Latest News

Showing posts with label KOLOM. Show all posts
Showing posts with label KOLOM. Show all posts

Wednesday, 26 September 2018

Cerita Sukses Dana Desa

Oleh Riza Multazam Luthfy
Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.
Gambar : katadata.co.id
Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.
Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.
Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.
Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.
Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.
Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).
Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.
Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.
Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa

Persepsi Miring
Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.
Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.
Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).
Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.
Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.
Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.
Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.

Penulis Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UII Yogyakarta

Monday, 24 September 2018

Urgensi Dokumen Perencanaan Pembangunan Desa !!!



KORSUM.NET-Sinkronisasi perencanaan desa merupakan bagian dari upaya pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelarasan arah kebijakan pembangunan desa dengan pemerintah daerah kabupaten sumedang. 

Penyelarasan arah kebijakan desa tidak akan terlepas dari aspek perencanaan pembangunan desa yang sudah sangat jelas diatur dalam  Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Secara substansi regulasi tersebut memerintahkan kepada pemerintah daerah bahwa petunjuk lebih teknis terkait perencanaan pembangunan desa diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati. Kondisi yang terjadi saat ini pemerintah kabupaten sumedang belum memilikinya, artinya pemerintah daerah harus segera mengambil sikap dan langkah-langkah kebijakan.



Mapping Problem Policy:

Pemetaan permasalahan kebijakan merupakan upaya untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana kebijakan sudah dilaksanakan dan dijalankan oleh pemerintah desa, sehingga hasilnya dapat menjadi rujukan untuk menyusun sebuah produk kebijakan ditingkat daerah atau Kabupaten, dalam hal ini yaitu peraturan bupati mengenai perencanaan pembangunan desa.

Metode untuk mengetahui dan mengukur yang digunakan melalui pengamatan secara langsung  terhadap dokumen-dokumen perencanaan desa, meliputi RKPDesa dan RPJMDesa. Indikator-indikator pengamatan yang diteliti mengacu kepada kerangka dasar rancangan peraturan bupati tentang perencanaan pembangunan desa antara lain: periode dokumen, kesesuaian sistematika dokumen, serta daftar usulan kegiatan yang akan dibiayai.

Pengamatan atau penelitian ini dilakukan oleh Forum Delegasi Musrenbang di 270 Desa yang tersebar di Kabupaten Sumedang. Hal mendasar dalam proses pengamatan atau penelitian ini adalah mencermati secara baik dokumen perencanaan desa sesuai dengan kondisi ril dilapangan. 

Hasil identifikasi pengamatan atau penelitian terkait dokumen perencanaan desa (RKPDESA RPJMDESA) di 270 Desa, 26 Kecamatan yang tersebar di wilayah Kabupaten Sumedang. Ditemukan beberapa permasalahan-permasalahan terkait, antara lain: 

Pertama, terdapat 48% desa di Kabupaten Sumedang belum melaksanakan Musyawarah Desa dalam rangka penyusunan RKPDESA tahun 2019 (sesuai jadwal: Juli-September) secara mandiri, artinya masih difasilitasi oleh tingkat kecamatan. Hal ini dikarenakan desa masih memiliki paradigma bahwa dalam proses penyusunan RKPDESA desa memiliki kebiasaan menunggu informasi resmi/perintah dari pihak kecamatan. Padahal sudah sangat jelas dalam Peremendagri No.114 tentang Pedoman Pembangunan Desa terkait penyusunan RKPDESA itu diselenggarakan oleh BPD melalui musyawarah dusun. Artinya tidak harus menunggu perintah/edaran dari pihak Kecamatan. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa masih banyak Kepala desa dan Perangkat desa belum memahami alur penyusunan RKPDESA dan RPJMDESA sebagaimana telah diatur undang-undang. Lebih lanjut, kepala desa harus  menganggap bahwa dokumen RPJMDESA dan RKPDESA adalah modal utama yang besar dalam melaksanakan pembangunan.

