawaka marah. dan mereka pun berkelahi. Raja raksasa itu pun akhirnya mati terkena kuku Pancanaka.

Karena merasa berhutang budi, saat itu Resi Hijra­pa dan salah seorang anaknya yang bernama Rawa, bersumpah akan mengorbankan jiwanya sebagai tumbal perang bagi kemenangan pihak Pandawa dalam Baratayuda kelak.

Cerita selanjutnya sama dengan versi yang pertama.
Pada Wayang Parwa Bali. Bima pemah menyelamatkan arwah ayahnya. Pandu Dewanata. dan arwah ibu tirinya. Dewi Madrim dari siksaan neraka. Prakarsa untuk menyelamatkan Pandu dan Madrim datang dari Dewi Kunti. Sesudah saudara-saudaranya yang lain tidak sanggup melakukannya, Bima menyanggupinya. Kemudian dengan ilmu Angkusprana yang dimilikinya dari Batara Bayu, Bima berhasil menghimpun jiwa Dewi Kunti dan keempat saudaranya untuk masuk ke dalam dirinya. Setelah itu, Bima yang telah didampingi jiwa Kunti. Yudistira, Arjuna. Nakula, dan Sadewa masuk ke neraka, menyelamatkan Pandu dan Madrim, dan membawanya ke sorga.

Kisah itu terdapat dalam lakon Bima Swarga yang lazim dipentaskan pada saat upacara kremasi. pembakaran jenazah, atau Pitra Yadnya. 
Pada suatu hari dalam pengembaraannya, sampailah Pandawa ke wilayah Kerajaan Cempalaradya. Sesudah beberapa hari Dewi Kunti dan kelima anaknya berada di negeri itu, mereka mendengar berita tentang adanya sayembara putri Cempala.

Menurut sayembara itu, siapa saja pria yang sanggup mengalahkan Patih Gandamana, ia berhak menjadi suami putri raja Cempala, bernama Dewi Drupadi. Banyak putra raja dan ksatria sakti yang mencoba mengadu nasib, tetapi mereka semua dika-lahkan oleh Patih Gandamana. Akhirnya, Bima maju ke gelanggang. Dalam mengadu kekuatan melawan Patih Gandamana, semula Bima selalu terdesak. Bahkan suatu ketika Bima berhasil diringkus sehingga sulit bergerak. Untuk melepaskan diri dari cengkeraman Gandamana, tanpa sengaja kuku Pancanaka Bima menekan dan menusuk dada Gandamana. Seketika itu juga tubuh Gandamana menjadi kehilangan daya. dan terhuyung jatuh.

Sebelum sampai pada ajal Gandamana teringat bahwa menurut suratan takdir, ia hanya bisa mati bilamunu dikalahkan salah suorang dari keluarga Pandawa. Karena itu ia lalu bertanya pada Bima, lentang asal usulnya. Setelah tahu siapa Bima, Gandamana lalu mewariskan ilmunya, yakni Aji Wungkal Bener dan Aji Bandung Bandawasa. Dengan aji itu, Bima akan memperoleh semangat dan kekuatan dahsyat bilamana ia merusa tindakannya benar.

Sesudah mengalahkan Patih Gandamana, Bima mengatakan kepada Prabu Drupada bahwa ia mengikuti sayembara itu sebagai wakil kakak sulungnya. Puntadewa. Karena itu. menurut pewayangan, yang nicnikah dengan Dewi Drupadi aclalah Puntadewa.

Versi yang lain, yakni menurut Kitab Mahabarata, menyebutkan Arjunalah yang memenangkan sayemhara itu. Bunyi sayembaranya juga berbcda. Menurut versi ini. barang siapa yang sanggup mcmanah dengan gendewa pusaka milik Kerajaan Pancala (Cempakiradya). ialah yang akan dinikahkan dengan Drupadi. Menurut Mahabarata pula, Dewi Drupadi bukan hanya istri Puntadewa, melainkan istri kelima Pandawa.
Bima juga pernah menolong Prabu Basudewa dari negeri Mandura pada saat Kangsa. raja muda dari Sengkapura memberontak. Kangsa adalah anak harani yang lahir karena skandal yang melibalkan Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa. Ayah Kangsa yang sebenarnya adalah raja raksasa Prabu Gora-wangsa, raja Gowabarong. Dalam lakon Kangsa Adu Jago dengan bantuan Arjuna, Bima berhasil mengalahkan Patih Suratimantra yang terkenal amat sakti dan nyaris tidak bisa mati. Sedangkan Kangsa sendiri mati dibunuh oleh putra-putra Prabu Basudewa sendiri, Narayana dan Kakrasana — yaitu Kresna dan Baladewa ketika masih muda. Peristiwa inilah yang kemudian menumbuhkan persahabatan antara Pandawa dengan Baladewa dan Kresna.

