Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) sudah masuk tahun ke empat, karena efektif berjalan sejak 2015.
Catatan Perubahan Mendasar Pengelolaan Keuangan Desa
Refleksi
Mengutip pernyataan Sutoro Eko dalam diskusi yang digelar Institute for Research and Empowerment (IRE) pada 21/07/2018 di Yogyakarta bertajuk “Meluruskan Jalan Desa”, ada tiga poin penting reflektif yang perlu dilakukan oleh desa dalam implementasi UUDesa, yaitu:
Pemberdayaan desa menemukan beragam tantangan dan pembelajaran. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh pengelola keuangan desa dalam waktu dekat adalah penyesuaiantata kelola keuangan desa terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2018 (Permendagri 20/2018) tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Permendagri 20/2018 mencabut Permendagri 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan beberapa pasal atau ayat terkait pada Permendagri 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
- Pencatatan akutansi keuangan menggunakan metode Basis Kas. Artinya, transaksi keuangan baru dicatat jika sudah terjadi penerimaan atau pengeluaran. Sebelumnya menggunakan basis akrual yang mencatat semua transaksi meskipun belum ada pengeluaran atau penerimaan kas.
- Pengelola keuangan diharuskan berasal dari perangkat desa yang terdiri dari Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala Seksi (Kasi). Dalam hal ini sebenarnya Kabupaten/Kota bisa mengatur (melalui Perbup) mengenai adanya unsur masyarakat yang masuk menjadi tim pelaksana kegiatan. Penatausahaan atau fungsi perbendaharaan dilakukan oleh Kaur Keuangan, sebelumnya oleh Bendahara.
- Terdapat perubahan struktur kodifikasi Bidang, Sub Bidang, Kegiatan, Jenis Belanja, Obyek Belanja, hingga item belanja/pengeluaran. Struktur ini termasuk penentuan kode rekening yang baku hingga item belanja dalam rancangan anggaran. Penambahan item yang dinamis (di luar kebakuan) hanya disediakan nomor kode rekening 90-99 saja. Terlihat ambisi yang tinggi untuk kepentingan agregasi secara nasional.
- Terdapat tambahan format dokumen penganggaran, pelaksanaan, hingga laporan realisasi dan pertanggungjawaban. Dokumen tambahan tersebut (selain yang sudah termuat dalam Permendagri 113/2014) meliputi: DPA, RKA, RKK, RAK, Buku Pembantu Panjar, Buku Pembantu Terima Swadaya, laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan, Catatan atas Laporan Keuangan (CALK), dan laporan program sektoral.
- Adanya kewenangan BPD untuk menolak RAPBDesa.
- Kewenangan pembinaan dan pengawasan bukan hanya pada level kabupaten/kota dan provinsi, tetapi hingga level Kementerian.
Tantangan Penguatan Kapasitas dan Pemberdayaan Desa
Aturan baru akan mengakibatkan aturan turunan baru. Mekanisme baru akan mengakibatkan penyesuaian secara sosial dan teknis di lapangan. Dalam hal ini pengelola keuangan di desa juga “harus” menyesuaikan tata kelola keuangan yang sudah berjalan selama ini dengan aturan dan mekanisme yang baru. Bukan hanya desa, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi pun juga harus menyiapkan pola penguatan kapasitas dan pendampingan desa sehingga pengelolaan keuangan desa tidak menjebak desa pada aspek teknokratis dan administatif saja. Selain itu, implementasi UUDesa tidak hanya dimaknai dengan pengelolaan Akutansi Dana Desa.
Mengutip pernyataan Sutoro Eko dalam diskusi yang digelar Institute for Research and Empowerment (IRE) pada 21/07/2018 di Yogyakarta bertajuk “Meluruskan Jalan Desa”, ada tiga poin penting reflektif yang perlu dilakukan oleh desa dalam implementasi UUDesa, yaitu:
- Radikalisasi Desa, dimaknai sebagai gotong royong dalam merebut kuasa pengelolaan urusan desa
- Dekolonialisasi, dimaknai sebagai melawan penjajahan yang menggunakan regulasi dan teknokrasi
- Siasat dan Negosiasi, dimaknai dengan Desa harus tetap menyiasati pemberdayaan masyarakat desa demi keutuhan karakter desa yang berdaya.
Silahkan unduh Permendagri 20/2018 dan lampirannya disini.
Sumber: https://sekolahdesa.or.id/aturan-pengelolaan-keuangan-desa-berubah-ambisi-teknokrasi-desa/
No comments:
Post a Comment