Kedua, 45% desa tidak memiliki hardcopy RPJMDESA (hanya softfile) bahkan mungkin tidak memiliki. ini disebabkan karena desa tidak memiliki dokumen RPJMDESA dan RKPDESA secara utuh yang disusun melalui mekanisme perencanaan sesuai peraturan yang berlaku. lebih parahnya lagi, ada Desa yang hanya copy pastedari desa lain dalam membuat dokumen perencanaan tersebut, sehingga content dokumen tersebut sama dengan desa lain yang dijadikan sebagai contoh. Padahal dokumen RPJMDESA dan RKPDESA salah satunya memuat segala kebutuhan masyarakat yang dijabarkan pada sebuah program/kegiatan pembangunan oleh pemerintah desa setempat secara partisipatif;
Ketiga, 35% Sistematika penulisan dokumen RPJMDESA dan RKPDESA tidak lengkap/atau sesuai dan terususun secara sistematis sebagaiamana peraturan yang ada dan berlaku. Di Kecamatan Surian misalnya dari jumlah 9 desa hanya 2 desa yang sudah sesuai sistematika dokumen RPJMDESA dan RKPDESA-nya, sementara sisanya belum sesuai sistematika;

Pemerintah Kabupaten Sumedang segera mengambil langkah-langkah kebijakan agar desa mempunyai dokumen perencananaan yang memiliki kategori baik untuk dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dan bersifat partisipatif, sesuai dengan peraturan berlaku, melalui pendampingan bersifat teknis dalam proses penyusunan dokumen perencanaan RPJMDESA dan RKPDESA yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah desa saat ini, dengan memaksimalkan stakeholders yang ada untuk dapat terlibat secara teknis dalam proses penyusunan dokumen perencanaan desa.


Oleh: Ari Arifin 
(Mahasiswa Pascasarjana STIA Sebelas April Sumedang,Sekretaris FDM Kabupaten Sumedang )







Saturday, 22 September 2018

Desain Pembangunan Kawasan Perdesaan

Oleh : Prof Ahmad Erani Yustika ( Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi)
Gemuruh pembangunan desa yang terjadi pasca-terbitnya UU Desa No. 6/2014 dan afirmasi fiskal dalam wujud Dana Desa (DD) telah mengubah banyak tatanan “politik” desa.
Pertama, politik kedaulatan desa. Perangkat desa dan warga desa berdaulat merumuskan dan memutuskan masa depannya karena kewenangan hak asal usul (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas).

Kedua, politik pembangunan desa. Desa mulai melek bahwa urusan pembangunan bukan hanya bikin jalan, jembatan, irigasi; tetapi juga perkara terkait menganyam mutu warga (pemberdayaan), kemandirian ekonomi yang bertumpu kepada partisipasi dan sumber daya ekonomi desa, dan meletakkan sistem nilai (budaya) lokal sebagai basis gerakan pembangunan.
Ketiga, politik literasi desa. Kesadaran warga terhadap pengetahuan strategis desa hidup kembali, dari mulai soal transparansi anggaran, kesehatan reproduksi, demokrasi ekonomi, pengarusutamaan perempuan, jejaring informasi, basis data, hingga kesadaran ekologis.