Bima juga pernah berjasa pada Prabu Matswapati, raja Wirata. Ketika Bima dan para Pandawa lainnya serta Dewi Drupadi bersembunyi dan menyamar di Wirata, Bima menyamar sebagai pemotong hewan dengan nama Jagal Abilawa. Waktu itu Bima mem-bunuh Rajamala, Rupakenca, dan Kencakarupa. Ke-tiganya adalah ipar Prabu Maswapati sendiri, yang berniat buruk terhadap raja. Selain itu Bima dan saudara-saudaranya juga membantu Kerajaan Wirata mengusir bala tentara Astina dan Kerajaan Trigata yang datang menyerang.

Ketika para Pandawa yang diwakili Puntadewa kalah berjudi melawan Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni, Permaisuri Amarta, Dewi Drupadi dihina serta diperlakukan melebihi batas oleh Dursasana. Waktu itu Dewi Drupadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya untuk selamanya, sebelum ia berkeramas dengan darah Dursasana. Bima yang menyaksikan kesewenangan itu bersumpah akan membunuh Dursasana serta akan menghirup darahnya. Sumpahnya itu akhirnya terlaksana ketika pecah Baratayuda.

Setelah mengetahui Gatotkaca gugur oleh senjata Kunta Wijayandanu milik Adipati Kama, Bima me-ngamuk. la berusaha keras mendekati Adipati Kama, namun barisan Kurawa sekuat tenaga menghalanginya. Pada hari ke-16, ia berjumpa dengan Dursasana yang ikut menghalangi usaha Bima untuk berhadapan dengan Basukama. Keduanya terlibat dalam perang landing, namun tak lama kemudian Dursasana melarikan diri. Bima terus mengejar, sehingga suatu saat. ketika berusaha menyeberangi Sungai Kelawing. lawannya terjatuh. Dengan mudah Bima menangkapnya dan menjambak rambut Dursasana — seperti yang pemah dilakukan terhadap Drupadi dulu, diseret kembali ke gelanggang Tegal Kurusetra. Di medan jurang ilu dengan kuku Pancanaka nya Dursasana dibunuh, darah Dursasana yang dihirup Bima digunakan untuk mengeramas rambul Dewi Drupadi.

Selain itu, dalam Baratayuda, di hari ketujuhbelas Bima juga membunuh Patih Sengkuni secara kejam. Patih Astina yang dikenal sebagai penyebar fitnah dan perencana macam-macam kejahatan itu, oleh Bima dirobok mululnya. Belum puas dengan ilu. Bima lain menusukkun kuku Pancanaka ke anus Sengkuni dan menguliti patih Astina itu, sehingga scluruh kulitnya lepas dari tubuhnya. Hanya dengan cara itulah Patih Sengkuni dapat dibunuh, karena seluruh kulitnya memang kebal berkat Lenga Tala yang pernah dilumurkan ke seluruh tubuhnya, kecuali anusnya. Kematian Sengkuni secara menyedihkan itu juga merupakan perujudan kutukan Patih Gandamana yang juga pernah difitnah Sengkuni. (Lakon Gondomana Luweng)
Sebelum itu, bersama dengan Arjuna. dalam perang saudara itu Bima nyaris tewas dalam suatu jebakan yang dirancang oleh Prabu Gardapati. raja Purulaya yang dalam Baratayuda memihak Kurawa.
Bersama saudaranya Prabu Gardamuka. raja dari negeri Watanggapura. Gardapati merancang siasat jitu dengan memecah pasukan Pandawa dan menjebak Bima serta Arjuna agar terpisah dari pasukannya.
Pada mulanya, setelah Prabu Gardamuka tewas terkena panah Sarutama, Bima yang bernafsu mengejar Gardapati tanpa sadar telah keluar dari gelanggang perang Kurusetra. Dalam pelariannya, setelah cukup jauh dari Kurusetra, Prabu Gardapati menancapkan cis sakti miliknya ke tanah, dan seketika itu terjadilah sebuah kubangan lumpur yang dalam.

