Latest News

Showing posts with label Artikel Desa. Show all posts
Showing posts with label Artikel Desa. Show all posts

Sunday 28 October 2018

Diplomasi Desa

Desa menapaki kancah diplomasi ekonomi internasional sepanjang Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali (8-14/10/2018). Isu memusat pada peran dana desa untuk pemerataan sosial, pencapaian pembangunan berkelanjutan, dan inovasi kolaborasi bisnis perdesaan.
Indonesia mengajukan kaidah bahwa pembangunan desa tidak melulu teknokratis, tetapi padat oleh nilai-nilai humanisme
Indonesia mengajukan kaidah bahwa pembangunan desa tidak melulu teknokratis, tetapi padat oleh nilai-nilai humanisme: menanggulangi kemiskinan, memeratakan manfaat, memajukan masyarakat. Menteri Desa Pembangunan Desa, Daerah Terpencil, dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo mendudukkan ekonomi perdesaan sebagai landasan awal. Di ujung, dibidik cakrawala peningkatan kapasitas warga desa lewat ekosistem pendidikan dalam makna terluas.

Pada 2008 tercatat hanya 31 persen desa yang tersentuh proyek pemerintah. Setelah proyek nasional pemberdayaan diluncurkan, sebanyak 56 persen desa terliput pada 2011, kemudian 78 persen desa pada 2014. Kala dana desa mengucur ke seantero Nusantara sejak 2015, kue pembangunan menyebar merata ke seluruh desa.

Ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, secara khusus mengamati jenis dan besaran pembangunan yang berbeda-beda di antara 74.957 desa. Baginya, ini menginformasikan rincian pembangunan desa yang paling sesuai dengan keragaman kebutuhan warga desa.

Bukannya mengadopsi one policy fits for all, musyawarah desa mengambil keputusan sendiri-sendiri demi mengatasi masalah lokal. Di tingkat nasional kemudian terlukis mosaik pembangunan wilayah beraneka warna, seperti badan usaha milik desa (BUMDes) marak di Aceh, sementara prasarana mendominasi di NTT.

Keputusan musyawarah desa terangkum di dokumen APBDes. Situs www.sipede.ppmd.kemendesa.go.id mengompilasi APBDes dari 74.000 desa. Ternyata, 98 persen pengeluaran untuk pembangunan fisik dan nonfisik bersumber dari dana desa.

Belanja dana desa pada 2015-2018 guna menopang aktivitas ekonomi warga berupa bangunan 158.619 kilometer jalan desa, 7.421 unit pasar desa, dan 39.565 unit irigasi. Pembangunan fasilitas penunjang peningkatan kualitas hidup berujud 942.927 bangunan air bersih, 178.034 bangunan MCK (mandi, cuci, kakus), 48.694 bangunan pendidikan anak usia dini (PAUD), 8.028 bangunan pondok bersalin desa (polindes).

Presiden Center for Global Development Masood Ahmed mendapati harmonisasi pembangunan fasilitas ekonomi dan sosial menjadi fondasi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di perdesaan Indonesia. Manfaat berbagai prasarana ekonomi terhadap capaian SDGs di desa mencakup konsistensi penurunan kemiskinan hingga jadi 13 persen pada 2018.

Pekerja informal menurun dari 56 persen (2015) menjadi 55 persen (2017). Sementara tenaga kerja formal meningkat dari 24 persen pada 2015 menjadi 27 persen setahun kemudian. Upah pekerja meningkat dari Rp 8.785 per jam jadi Rp 10.840 per jam. Pengangguran terbuka menurun dari 5 persen menjadi 4 persen. Rasio gini perdesaan turun dari 0,33 (2015) menjadi 0,32 (2018).

Prasarana sosial juga menunjang pencapaian SDGs perdesaan, yaitu kelaparan menurun drastis dari dialami 13 persen warga (2015) jadi 8 persen (2017). Penduduk pengakses air bersih meningkat dari 60 persen (2015) menjadi 62 persen (2017). Kelahiran yang dibantu dokter dan bidan meningkat dari 86 persen menjadi 88 persen. Hunian terjangkau meningkat bagi 88 persen jadi 90 persen warga desa. Sepanjang 2014-2017, angka partisipasi murni (APM) SD dan SMP di desa meningkat masing-masing dari 96 persen menjadi 97 persen, dan semula 75 persen menjadi 77 persen.