Relevansi Kawasan Perdesaan

Itulah kaki-kaki yang telah dibangun selama tiga tahun ini, sehingga Republik bisa berjalan dengan dua kaki utuh: desa dan kota. Jalannya pembangunan tak lagi sempoyongan karena ditopang oleh dua kaki yang kukuh.
Meski begitu, bisa berjalan saja tidak cukup. Dibutuhkan kecepatan untuk mengejar aneka ketertinggalan dan kekalahan, khususnya yang dialami oleh desa, sehingga yang diperlukan saat ini adalah berlari. Pada titik ini, desa tak akan bisa berlari apabila hanya fokus kepada wilayahnya masing-masing. Tiap desa memang memiliki kekayaan dan keragaman sumber daya (ekonomi), namun menjadi terserak dan tersebar menjadi kekuatan yang lemah apabila titik tumpunya berada pada masing-masing kaki desa.
Dibutuhkan kolaborasi antardesa untuk memastikan sumber daya yang dimiliki menjadi satu kekuatan utuh dan menjadi gerakan kolektif yang terpadu. Himpunan dari beberapa desa yang mendorong konsensus inilah yang disebut sebagai maklumat pembangunan “kawasan perdesaan”.
Sekurangnya kawasan perdesaan relevan karena tiga hal pokok.
Pertama, desa selalu takluk karena desa sebagai “komunitas ekonomi” hanya berhenti berjualan komoditas primer. Sebagai kegiatan “kultural” di mana orientasi produksi lebih banyak digunakan bagi kepentingan hidup sehari-hari, tentu saja mentransaksikan bahan baku tidak harus dicerca. Namun, apabila yang hendak dikejar adalah nilai tambah yang menjadi mata air kesejahteraan, maka aktivitas kultural itu mesti diteruskan kepada rantai ekonomi “pengolahan” (industri). Masalahnya, rumus kegiatan ekonomi di hilir (pengolahan) mensyaratkan skala ekonomi. Tanpa terpenuhi syarat tersebut aktivitas pengolahan tidak efisien.
Skala ekonomi tak mungkin beralas desa, ia mesti tumbuh dari gabungan desa sehingga kawasan perdesaan menjadi keniscayaan apabila proses nilai tambah hendak digerakkan di desa-desa. Jadi, rantai keterbelakangan ekonomi desa mesti diputus dengan jalan hilirisasi yang berpijak kawasan perdesaan.
Kedua, desa mesti ditinggikan posisi tawarnya (bargaining position) dengan jalan memerkuat ukuran ekonomi. Pelaku ekonomi desa tak pernah dapat mengakses ujung rantai distribusi (yang teramat panjang) karena dosis ekonominya yang kecil. Posisi tawar yang tinggi hanya bisa dijalankan bila ukuran ekonominya besar sehingga bisa langsung menyentuh ujung distribusi (bahkan konsumen langsung). Syaratnya: pelaku mesti bergabung membangun tindakan kolektif.
Lagi-lagi, itu tak cukup pada level desa, tapi harus menjangkau gabungan desa-desa.
Ketiga, kawasan perdesaan akan menjadi penegak yang menghalangi kompetisi antardesa sehingga di antara mereka akan saling memangsa (predator). Tanpa disadari gelombang pembangunan desa membuat desa-desa konsentrasi ke dalam (inward-looking) sehingga kehilangan perspektif kerjasama untuk meraih tujuan pembangunan yang optimal. Praktik yang terjadi justru persaingan yang tidak sehat, sehingga kemajuan desa yang satu diraih dengan jalan mematikan desa tetangga.