Karena terlalu bernafsu mengejar musuhnya, Bi­ma menjadi kurang waspada dan masuk ke dalam jebakan kubangan lumpur itu. Arjuna yang melihat abangnya dalam bahaya segera menolong, namun sebelum ia berhasil menarik Bima, Prabu Gardapati mendorongnya sehingga ikut pula terjerumus masuk dalam jebakan itu.

Karena Prabu Anom Duryudana berpesan agar Bima dan Arjuna langsung dibunuh, dengan pedangnya Prabu Gardapati berniat hendak memenggal kepala mereka. Namun sewaktu mengayunkan pedangnya, dengan cepat Bima melompat dan menarik tangan Gardapati sehingga ikut pula jatuh ke kubangan lumpur.
Sebelum Gardapati sempat menghmdar Bima membenamkannya dan menggunakan tubuh lawannya sebagai batu loncatan ke alas. Maka selamallah Bima dan Arjuna. sedangkan Prabu Gardapati lewas ter-benam dalam kubangan lumpur ciptaannya sendiri. Kematian Prabu Gardapati itu terjadi di hari ketiga Baratayuda.
Kemenangan akhir Pandawa atas Kurawa dalam Baratayuda ditentukan pada hari ke-18. Setelah semua senapati Kurawa dikalahkan para Pandawa. Prabu Anom Duryudana terpaksa turun ke gelanggang. la dihadapi Bima. Mereka memang sudah menjadi musuh bebuyulan sejak kecil. Badan mereka sama-sama tinggi besar. Keduanya sama-sama murid Resi Krepa dan Resi Drona. Mereka juga pernah dididik dalam ilmu perkelahian dengan gada dari guru yang sama yakni Baladewa. Karena itu perkelahian di antara mereka sangat seru dan seimbang. Berbeda dengan pertempuran pada hari-hari sebelumnya. Perang tanding Bima — Duryudana disaksikan dan diwasiti oleh Prabu Baladewa.
Dalam perang gada itu ditenlukan peiaturan, hanya bagian pinggang ke atas yang boleh dijadikan sasaran pukulan. Walaupun Bima lebih kuat dan lebih lincah. tetapi Duryudana memiliki kelebihan, seluruh tubuhnya kebal kecuali betis kirinya. Kekebalan tubuh Duryudana ini berkat Lenga Tula yang pernah melumuri hampir seluruh tubuhnya. Itulah sebabnya, walaupun pukulan Bima lebih banyak yang mcngena, Duryudana masih saja tetap segar karena kekebalan-nya. Hal ini mengkhawalirkan Prabu Kresna dan Arjuna yang menyaksikan perang tanding itu. Jika keadaan seperti ini terus bcrlangsung, lama kelamaan Bima tentu akan kehabisan tenaga.

Kresna lain berbisik memberitahukan pada Arju­na, bahwa sebenarnya tidak seluruh tubuh Duryudana kebal. Bagian paha kirinya tidak. Setelah mema-hami bisikan Kresna itu Arjuna lalu memberi isyarat pada abangnya, dengan cara menepuk-nepuk paha kirinya (Sebagian buku wayang menyebutkan bukan paha kirinya melainkan betisnya, — namun yang benar adalah paha, karena kata wentis dalam bahasa Jawa artinya paha). Bima segera maklum akan isyarat adiknya itu. Dengan sekuat tenaga dihantamnya paha Duryudana hingga hancur dan sulit berdiri lagi. Habislah kekuatan musuhnya. Pukulan gada berikutnya menyebabkan Prabu Anom Duryudana tewas seketika.

Melihat apa yang dilakukan Bima terhadap musuhnya, Prabu Baladewa marah sekali. la menilai Bima curang. Karena itu sebagai wasit, Baladewa hendak menghukum Bima yang dianggapnya melang-gar peraturan. Tetapi Prabu Kresna segera mencegah dengan mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi karena kutukan Begawan Maetreya yang pernah dihina Dur­yudana. Menjelang pecan Baratayuda, Begawan Mae­treya datang menghadap Prabu Anom Duryudana untuk memberi saran pada penguasa Astina itu, agar memenuhi segala tuntutan para Pandawa.

Waktu itu Duryudana bukan mendengarkan nasihat itu, melainkan malahan membuang muka sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Katanya: “Seorang brahmana hanya boleh bicara kalau raja menanyakan pendapatnya….” 
Karena sakit hati diperlakukan Duryudana seperti itu, Begawan Maetreya lalu mengutuknya, paha kirinya akan remuk dalam Baratayuda nanti. Setelah mendengar penjelasan Kresna seperti itu, barulah Prabu Baladewa reda marahnya dan memaafkan Binia.