Kolaborasi produktif

Presiden The International Fund for Agricultural Development (IFAD) Gilbert Houngbo berminat menyesuaikan pendekatan IFAD sesuai model transformasi perdesaan Indonesia karena memastikan semua pihak mendapatkan manfaat. Ini dilakukan dengan memetakan potensi produk unggulan, memampukan desa mencipta nilai tambah komoditas, sehingga daya jual komoditas mencuat. Sepanjang memicu pembesaran pendapatan warga, model pembangunan desa dipercaya berkelanjutan.

Menteri Eko mengenalkan istilah common interest guna memadukan kepentingan segenap pihak dalam kluster Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades). Proposisi nilainya ialah mempertemukan jaringan potensi antardesa dengan swasta sebagai ujud pasar. BUMDes- BUMDes sekabupaten bekerja sama mengelola produk unggulan. Mitra swasta mengakses lahan produksi berskala ekonomis guna berproduksi. Elektabilitas kepala daerah mencuat kala pendapatan warga meningkat.

Hasilnya, pada 2018 terbentuk 343 prukades pada 148 kabupaten. Sebanyak 30 offtaker bermitra dengan BUMDes Bersama. Dari potensi investasi Rp 47 triliun, telah dicairkan Rp 6 triliun ke desa.

Luasan lahan produktif pertanian meningkat. Di Pandeglang, lahan jagung meluas dari 8.000 ha tahun 2016 jadi 66.000 ha pada 2017. Produk perikanan dari pelosok desa di Maluku Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara dipasarkan secara daring sampai Jakarta.

Langkah cepat pasca-diplomasi Bali ialah menyiapkan kunjungan dari mancanegara. Tur studi banding perlu serius digarap agar delegasi negara lain cepat belajar kebijakan dana desa dan perencanaan partisipatif. Show case perlu disiapkan, dan disajikan sesuai dengan karakteristik tamu asing.

Oleh: Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa PDTT
Sumber: Kompas.com

Friday 12 October 2018

Ironi Desa Membangun Indonesia

Angka kemiskinan di pedesaan semakin melonjak jauh melampaui angka kemiskinan di kota. Sebaran angka kemiskinan di pulau-pulau di Indonesia per Maret 2018 menunjukkan keterpurukan masyarakat pedesaan. Jika dirata-rata, angka kemiskinan di perkotaan 6,64 persen, sedangkan di pedesaan 15,45 persen.

Angka kemiskinan di pedesaan semakin melonjak jauh melampaui angka kemiskinan di kota. Sebaran angka kemiskinan di pulau-pulau di Indonesia per Maret 2018 menunjukkan keterpurukan masyarakat pedesaan. Jika dirata-rata, angka kemiskinan di perkotaan 6,64 persen, sedangkan di pedesaan 15,45 persen.
Foto: Ilustrasi
Realitas itu menunjukkan ironi tersendiri. Pertama, desa adalah tempat produksi bahan-bahan pangan masyarakat. Sawah-sawah dan kebun pada umumnya terletak di desa. Desa menyediakan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Kedua, dalam empat tahun terakhir pemerintahan desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberikan kewenangan lokal berskala desa. Tak hanya sampai di situ, desa juga mendapat dana transfer dari pusat berupa Dana Desa, di samping Alokasi Dana Desa. Jumlah akumulatifnya berkisar Rp 1,2 miliar hingga Rp 2 miliar masing-masing desa sesuai dengan kondisi kemiskinan, luas, infrastruktur, dan tingkat kesulitan medan desa.

Ketiga, pengalokasian Dana Desa secara nasional selalu meningkat signifikan tiap tahun. Pada 2015 dialokasikan sebesar Rp 20,77 triliun, meningkat menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016, dan pada 2017 dan 2018 alokasinya kembali meningkat menjadi Rp 60 triliun, dan pada 2019 direncanakan naik hingga Rp 80 triliun.