Fungsi Kawasan Perdesaan

Di luar relevansi di muka, kawasan perdesaan juga memiliki sandaran yang kuat karena memiliki fungsi yang otentik. Keberadaan kawasan perdesaan menjadi sumbu yang mempertemukan aneka keunggulan pada masing-masing desa, yang kemudian dikonversi menjadi kutub baru pembangunan.
Fungsi utama kawasan adalah sebagai lokus terjadinya proses pendalaman (deepening) pembangunan. Fungsi ini, seperti yang juga telah di singgung di atas, memertemukan potensi tiap-tiap desa menjadi satu rumusan kegiatan pembangunan yang punya bobot kesejahteraan. Aktivitas ekonomi tak hanya dirayakan sebagai ritus kebudayaan (seperti yang tersingkap dari makna kata “agriculture”), namun juga prosesi modernisasi yang bertumpu kepada kreativitas dan inovasi sehingga nilai tambah menjadi hal yang niscaya. Kegiatan ekonomi yang berlangsung tak hanya di permukaan inilah yang kelak menjadi sumber kesejahteraan dan keberkahan bagi warga desa.
Berikutnya, fungsi kawasan adalah menjembatani (bridging) relasi desa – kota. Hasrat membangun hubungan yang setara antara desa dengan kota adalah hal yang mulia dan layak diperjuangkan. Namun, melihat eskalasi ketimpangan yang sedemikian massif antara desa – kota (aset, akses, afirmasi), maka dibutuhkan “arena mediasi” yang membuat relasi tersebut dapat dieksekusi dengan lebih ideal. Kawasan perdesaan memiliki kemampuan tersebut karena merupakan agregasi desa-desa dengan segenap potensinya sehingga kesetaraan berhadapan dengan wilayah kota dapat direalisasikan.
Fungsi kawasan perdesaan adalah menjadi “agen pengepul” dari seluruh potensi desa dan menjadi pintu tunggal bersua dengan pemangku kepentingan (ekonomi) kota. Sebagai agen ia hanyalah representasi kepentingan desa-desa yang menyokongnya, bukan sebagai wilayah yang memperjuangkan dirinya sendiri. Jadi, pada kemajuan kawasan itulah sekaligus meninggikan pembangunan desa-desa.
Fungsi penting lainnya adalah mengerjasamakan (collaborating) banyak pemangku kepentingan yang berkehendak memajukan desa. Pemerintah (pusat dan daerah), kampus, lembaga kemasyarakatan, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha (milik pemerintah dan swasta), dan yang lain punya harapan yang sama untuk mendorong pembangunan desa. Sungguh pun begitu, mengorganisasikan aneka pemangku kepentingan ini tak mudah dan tidak bisa disangga hanya oleh desa, tetapi cakupan perangkat dan wilayah yang cukup besar. Inilah fungsi yang bisa diperankan oleh kawasan perdesaan.
Terakhir adalah fungsi pengendalian (controlling). Bagi pemerintah (khususnya), fasilitasi dan supervisi lebih mungkin dilakukan pada level kawasan mengingat jumlah desa yang amat banyak (74.958 desa). Jika desa-desa tersebut berkelompok dalam satu kawasan sesuai dengan potensi masing-masing, maka kegiatan pengembangan lebih terkelola, berjejak kuat, dan terorganisir lebih rapi.

Dimensi Penyangga Kawasan

Sungguh pun begitu, tak mudah untuk merealisasikan gagasan tersebut. Keberhasilan inisiasi pembangunan kawasan perdesaan tergantung dari 5 dimensi utama.
Pertama, konsensus (antardesa). Kawasan tercipta karena kesadaran desa-desa, bukan oleh sebab hasrat pemerintah atau pemangku kepentingan lain di luar desa. Di sini keberhasilan kawasan sangat tergantung dari kesanggupan membangun konsensus di antara desa-desa tersebut, dari mulai menentukan potensi yang akan dikembangkan, lokus program, organisasi dan pengelola kegiatan, sampai kepada distribusi atas hasil yang diperoleh.
Kedua, keterpaduan (hulu – hilir). Pembangunan kawasan orientasinya kepada nilai tambah, meneruskan aktivitas ekonomi primer yang diselenggarakan di desa. Oleh karena itu, fokus kepada hilir dengan memadukan potensi pada hulu menjadi tantangan pengembangan kawasan. Beberapa wilayah sudah menunjukkan kemampuan ini, salah satunya bisa dilihat dari kawasan di kaki Gunung Slamet Kabupaten Purbalingga (gabungan dari empat desa).
Ketiga, kelembagaan (organisasi dan aturan main). Kelemahan yang menonjol dari ekonomi desa adalah keberadaan organisasi (ekonomi) yang mapan. Pekerjaan rumah ini mesti diambil alih oleh kawasan dengan gugus utama mengorganisasikan sumber daya ekonomi menjadi gerakan yang sistematis, dari mulai investasi, produksi, pengolahan, distribusi, sampai pemasaran. Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma) dapat menjadi alternatif organisasi ekonomi yang membingkai kawasan.
Keempat, komunitas. Pembangunan kawasan perdesaan merupakan saham dari para warga desa sehingga partisipan gerakan adalah rakyat. Pemangku kepentingan lain posisinya sebagai pemandu dan fasilitator. Pusat gerakan adalah rakyat (komunitas) dan ini menjadi penanda penting berekonomi di (kawasan) perdesaan. Modal sosial menjadi alas dan mengatasi atas modal-modal lainnya, khususnya ekonomi. Kekuatan komunitas menjadi simbol kedaulatan warga atas kerja-kerja pembangunan.
Kelima, keberlanjutan (pembangunan). Pembangunan kawasan akan berlanjut bila titik tumpunya adalah komunitas. Tanpa kekuatan komunitas, pembangunan kawasan hanya merupakan replikasi pembangunan yang kehilangan api manfaat dan jejak keberlanjutan. Keberadaannya menjadi buih yang jauh dari urat nadi warga sehingga menjadi aktivitas ekonomi yang asing dari wilayahnya. Kecakapan teknokratis sangat dibutuhkan dan ini tergantung dari kemampuan kawasan tersebut memproduksi stok pengetahuan secara terus-menerus. Pemahaman inilah yang hendaknya dibawa ke arena warga desa agar gerakan pembangunan melampaui kepentingan desa.
Kesejahteraan dan keadilan sosial berbunyi kencang ketika semangat kolaborasi mampu menindih gelora kompetisi. Kaki-kaki desa yang kuat dirajut bukan untuk saling mematikan, melainkan untuk meninggikan derajat dengan cara saling berjabat tangan. Literasi desa akan menuntun proses ini dengan cepat.

