Pariaman sebagai kota otonom lahir berdasarkan surat keputusan Presiden yang diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri RI Hari Sabarno tanggal 2 Juli 2002 di halaman kantor Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Depdagri, Jakarta.
Kota Pariaman ini lahir berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang pembentukan Kota Pariaman Propinsi Sumatera Barat yang ditandatangani oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Undang-Undang tersebut diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI dengan nomor urut 25 tahun 2002 oleh Sekretaris Negara RI Bambang Kesowo.
Namun jauh sebelumnya, dari mana asal penduduk Pariaman. Jika dilihat masa silam kota Pariaman, maka Pariaman merupakan salah satu daerah rantau dari Minangkabau, seperti halnya Padang, Pasisia, Tiku. Menurut struktur pemerintahan adat Minangkabau, rantau Pariaman dinamakan rantau Riak Nan Mamacah. Maksudnya, di mana harta pusakanya juga turun dari garis ibu. Sedangkan gelar (gala) pusaka, juga turun dari garis Bapak. Warisan gelar setelah berumah tangga turun dari bapak seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Gelar itu merupakan panggilan dari keluarga isteri yang lebih tua dari umur isteri kepada seorang laki-laki. Warisan dari bapak ini hanya ada di Pariaman.
Penduduk Pariaman umumnya turun dari Luhak Tanahdata. Selain itu juga dari Luhak Agam pada bagian Utara. Sedangkan bagian sebelah Selatan justru turun dari Solok. Meski demikian, tetap saja mereka yang turun dari Luhak Tanahdata menjadi pemegang utama roda pemerintah.
Abdul Kiram dan Yeyen Kiram dalam bukunya Raja-Raja Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah (2003;51-52) mencatat, nenek moyang yang mula-mula turun dari Luhak Tanahdata ada sebanyak empat orang Penghulu beserta rombongannya. Yakni Datuk Rajo Angek, Datuk Palimo Kayo, Datuk Bandaro Basa, dan Datuk Palimo Labih. Amanah dari Yang Dipertuan Pagaruyung, di mana jika rombongan berada pada sebuah tempat yang tidak diketahui namanya, maka segeralah diberi nama dan tanda.
Akhirnya tempat itu diberi nama Kandangampek. Karena rombongan mereka berjumlah empat. Tidak lama kemudian, di tempat yang sama datang lagi satu rombongan dipimpin Datuk Makhudum Sabatang Panjang. Kedua rombongan bergabung dan sepakat bersama-sama turun ke bawah menuju arah Barat. Selanjutnya, rombongan menemukan sebuah tempat yang agak tinggi, tapi belum diketahui namanya. Salah seorang anggota rombongan, menanamkan sebatang pohon sebagai pembatas antara Luhak dan Rantau. Di tempat itu rombongan sepakat menamakan Kayutanam. Daerah inilah yang membatasi Luhak (darek) dengan Rantau. Berbatas dengan Bukit Barisan yang melingkari Padangpanjang.
Perjalanan kelima orang Penghulu tersebut diteruskan sampai ke Pakandangan. Di sini mereka membangun perkampungan. Tidak lama kemudian datang lagi ke Pakandangan enam orang Penghulu dari Tanahdata, yakni Datuk Simarajo, Datuk Rangkayo Basa, Datuk Rajo Mangkuto, Datuk Rajo Bagindo dan Datuk Mangkuto Sati.
Keenamnya bergabung dengan rombongan yang datang sebelumnya. Luas perkampungan diperluas sampai ke Sicincin. Sebagai penghormatan, khusus lima orang Penghulu yang datang pertama, mereka ditempatkan di tengah-tengah kampung. Sedangkan enam Penghulu yang datang belakangan, melingkari tempat kediaman lima Penghulu tersebut. Daerah ini akhirnya bernama Anamlingkung. Kedatangan dua gelombang, untuk mengingatnya dijadikan Kecamatan 2 X 11 Anam-lingkuang dengan ibukota Sicincin. Kini kecamatan ini sudah dimekarkan menjadi tiga kecamatan. Yakni, Anamlingkung, 2 X 11 Anamlingkuang Sicincin dan 2 X 11 Kayutanam. Dari daerah-daerah ini, mereka terus menyusuri hingga ke pantai Pariaman.
Ada juga yang menyebutkan penduduk Pariaman dari Tanahdata turun melalui Malalak. Di Malalak rombongan terbagi dua kelompok. Satu kelompok langsung menuju Pariaman, satu kelompok lagi menuju Kampungdalam. Kuatnya hubungan kekeluargaan dengan Malalak ini dapat dilihat dari adanya kunjungan dari orang yang berada di Pariaman, tapi berasal dari Malalak, kepada keluarga asal di Malalak.
Pariaman yang terletak di pinggir pantai, mudah dikunjungi pelaut dari berbagai negeri, menyebabkan mudahnya hubungan dengan daerah lain. Sehingga masyarakatnya pun mudah menerima perubahan, baik sosial, politik maupun agama.
Tak heran sebagai wilayah yang berada di pinggir pantai dan di singgahi oleh berbagai pedagang, Pariaman belakangan dihuni tak hanya dari keturunan Minangkabau dari daerahdarek. Di Pariaman terdapat pula keturunan keling (kaliang). Mungkin karena warna kulitnya lebih hitam, maka disebut saja kaliang. Sehingga jika ada anggota keluarga rang Pariaman, sering dikatakan kulitnya hitam kaliang. Bahkan sebelum proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, di Pariaman juga banyak terdapat keturuan Tionghoa (Cina). Bukti peninggalan keturunan Tionghoa yang tidak bisa dibantah adalah kuburan keturunan Tionghoa di Toboh Palabah dan nama daerah Kampungcino.
Sedangkan bangsa penjajah (Belanda, Inggris dan Jepang), yang pernah bermukim di Pariaman, hingga kini tak diketemukan lagi buktinya. Penulis hanya pernah mendapatkan informasi di sekitar Kampung Perak ada kuburan Belanda. Namun kini sudah menjadi areal perkantoran, yakni Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Padangpariaman.
Meski penduduk Pariaman sudah bercampur, tapi tetap memakai adat Minangkabau dalam kesehariannya. Hanya saja, sebagai daerah rantau, di Pariaman tidak diketemukan rumah gadang seperti di daerah darek. Rumah gadangnya tidak bergonjong sebagaimana rumah gadang di daerah darek seperti tanduk kerbau.
Penulis: Nagari Aie Tajun Lubuk Alung
SUMBER: http://kumpulan-orang-minang.blogspot.com/2011/09/asal-mula-orang-pariaman.html
No comments:
Post a Comment