Dalam lakon Makuta Rama diceritakan bahwa di betis kiri Bima bersemayam arwah Kumbakarna. Ar­wah pahlawan Alengka ilu lidak dapat membuka pintu sorga, kecuali bila ia bisa menyatu pada diri seorang ksatria yang tahu benar mana yang saiah dan niana yang keliru. Atas anjuran Gimawan Wihisana. arwah Kumbakarna lain menyatu pada diri Bima dan mc-nempati betis kirinya.
Sebagian dalang menceritakan dalam Baratayuda, Prabu Anom Suyudana akan berbuat curang dengan menghantarn betis kiri Bima, nanum tidak mempan karena di tempat itu bersemayam arwah Kumbakarna. Bima lalu membalas dan Duryudana pun roboh seketika. Jadi menurut versi itu Duryudanalah yang memulai kecurangan. sedangkan Bima hanya sekedar mcmbalas.

Bima hampir menemui ajalnya sesaat setelah Baratayuda usai. Waktu itu. diantarkan oleh Prabu Kresna, Bima dan para Pandawa lainnya datang ke Istana Astina untuk menghadap Prahu Drestarastra. Meskipun Drestarastra adalah ayah para Kurawa. musuh mereka, namun raja Astina itu adalah kakak kandung Pandu Dewanata. ayah para Pandawa. Karena itu Puntadewa selalu mengingatkan adik-adiknya agar tetap hormat pada Prabu Drestarastra.

Namun rupanya Prabu Drestarastra masih tetap menyimpan dendam pada para Pandawa. Dendam raja tua itu terutama ditujukan kepada Bima yang di-anggapnya telah semena-mena dan bertindak ke-terlaluan kejarn dalam Baratayuda. Sakit hati Pra­bu Drestarastra ketika mendengar laporan tentang kematian Dursasana yang dirobek dadanya dan dihirup darahnya oleh Bima. Dresatarastra juga sakit hati mendengar laporan tentang kematian Duryudana. Ayah para Kurawa itu menilai Bima curang, tidak bcrlaga secara ksalria dalam perkelahian itu.

Dendam inilah yang menyebabkan Prabu Dres­tarastra nyaris membunuh Bima dengan kesaktian yang dimiliknya, yakni Aji Lebur Sekeli. (Sebagian dalang menyebutnya Aji Gelap Sayuta)
Meskipun tunanetra, Drestarastra memiliki kesaktian yang luar biasa. Dengan Aji Lebur Seketi Prabu Drestarastra sanggup menghancurluluhkan apa saja yang disentuh dengan ujung jarinya. Ketika Bima mendapat giliran untuk menghaturkan sembahhormatnya, jari-jari Drestarastra menjulur ke depan hendak menyentuhnya. Prabu Kresna yang kebetulan berdiri di belakang Bima serta merta mendorong Bima ke samping, sehingga jari-jari tangan Drestarastra hanya menyentuh sebuah arca batu. Seketika itu juga area batu itu lebur luluh menjadi abu.

Seperti juga tokoh wayang terkenai lainnya, Bima memiliki banyak nama. Nama lainnya adalah Bratasena, atau Wijasena, yang sering digunakan para dalang untuk menyebut Bima tatkala masih muda. Nama Wrekudara yang berarti ‘perut srigala’, menandakan bahwa ia seorang yang amat banyak makannya. Bratasena dan Aryasena menandakan ia pernah membunuh Gajah Sena waktu masih bayi. Nama Arya Brata menandakan ia seorang yang tahan menderita. Arya Jodipati adalah sebutannya yang menandakan Bima tinggal di Kasatrian Jodipati. Kasatrian ini sebelumnya adalah sebuah kerajaaajin yang diperin-tah oleh Prabu Dandunwacana. Raja jin itu dikalahkan, dan menyatu dalam diri Binia. Sedangkan Kerajaan Jodipati dijadikan kasatriannya. Dari Dandunwacana pula Bima mewarisi gada pusaka Lukitasari. Nama Jayadilaga dan Kusumadilaga menandakan ia seorang Bayu Tanaya, Bayu Suta dan Bayusiwi adalah nama-nama yang merupakan tanda bahwa Bima adalah putra Batara Bayu.