Keempat, sesuai dengan Nawacita nomor tiga pemerintahan Jokowi-JK, yaitu membangun dari pinggiran, banyak program yang menyasar ke pedesaan, mulai program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, dan lain-lain.

Kelima, pemerintah desa mendapatkan fasilitas tenaga pendamping desa, yang eksistensinya melekat dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendamping desa ini direkrut, dilatih, dan ditugaskan untuk membantu pemerintah desa menjalankan program-program pemerintah desa agar strategis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang berlaku.

Jebakan dan Belenggu

Terdapat dua jebakan yang umum didapati dalam pembangunan desa. Pertama, garapan pemerintah desa cenderung mengarusutamakan pembangunan infrastruktur. Alasannya, kegiatan fisik lebih mudah dilihat hasilnya dan bisa dijadikan komoditas kampanye politik desa bagi kepala desa ketika pemilihan kepala desa periode berikutnya. Selain itu, kreativitas pemerintah desa rupanya masih banyak yang perlu distimulasi dengan best practies pembangunan desa dalam banyak bidang di desa-desa yang sudah maju dan mandiri.

Kedua, aturan terkait teknokrasi desa yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, pemberdayaan, pembangunan, dan pembinaan desa masih sangat rumit. Lebih-lebih persoalan administrasi dalam penyelenggaraan Dana Desa. Banyak pegiat desa yang mengeluhkan aspek ini. Mereka mengatakan, desa sudah diberi kewenangan dan dana namun masih dibelenggu dengan aturan-aturan yang rumit dan menyiksa pemerintah desa.

Pada titik tertentu, hal itu menyebabkan banyak pemerintah desa yang terjebak dalam kerumitan-kerumitan teknis. Potensi dan energi pendamping desa pun terkuras pada masalah-masalah teknis yang sebenarnya bisa diantisipasi oleh pemerintah pada aspek hulunya. Pendamping kemudian hanya seperti hakim garis yang menjadi juru bicara aturan tentang administrasi desa yang rumit.

Potensi pendamping desa untuk bisa menjadi mitra pemerintah desa dalam memunculkan dan mendorong gagasan visioner, progresif, inovatif, efektif, dan efisien dalam desa membangun Indonesia kemudian terbentur dengan ketakutan-ketakutan administratif yang oleh pihak-pihak tertentu sering dikonversi menjadi alat menundukkan desa.

Selain itu, hingga saat ini posisi pendamping subordinatif di bawah kepala desa. Eksistensinya seperti konsultan yang disediakan oleh pemerintah namun tetap harus tunduk pada kepala desa. Pekerjaannya dinilai oleh kepala desa dan untuk mencairkan honornya, timesheet pekerjaan pendamping harus disahkan kepala desa. Ini menyebabkan relasi kepala desa dengan pendamping desa tidak setara. Kondisi ini menyebabkan sulit mewujudkan dialog yang produktif dan menghasilkan gagasan inovatif dan progresif.

Menguatkan Pemberdayaan

Dengan kewenangan dan sumber dana yang memadai, desa sangat mungkin menginisiasi dan merencanakan pembangunan yang substantif, integratif, komprehensif, dan inovatif. Ini memberikan kesempatan kepada pemerintah desa untuk membangun dan menguatkan aspek pemberdayaan dan ekonomi pemerintah dan masyarakat desa melalui penekanan bidang pemberdayaan dan pembangunan ekonomi produktif di desa.

Penekanan pada aspek pemberdayaan dan pembangunan ekonomi desa merupakan pilihan strategis yang bisa memberikan percepatan kemandirian desa dengan meningkatkan pendapatan asli desa. Tingginya pendapatan asli desa (PADes) tentu akan menjadikan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) lebih besar, sehingga pada tahun-tahun anggaran selanjutnya, pemerintah desa dapat lebih leluasa dalam membangun sektor-sektor strategis lainnya, khususnya pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial dasar.

Pemberdayaan masyarakat desa harus dilakukan kepada petani, kelompok usaha produktif dan kreatif dalam kerangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produk mereka, berdasarkan keunggulan komparatif maupun kompetitif. Pemerintah desa perlu secara serius membina Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bergerak dalam bidang jasa promosi, distribusi, dan penjualan produk unggulan masyarakat desa yang telah diberdayakan sebelumnya.