Administrasi Pemerintahan Desa Dalam Berbagai Perspektif


Oleh : Asep Jazuli

Mendefinisikan administrasi secara luas dalam kajian Ilmu Administrasi terdapat beberapa pendapat ahli salah satunya ialah sebagai berikut :
  1. The Liang Gie menyatakan bahwa administrasi adalah “ segenap rangkaian perbuatan penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu”.
  2. Sondang P. Siagian menyatakan bahwa administrasi adalah “ keseluruhan proses kerjasama dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan sebelumnya.
  3. LAN RI merumuskan administrasi sebagai “ kegiatan kerjasama dalam upaya ( organisasi dan Manajemen yang bersipat sistematis, rasional, dan manusiawi yang dilakukan sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.
Memperhatikan pengertian administrasi seperti yang disebutkan di atas dapat dilihat betapa luas ruang lingkup dari administrasi. Ini dapat dimaklumi karena administrasi sebagai proses kerja sama manusia untuk mencapai tujuan tertentu, dapat diterapkan baik dalam kegiatan internasional, negara, pemerintah,swasta maupun dalam kontek Pemerintahan Desa.
Sehingga pembagian administrasi dapat dilakukan berdasarkan bidang-bidang dimana administrasi itu dilaksanakan dan dapat pula dilaksanakan berdasarkan unsur-unsurnya.
Dalam Konteks Administrasi Pemerintahan Desa secara luas bisa disebut sebagai manajemen penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Desa, yang meliputi Pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan desa, mencakup perencanaan pemerintahan, pengorganisasian atau kelembagaan pemerintahan, penggunaan sumber-sumber daya, pelaksanaan urusan rumah tangga pemerintahan dan urusan pemerintahan umum, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kewenangan dalam bidang pemerintahan desa.
Secara umum pengelolaan pemerintahan desa mencakup beberapa aspek sebagaimana telah disebutkan diatas, antara lain:
Pemerintah desa harus merencanakan berbagai program dan kegiatan yang berhubungan dengan rumah tangga pemerintahan, pelaksanaan urusan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat melalui penyusunan perencanaan pembangunan desa (RPJM Desa dan RKP Desa) sebagai dasar penetapan visi, misi dan tujuan pemerintahan desa. Setelah memiliki dokumen perencanaan pembangunan desa, selanjutnya pemerintah desa menyusun perencanaan anggaran (RAPB Desa).