Selain Antareja dan Gatotkaca, menurut peda-langan di daerah Yogyakar­ta dan dacrah-daerah di sebelah haratnya, Bima ju­ga mempunyai anak yang lain, bernama Antasena. Ibu Antasena adalah Dewi Urangayu. Hidupnya di samudra. Sedangkan menurut pedalangan di sebelah timur Yogyakarta, Antasena dianggap sebagai nama lain dari Antareja.

Sementara itu dalam pedalangan Gagrak Banyumasan, Antasena mempunyai adik seorang lagi, bernama Srenggini. Dalam pewayangan tokoh ini ditampilkan sebagai ksatria mirip Antasena. tetapi mempunyai ‘capit’ di kepalanya dan insang di lehernya.

Dalam lakon Bima Kacep, sebuah lakon lama yang kini hampir tidak pernah lagi dipergelarkan. Bima juga mempunyai anak hasil hubungannya dengan Dewi Uma. Anak itu, lahir perempuan, dan diberi nama Bimandari.

Kisahnya, sewaktu Bima bertapa untuk memohon kemenangan dalam Baratayuda, Dewi Uma turun dari kahyangan untuk menggoda Bima.
Pada waktu Bima sedang berasyik masyuk dengan Dewi Uma, Batara Guru memergokinya. Agar dapat memisahkan istrinya dari Bima, Batara Guru menggu-nakan senjala saktinya, Cis Jaludara. Akibatnya, kemaluan Bima terpotong, dan potongan itu berubah ujud menjadi pusaka yang berkhasiat untuk menolak hama padi. Pusaka itu disebut Angking Gobel.

Bima pernah bertukar ilmu dengan Anoman, salah satu saudara tunggal bayu nya. Dari Anoman. Bima mendapat ilmu mengenai pembagian zaman, sedangkan Bima mengajarkan ilmu Sasra Jendra. Selain kuku Pancanaka, Bima memilki dua gada sakti yakni gada Rujakpolo dan Lukitasari. Ksatria yang berkumis dan berjenggol itu juga memiliki anak panah pusaka bernama Bargawastra yang besar sekali ukurannya. Anak panah itu dapat digunakan berkali-kali karena Bargawastra selalu akan kembali pada pemiliknya setelah mengenai sasarannya.

Watak Bima yang lugas, jujur. tidak pandang bulu, dan tegas. sebenarnya sering bertentangan dengan Yudistira. Bima menganggap kakak sulungnya itu sering bersikap terlalu nrima, terlalu pemaaf. terlalu lama mengamhil keputusan. la juga membenci kebiasaan Yudistira yang dinilai suka berjudi. Waktu menyaksikan penistaan para Kurawa terhadap Dewi Drupadi, selain mengutuk Dursasana, Bima juga hendak mengumpat abangnya — yang dinilai bertanggung jawah terhadap kesengsaraan itu. Namun niatnya ini dicegah Arjuna yang sadar bahwa di hadapan para Kurawa, mereka tidak boleh tampak bertengkar.
Ketegasan sikap Bima juga tercermin latkala Prabu Kresna memastikan kcteguhan sikap para Pandawa. Waktu itu dengan tcgas Bima menjawab: “Jika negara Astina tidak diserahkan, kita harus berperang! Baratayuda harus menjadi kenyataan.”

Padahal ketika itu. pertanyaan yang sama dijawab Puntadewa dengan nada keengganan, sedangkan Arjuna menjawab, akan mengikuti apa yang terhaik yang diputuskan Kresna. 
Menurut Serat Hariwangsa karya Empu Panuluh. di kala muda usia Bima sebenarnya pernah mati. Ini terjadi sewaktu Kresna. yang waktu itu lebih dikenal dengan panggilan Narayana, menculik Dewi Rukmini. Prabu Bismaka, ayah Rukmini. merasa tidak sanggup melawan Kresna.  Karena itu, alas saran Bega-wan Druna, raja Kumbina itu meminta bantuan Pandawa untuk melawan Kresna. Permintaan bantuan itu oleh Yudistira disetujui. Keputusan ini sebenarnya tidak disetujui Bima dan Arjuna. namun bagaimana pun yang menjadi raja adalah Yudistira.
Akibat keputusan Yudistira itu, para Pandawa ter-paksa berperang melawan Kresna. Prabu Baladewa ikut turun tangan membela adiknya. Dalam peperangan itu Bima dan Baladewa sama-sama mati sampyuh. Yudistira gugur di tangan Kresna. Namun sewaktu berhadapan dengan Arjuna. kesaktian Kresna temyata seimbang. Kresna lalu mengubah ujud dirinya menja­di Batara Wisnu. Arjuna pun ikut menjadi Wisnu. sehingga saat itu ada dua Wisnu saling berperang.