Tentu, BUMDes ini harus dikelola secara inovatif dan profesional. Pemerintah desa melalui BUMDes ini akan menjadi marketer dan sales bagi produk-produk unggulan masyarakat desa. Dengan konsep ini, BUMDes dan masyarakat memiliki hubungan simbiosis mutualisme: ketika masyarakat desa produktif dan inovatif, maka BUMDes tentu memiliki kesempatan luas untuk membangun ekspansi bisnisnya, yang memungkinkan kedua belah pihak sama-sama untung optimal. Sehingga, kekhawatiran BUMDes akan "membunuh" usaha masyarakat desa dapat ditepis.

Kedua, pemerintah desa bisa menjadi motor bagi masyarakat desa untuk melakukan langkah-langkah kecil namun bisa berdampak besar bagi kedaulatan ekonomi desa. Seperti, gerakan menghidupkan pekarangan rumah dengan menanam cabe, sayur, buah-buahan, dan lain-lain yang bisa membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga.

Gerakan kecil ini bisa menekan pengeluaran sehari-hari rumah tangga. Ini bisa menjadi strategi menangkal dampak buruk semakin tingginya harga kebutuhan pokok di pasar. Kegiatan semacam ini misalnya telah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah desa Karangmelok, Tamanan Bondowoso, Jawa Timur sejak 2016.

Pemerintah desa juga bisa menjadi navigator bagi penyelesaian masalah-masalah produksi masyarakat desa. Ini misalnya dicontohkan pemerintah desa Harjomulyo, salah satu desa di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di desa yang mayoritas warganya adalah pengrajin krey itu, kepala desa menjadi motor gerakan menanam bambu di belakang rumah dan pinggiran lahan masyarakat khususnya yang di pinggir sungai.

Gerakan ini menyelesaikan persoalan kekurangan bahan baku krey yang sebelumnya banyak tergantung pada bahan baku dari luar desa. Dengan begitu, biaya produksi dapat ditekan. Di bagian hilirnya, pemerintah desa dengan BUMDes-nya bisa memutus mata rantai distribusi barang produk masyarakat desa sehingga bisa meningkatkan penghasilan masyarakat desa.

Langkah-langkah itu secara khusus mungkin bisa menjadi penangkal dampak buruk turunnya nilai tukar petani (NTP) desa dan naiknya harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat desa. Secara umum, langkah tersebut dapat menjadi penguat kedaulatan ekonomi desa.

Oleh Fathor Rahman Jm Dosen IAIN Jember, Pendamping Ahli Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) Kabupaten Bondowoso 2016-2017.

Sumber: Detik.com

Tuesday 11 September 2018

Digitalisasi Ekonomi Desa

Dinamika pertumbuhan ekonomi perdesaan ditentukan oleh kemampuan desa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi dengan manajemen berbasis kearifan lokal. Peran pemerintah desa sebagai regulator atau pencetus kebijakan yang mendukung perkembangan investasi serta geliat dunia usaha mikro-menengah sangat menentukan. Termasuk dalam hal pengembangan piranti ekonomi seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perbaikan infrastruktur ekonomi perdesaan.

Dinamika pertumbuhan ekonomi perdesaan ditentukan oleh kemampuan desa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi dengan manajemen berbasis kearifan lokal. Peran pemerintah desa sebagai regulator atau pencetus kebijakan yang mendukung perkembangan investasi serta geliat dunia usaha mikro-menengah sangat menentukan. Termasuk dalam hal pengembangan piranti ekonomi seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perbaikan infrastruktur ekonomi perdesaan.

Peluang perkembangan usaha mikro-menengah perdesaan sangat ditentukan oleh tiga variabel yang saling mempengaruhi.

Pertama, kemampuan profesional pemerintah desa dalam menjadikan alokasi Dana Desa sebagai stimulan pengembangan unit usaha mikro perdesaan. Alokasi Dana Desa dalam pos belanja pemberdayaan masyarakat desa idealnya digunakan untuk subsidi permodalan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) dan juga untuk membangun sarana-prasarana ekonomi lokal perdesaan.