Pengorganisasian kelembagaan pemerintahan desa

Pemerintah desa melakukan pengorganisasian kelembagaan yang ada di desa, mengatur pola hubungan dengan pemerintah desa dengan tujuan menjadi mitra dalam pelaksanaan pembangunan desa. Pelibatan peran-peran kelembagaan masyarakat desa dalam pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan, dan pembinaan masyarakat desa mutlak diperlukan.
Peranan kelembagaan desa (pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, dan lembaga kemasyarakatan desa) dalam rangka penyusunan dan implementasi kebijakan berkaitan erat dengan pembangunan, pemerintahan, pengembangan kemasyarakatan.
Pada era reformasi hal tersebut semakin menguat dibandingkan era orde baru. Perubahan ini sejalan tuntutan dan kebutuhan perubahan paradigma pembangunan dari “membangun desa” ke “desa membangun”.
Penggunaan sumber-sumber daya pemerintahan desa (sumber daya aparatur, sumber daya alam, sumber daya buatan, sumber daya sosial, keuangan, dan peralatan). Dalam konteks ini, pemerintah desa mengelola sumber-sumber daya yang ada di desa termasuk sumber daya aparatur pemerintah desa.
Pembagian tugas pokok dan fungsi aparatur pemerintah desa sangat diperlukan untuk menunjang kinerja pemerintahan yang optimal. Selain itu pengorganisasian sumber daya, aset dan potensi yang ada di desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa 

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai representasi permusyawara- tan masyarakat harus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai mitra pemerintah desa dalam melaksakan tugas pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan pembinaan masyarakat.
Musyawarah Desa sebagai instrumen pengambilan keputusan bersama di tingkat desa harus dijalankan untuk menciptakan suasana kehidupan pemerintahan yang demokratis dan partisipatif.
Dari bahasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa subtansi administrasi pemerintahan desa, dalam perspektif luas adalah proses pelayanan publik yang dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.

***Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di geotimes.co.id

Friday, 14 September 2018

Lonjakan Korupsi di Desa

Pemerintah telah mematok anggaran dana desa pada 2018 sebesar Rp 60 triliun. Rata-rata setiap desa akan mendapatkan Rp 800 juta. Di tengah besarnya anggaran yang akan dikucurkan, pengelolaan dana desa berhadapan dengan maraknya permasalahan korupsi di tingkat desa. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap korupsi di tingkat desa menunjukkan, jumlah kasus korupsi selalu melonjak lebih dari dua kali lipat dari tahun ke tahun. Pada 2015, kasus korupsi berjumlah 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016. Tahun 2017 melonjak menjadi 96 kasus. Total kasus pada 2015- 2017 mencapai 154 kasus.

Pada aspek lain, korupsi di desa turut menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar. Angkanya mencapai Rp 47,56 miliar. Rinciannya adalah Rp 9,12 miliar pada 2015, Rp 8,33 miliar pada 2016, dan melonjak menjadi Rp 30,11 miliar pada 2017.
Dari 154 kasus yang terpantau, anggaran desa adalah obyek korupsi yang paling banyak ditemukan. Total 82 persen kasus menjadikan anggaran desa sebagai obyek. Obyek korupsi anggaran desa mencakup alokasi dana desa (ADD), dana desa, kas desa, dan lain-lain. Kendati demikian, turut ditemukan kasus korupsi dengan obyek non-anggaran desa. Misalnya, pungutan liar yang dilakukan perangkat desa. Total kasus dengan obyek korupsi non- anggaran desa 18 persen dari keseluruhan kasus.
Terkait aktor, terdapat hal yang penting menjadi sorotan, yakni meningkatnya jumlah kepala desa yang tersangkut kasus korupsi, sepanjang 2015-2017 mencapai 112 orang. Pada 2015, terdapat 15 kepala desa, pada 2016 menjadi 32 orang, dan pada 2017 melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 65 kepala desa. Turut menjadi tersangka adalah 32 perangkat desa dan tiga anggota keluarga kepala desa.
Pada Agustus 2017, penangkapan kepala desa sempat menjadi sorotan publik. AM, Kepala Desa Dassok, Kabupaten Pamekasan, terlibat dalam dugaan penghentian kasus yang tengah ditangani Kejaksaan Negeri Pamekasan melalui upaya suap. Kasus ini terkait pengadaan yang menggunakan anggaran dana desa. AM kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama empat orang lainnya.
Faktor penyebab
Modus yang ditemukan dalam kasus korupsi di desa beragam. Praktik penyalahgunaan anggaran paling banyak ditemukan. Terungkap 51 kasus adalah praktik penyalahgunaan anggaran. Modus lain adalah penggelapan (32 kasus), laporan fiktif (17 kasus), kegiatan/proyek fiktif (15 kasus), dan penggelembungan anggaran (14 kasus).