Perang itu barn berakhir sesudah para dewa datang melerai. Para Pandawa diberi tahu bahwa Dewi Rukmini sesungguhnya memang merupakan jodoh Narayana. Sesudah berdamai, dengan kembang Cangkok Wijayakusuma. Prabu Kresna lalu meng-hidupkan kembali Bima, Baladewa. dan Yudistira.
Khusus dalam pewayangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama Bratasena, Wijasena. atau Har-yasena lebih sering digunakan untuk menyebut Bima ketika masih remaja, sedangkan nama Wrekudara digunakan untuk menyebut Bima setelah dewasa.

Bima mengenakan hiasan kening yang bernama pupuk mas. Di telinganya ada hiasan yang bemama sumping pudak sinumpet. Di lehemya melingkar kalung bernama naga banda yang berbentuk lilitan ular naga. Sedangkan di lengannya, terikat hiasan kelat bahu bernama balibar manggis. Gelang yang dikenakannya bemama candra kirana. Sedang kain kampuhnya yang hermotif poleng, bemama kampuh poleng bang bintulu.

Pada seni kriya Wayang Kulit Purwa dari gagrak Surakana dan Yogakarta, tokoh Bima ditampilkan da-lam enam belas macam wanda, yakni wanda Mimis, Lintang, Lindu Panon, Lindu Bambang, Tatit, Ketug, Jagor (Jagur), Kedu, Gandu, Jagong, Bedil, Mbugis, dan Gurnat. Wanda Lindu Panon ditampilkan mana-kala Bima sedang mengamuk. Tokoh Bima pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta digambarkan bercawat, tidak bercelana. Sedangkan pada gagrak Surakarta, ia mengenakan celana.
Dalam pewayangan Bima adalah tokoh wayang yang memiliki wanda terbanyak. Baikan wanda Arjuna pun kalah banyak jenisnya. Ini membuktikan bahwa Bima sejak dulu adalah tokoh idola bagi banyak penggemar wayang.

Berikut ini adalah bentuk-bentuk sebagian wanda Bima.
Bima wanda Lindu Panon bertubuh agak gemuk, bahu belakang lebih tinggi daripada bahu depan, wajahnya menunduk seolah memandang ke bawah, dan lingkar gelungnya lebar. Wanda ini diciptakan pa-da zaman pemerintahan Sunan Amangkurat Seda Tegal Arum, yakni tahun 1578 Saka atau 1656 Masehi. Wanda Linda Bambang digunakan sebagai peraga Bima muda, tubuhnya lebih langsing dibandingkan dengan yang wanda Lindu Panon. Bahu belakang juga lebih tinggi dibandingkan yang depan. Perbedaan yang lam, lingkar gelungnya sedikit lebih kecil daripada wanda Lindu Panon. Wanda Lindu Bambang ini diciptakan pada zaman Sunan Paku Buwami IV. raja Kasunanan Surakarta yang memerintah dari tahun 1788 sampai dengan 1820.

Bima wanda Lintang diciptakan tahun 1655 Saka atau 1733 Masehi pada zaman Paku Buwana II, raja Kartasura. Badannya agak gemuk, tubuhnya agak condong ke depan dan bahu belakangnya lebih tinggi dibandingkan yang depan. Lehernya relatif agak panjang. 
Wanda Gurnat yang mengambil nama dari Kyai Jagurnat, sebuah meriam yang dianggap sebagai pusaka di Surakarta, diciptakan pada zaman Paku Buwana IV. Badannya agak gemuk. kedua bahunya relatif rata dibandingkan dengan wanda-wanda yang lain, namun bahu belakang tetap sedikit lebih tinggi, wajahnya agak melongok ke depan, ukuran lingkar gelungnya sedang.

Pada pertunjukan Wayang Orang, yang dipilih un-tuk memerankan tokoh Bima selalu adalah penari yang bertubuh tinggi besar. gagah, dan bersuara berat. 
Dibandingkan dengan tokoh wayang lainnya, Bima paling banyak ditampilkan dalam bentuk area candi. Patung atau relief yang menggambarkan Bima di antaranya terdapat di Candi Sukuh, Candi Ceta, Candi Popoh di dekat Blitar, dan di Pura Kebo Edan dekat Gianyar, Bali. (Sumber: Copas dari Internet)

Tags

Recent Post