Kedua, pertumbuhan investasi desa. Investasi desa -baik dari luar maupun dari kalangan pemilik modal besar di desa- sangat penting untuk mengakselerasikan program unggulan dan inovatif desa. Harus diakui, desa membutuhkan uluran tangan kerjasama dengan pihak ketiga untuk membantu pembiayaan program-program unggulan dan inovatif yang memiliki efek ekonomi strategis jangka panjang. Kemampuan anggaran pemerintah desa dalam skema APBDes sangat terbatas dan dibatasi oleh regulasi pengelolaan anggaran yang sistemik.

Ketiga, kemampuan adaptif pelaku ekonomi mikro-menengah perdesaan terhadap sistem-siklus-mekanisme ekonomi digital. Pelaku ekonomi perdesaan selama ini masih menjalankan usaha dalam perspektif ekonomi konvensional. Menggunakan perangkat-sistem ekonomi konvensional dalam hal pemasaran dan perluasan jaringan. Sehingga tidak mampu melahirkan keuntungan yang progresif untuk produk unggulan yang dipasarkan.

Dari ketiga variabel di atas kemampuan adaptasi terhadap ekonomi digital adalah hal yang strategis untuk mendorong kemajuan ekonomi mikro-menengah perdesaan. Perlu dicatat potensi (peluang) ekonomi digital di Indonesia sangat besar.

Data analisis Ernst & Young memperlihatkan bahwa pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di Indonesia setiap tahun meningkat 40 persen. Aktivitas usaha (bisnis) online cenderung menguat karena ditopang oleh kondisi obyektif dengan adanya 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia.

Sedangkan Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi pasar digital terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia semakin meningkat per tahun Kontribusi tersebut mencapai 3,61 persen pada tahun 2016, lalu meningkat jadi 4 persen di 2017.

Sementara itu melalui program Palapa Ring pemerintah pusat berupaya memperluas pemerataan akses Internet ke seluruh penjuru tanah air. Tercatat saat ini 64 persen dari 74.275 desa di Indonesia telah memiliki akses terhadap infrastruktur telekomunikasi berbasis Internet. Usaha ekonomi mikro-menengah pedesaan bisa menggunakan akses Internet untuk berintegrasi dalam dunia ekonomi digital -mulai dari mengembangkan transaksi digital (e-commerce) untuk aktivitas pemasaran, hingga penjualan dan niaga.

Dibutuhkan usaha dan kerja keras untuk mengintegrasikan ekonomi mikro-menengah pedesaan ke dalam siklus ekonomi digital. Ada beberapa langkah strategis yang harus dijalankan.

Pertama, adalah penguatan gerakan ekonomi digital di pedesaan. Gerakan ekonomi digital harus difasilitasi oleh pemerintah pusat melalui kerjasama berkelanjutan dengan pemerintah daerah, pemerintah desa dan dunia usaha mikro-menengah pedesaan. Gerakan ekonomi digital pedesaan dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha mikro-menengah pedesaan untuk menggunakan akses Internet dalam aktivitas niaga; serta -lebih jauh- untuk memfasilitasi terbangunnya sentra ekonomi digital berbasis produk unggulan desa.

Kedua, merealisasikan program Desa Melek Digital. Program Desa Melek Digital memilik tujuan untuk mendukung pengembangan sistem informasi desa (SID), sistem informasi kewirausahaan desa, sistem transaksi ekonomi desa, dan sistem e-commerce berbasis desa. Desa Melek Digital akan mendorong masyarakat desa -khususnya pelaku usaha- untuk menggunakan aplikasi teknologi informasi untuk aktivitas bisnis yang produktif.

Ketiga, menyiapkan sumber daya manusia pendukung dinamika ekonomi digital. Dibutuhkan tenaga profesional yang siap bekerja dalam mendukung program ekonomi digital di pedesaan.

Hal yang penting lainnya adalah dibutuhkan fasilitasi terhadap pengembangan produk unggulan esa. Sehingga diharapkan setiap desa memiliki produk unggulan yang siap dipasarkan dalam 'ritus' ekonomi digital. Desa harus didorong menjadi desa maju yang mampu membangun kapasitas ekonomi kreatif,yang akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ekonomi digital akan membawa kemajuan bagi desa dalam aspek ekonomi mikro dan juga memperkuat fondasi kewirausahaan dalam iklim kompetisi modern. Desa akan terdorong berkembang statusnya menjadi desa mandiri dengan kekuatan ekonomi lokal yang bernilai global.