Dari aspek penegakan hukum, kasus korupsi di desa paling banyak ditangani Kepolisian RI dengan total 81 kasus, disusul oleh Kejaksaan 72 kasus, dan KPK satu kasus. Minimnya kasus yang ditangani KPK besar kemungkinan terkait keterbatasan wewenang yang dimiliki. Apabila merujuk Pasal 11 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan KPK dalam menjerat kepala desa terbatas. KPK dapat menjerat AM sebagai kepala desa karena ia terlibat dugaan suap bersama-sama dengan Bupati Pamekasan, AS, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan.
Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab maraknya korupsi di tingkat desa. Pertama, terkait minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses pembangunan desa. Warga memang kerap dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa, tetapi pelibatannya masih terbatas. Tak banyak pula warga yang memiliki kemampuan cukup untuk memahami proses pembangunan, termasuk pemahaman akan anggaran di desa, hak dan kewajiban sebagai warga di desa, dan lainnya.
Kedua, minimnya fungsi pengawasan di desa. Lembaga seperti badan permusyawaratan desa (BPD) belum sepenuhnya optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa. BPD seyogianya dapat berperan penting mencegah korupsi di desa, termasuk mendorong warga lainnya untuk bersama-sama mengawasi pembangunan di desa
Ketiga, terbatasnya akses warga terhadap informasi, seperti anggaran desa. Sebagai contoh, total jumlah anggaran yang diterima desa dan total jumlah pengeluaran dipublikasikan, sementara rincian penggunaan tak dipublikasikan secara berkala atau bahkan tak diberikan sama sekali. Informasi mengenai pelayanan publik di desa juga masih terbatas. Warga sering kali tak mendapatkan informasi mengenai penggunaan akses layanan seperti kesehatan dan pendidikan. Tidak tersedianya akses terhadap informasi kemudian membuat warga tidak terdorong untuk berpartisipasi aktif sehingga pengawasan terhadap pembangunan desa menjadi minim.
Terakhir, korupsi di desa tak selalu disebabkan kehendak kepala desa atau perangkat desa untuk secara sengaja melakukannya, tetapi dapat terjadi karena keterbatasan kemampuan dan ketidaksiapan mereka mengelola uang dalam jumlah besar.
Dana desa
Maraknya kasus korupsi yang terjadi sepatutnya diberi perhatian serius. Setelah dikeluarkannya UU No 6/2014 tentang Desa, anggaran dana desa bergulir dalam jumlah sangat besar. Kendati dari hasil temuan tak semua menjadikan anggaran desa sebagai obyek, ini menunjukkan ada permasalahan besar dalam pengelolaan anggaran di desa sehingga penggunaan dana desa menjadi rawan. Dalam kondisi demikian, terbuka kemungkinan tindak pidana korupsi kian marak terjadi dalam pengelolaan dana desa.

Perhatian lebih dari otoritas terkait dibutuhkan. Kemendagri mesti lebih aktif memperkuat kapasitas kepala desa dan perangkat desa, baik dalam aspek regulasi, perencanaan pembangunan,
maupun tataran teknis lain terkait pengelolaan keuangan desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) juga harus lebih serius mendorong warga aktif berpartisipasi. Penting bagi warga desa untuk paham atas hak dan kewajibannya sebagaimana tertera dalam Pasal 68 UU Desa.

Tantangan terkait dana desa juga kian besar pada 2018, mengingat maraknya daerah yang menggelar pilkada serentak. Terdapat 115 kabupaten akan menggelar pilkada serentak pada 2018 dan sedikitnya 151 kepala daerah yang merupakan pejabat aktif kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah sehingga terbuka lebar kemungkinan terjadinya politisasi dana desa untuk kepentingan kontestasi pilkada. Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan Kemendesa perlu aktif mengawasi pencairan dana desa agar tak diselewengkan.
Egi Primayogha, Anggota Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari https://www.antikorupsi.org/id/news/lonjakan-korupsi-di-desa, 14/09/2018

Saturday, 8 September 2018

Meluruskan “Jalan” Desa

Banyak dinamika yang terjadi di desa setelah 4 tahun dilaksanakannya UU Desa. Berbagai praktik baik dalam tata kelola desa mulai bermunculan. Praktik baik itu bisa terkait dengan persoalan peningkatan pelayanan publik, proses perencanaan pembangunan, peningkatan partisipasi, peningkatan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, transparansi, pengembangan sistem informasi desa, dan pengembangan ekonomi desa.

Praktik baik itu sekaligus menunjukkan bahwa kewenangan desa yang menjadi amanat UU Desa telah memberikan jalan bagi desa untuk bergerak maju secara kreatif. Ada semangat yang tumbuh dalam diri desa untuk memanfaatkan potensi yang ada secara lebih optimal. Kewenangan desa telah memberikan ruang yang besar bagi desa untuk memberdayakan dirinya.
Namun demikian harus diakui bahwa ditengah berbagai praktik baik itu masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan UU Desa. Problem masih kurang efektifnya koordinasi antarlembaga yang mengurusi desa, baik pada tingkat kementerian maupun Pemerintah Daerah masih menjadi problem serius yang mengakibatkan pelaksanaan UU Desa menjadi begitu rumit.
Banyak regulasi yang dikeluarkan oleh kementerian untuk mengatur desa, tetapi seringkali regulasi tersebut kurang sinkron antara satu dengan yang lainnya. Sudah begitu, regulasi yang ada seringkali cepat berubah, sehingga ini sangat menyulitkan desa.
Kekurangan lain adalah adanya pandangan yang melihat UU Desa sebagai sekedar pelaksanaan Dana Desa. Bahkan Dana Desa dianggap hanya sebuah program saja, dengan desa sebagai pelaksananya. Pandangan semacam ini dalam berbagai hal mengakibatkan adanya kecenderungan pendekatan yang berlebihan kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam melihat desa.
Soal teknis administratif tentu penting untuk dilakukan sebagai bagian dari paraktik pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Tapi pendekatan yang terlalu berlebihan dapat mengakibatkan hal-hal yang bersifat substansial luput dari perhatian.
Kemudian soal kapasitas pendampingan juga menjadi hal penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan UU Desa. Pendampingan kepada desa dirasakan oleh banyak desa masih belum optimal.
Berbagai kekurangan di atas mesti segera dievaluasi agar UU Desa tidak terlepas dari ruh awalnya, yakni menjadikan masyarakat desa yang berdaya, yang memiliki kuasa atas ruang dan sumberdaya yang dimilikinya.
Dengan kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, konsolidasi berbagai kekuatan desa harus terus menerus dilakukan agar dapat mendorong perubahan-perubahan yang diperlukan dalam rangka evaluasi, sekaligus menjadi upaya untuk tetap meluruskan jalan desa.
Kedua, desa harus terus bergerak secara kreatif dan inovatif sehingga ruang-ruang kewenangannya banyak terisi oleh gagasan-gagasan penguatan desa itu sendiri.
“Tapi apapun kekurangannya, yang jelas sekarang posisi desa jauh lebih baik dari sebelumnya karena desa sudah punya kewenangan”, jelas Prof. Susetiawan (Direktur PSPK UGM).
Demikian sekelumit catatan hasil saresehan “Gotong Royong Meluruskan Jalan Desa”, Sabtu 21 Juli 2018.
Saresehan dilaksanakan di Sanggar Maos Tradisi, Yogyakarta. Hadir pada acara tersebut Anwar Sanusi (Sekjen Kemendesa PDTT), Budiman Sudjatmiko (Anggota DPR RI), Ari Dwipayana (Staf Khusus Presiden), Arie Sujito (Dosen UGM/Pengasuh Sanggar Maos Tradisi), Sutoro Eko (APMD Yogyakarta), Susetiawan (Direktur PSPK UGM), Yando Zakaria (Karsa), Farid Hadi (FPPD), Sunaji Zamroni (Direktur IRE), Yusuf Murtiono (Formasi), beberapa orang Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD, serta Pendamping Desa.
Penulis: Bayu Setyo Nugroho

Sumber : https://bayunugroho.id/meluruskan-jalan-desa/

Tags

Recent Post