Trisno Yulianto, alumni Fisip UNDIP, Koordinator Kajian Kebijakan Dan Transparansi Anggaran (FORKATA) Magetan.

Saturday 8 September 2018

Kreasi Desa di Ruang Kewenangannya

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi harapan baru bagi masyarakat desa. Ditegaskan, kewenangan yang lebih luas dan jelas kepada desa. Dengan dukungan anggaran yang relatif besar, Desa dengan kewenangannya mampu melakukan upaya mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat Desa.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.

Pada masa perjalanan sampai keempat UU Desa, ada beberapa catatan penting.

Pertama, sudah banyak muncul inovasi dan kreatifitas Desa dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pengembangan berbagai usaha desa yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), penguatan usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh masyarakat, layanan e-commerce, dan sebagainya.

Kedua, komitmen Pemerintah Desa untuk melakukan transparansi lebih kuat. Infografik APBDesa dibuat oleh desa-desa. Dipasang di tempat strategis yang mudah dibaca oleh masyarakat. Papan informasi kegiatan pembangunan juga dipasang dengan memuat uraian besaran anggaran. Termasuk, diunggahnya dokumen APBDesa dan informasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di website desa.

Ketiga, kendati demikian masih sering terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman dari para pelaksana. Baik di level Pemerintah Pusat, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa terkait aturan tentang proses pembangunan, pengelolaan keuangan, serta pengadaan barang dan jasa di Desa.

Keempat, upaya pembinaan dan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Desa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan belum optimal.

Kelima, titik perhatian dalam pelaksanaan UU Desa masih soal seputar Dana Desa. Soal bagaimana proses yang dilakukan oleh seluruh komponen yang ada di Desa dalam membangun Desa belum banyak mendapat perhatian.

Praktik baik telah berkembang melembaga dalam pembangunan Desa. Saat ini, berbagai praktik baik dalam tata kelola desa bermunculan. Praktik baik itu bisa terkait dengan upaya peningkatan pelayanan publik, proses perencanaan pembangunan, peningkatan partisipasi dan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, transparansi, pengembangan sistem informasi desa, dan pengembangan ekonomi desa. 

Kewenangan Desa yang menjadi amanat UU Desa telah memberi jalan bagi Desa untuk bergerak maju secara kreatif. Ada semangat yang tumbuh dalam diri desa untuk memanfaatkan potensi yang ada secara lebih optimal. Kewenangan desa telah memberikan ruang besar bagi Desa memberdayakan dirinya.

Namun demikian, harus diakui bahwa ditengah berbagai praktik baik itu masih banyak kekurangan. Problem masih kurang efektifnya koordinasi antar lembaga yang mengurusi desa, baik pada tingkat kementerian maupun Pemerintah Daerah masih menjadi problem serius yang mengakibatkan pelaksanaan UU Desa menjadi begitu rumit. Banyak regulasi yang dikeluarkan oleh kementerian untuk mengatur desa, tetapi seringkali regulasi tersebut kurang sinkron antara satu dengan yang lainnya. Sudah begitu, regulasi yang ada seringkali cepat berubah. Hal ini sangat menyulitkan desa.


Kekurangan lain adalah adanya pandangan yang melihat UU Desa sebagai sekedar pelaksanaan Dana Desa. Bahkan Dana Desa dianggap hanya sebuah program saja, dengan Desa sebagai pelaksananya. Pandangan semacam ini dalam berbagai hal mengakibatkan adanya kecenderungan pendekatan yang berlebihan kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam melihat Desa.

Dengan kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan?

Desa harus terus bergerak secara kreatif dan inovatif sehingga ruang-ruang kewenangannya banyak terisi oleh gagasan-gagasan penguatan Desa itu sendiri.[*]

Ditulis oleh Bayu Setyo Nugroho
Kepala Desa Dermaji, Banyumas, Jawa Tengah

Tags

Recent Post