Oleh : Prof Ahmad Erani Yustika ( Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi)
Gemuruh pembangunan desa yang terjadi pasca-terbitnya UU Desa No. 6/2014 dan afirmasi fiskal dalam wujud Dana Desa (DD) telah mengubah banyak tatanan “politik” desa.
Pertama, politik kedaulatan desa. Perangkat desa dan warga desa berdaulat merumuskan dan memutuskan masa depannya karena kewenangan hak asal usul (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas).
Kedua, politik pembangunan desa. Desa mulai melek bahwa urusan pembangunan bukan hanya bikin jalan, jembatan, irigasi; tetapi juga perkara terkait menganyam mutu warga (pemberdayaan), kemandirian ekonomi yang bertumpu kepada partisipasi dan sumber daya ekonomi desa, dan meletakkan sistem nilai (budaya) lokal sebagai basis gerakan pembangunan.
Ketiga, politik literasi desa. Kesadaran warga terhadap pengetahuan strategis desa hidup kembali, dari mulai soal transparansi anggaran, kesehatan reproduksi, demokrasi ekonomi, pengarusutamaan perempuan, jejaring informasi, basis data, hingga kesadaran ekologis.
Relevansi Kawasan Perdesaan
Itulah kaki-kaki yang telah dibangun selama tiga tahun ini, sehingga Republik bisa berjalan dengan dua kaki utuh: desa dan kota. Jalannya pembangunan tak lagi sempoyongan karena ditopang oleh dua kaki yang kukuh.
Meski begitu, bisa berjalan saja tidak cukup. Dibutuhkan kecepatan untuk mengejar aneka ketertinggalan dan kekalahan, khususnya yang dialami oleh desa, sehingga yang diperlukan saat ini adalah berlari. Pada titik ini, desa tak akan bisa berlari apabila hanya fokus kepada wilayahnya masing-masing. Tiap desa memang memiliki kekayaan dan keragaman sumber daya (ekonomi), namun menjadi terserak dan tersebar menjadi kekuatan yang lemah apabila titik tumpunya berada pada masing-masing kaki desa.
Dibutuhkan kolaborasi antardesa untuk memastikan sumber daya yang dimiliki menjadi satu kekuatan utuh dan menjadi gerakan kolektif yang terpadu. Himpunan dari beberapa desa yang mendorong konsensus inilah yang disebut sebagai maklumat pembangunan “kawasan perdesaan”.
Sekurangnya kawasan perdesaan relevan karena tiga hal pokok.
Pertama, desa selalu takluk karena desa sebagai “komunitas ekonomi” hanya berhenti berjualan komoditas primer. Sebagai kegiatan “kultural” di mana orientasi produksi lebih banyak digunakan bagi kepentingan hidup sehari-hari, tentu saja mentransaksikan bahan baku tidak harus dicerca. Namun, apabila yang hendak dikejar adalah nilai tambah yang menjadi mata air kesejahteraan, maka aktivitas kultural itu mesti diteruskan kepada rantai ekonomi “pengolahan” (industri). Masalahnya, rumus kegiatan ekonomi di hilir (pengolahan) mensyaratkan skala ekonomi. Tanpa terpenuhi syarat tersebut aktivitas pengolahan tidak efisien.
Skala ekonomi tak mungkin beralas desa, ia mesti tumbuh dari gabungan desa sehingga kawasan perdesaan menjadi keniscayaan apabila proses nilai tambah hendak digerakkan di desa-desa. Jadi, rantai keterbelakangan ekonomi desa mesti diputus dengan jalan hilirisasi yang berpijak kawasan perdesaan.
Kedua, desa mesti ditinggikan posisi tawarnya (bargaining position) dengan jalan memerkuat ukuran ekonomi. Pelaku ekonomi desa tak pernah dapat mengakses ujung rantai distribusi (yang teramat panjang) karena dosis ekonominya yang kecil. Posisi tawar yang tinggi hanya bisa dijalankan bila ukuran ekonominya besar sehingga bisa langsung menyentuh ujung distribusi (bahkan konsumen langsung). Syaratnya: pelaku mesti bergabung membangun tindakan kolektif.
Lagi-lagi, itu tak cukup pada level desa, tapi harus menjangkau gabungan desa-desa.
Ketiga, kawasan perdesaan akan menjadi penegak yang menghalangi kompetisi antardesa sehingga di antara mereka akan saling memangsa (predator). Tanpa disadari gelombang pembangunan desa membuat desa-desa konsentrasi ke dalam (inward-looking) sehingga kehilangan perspektif kerjasama untuk meraih tujuan pembangunan yang optimal. Praktik yang terjadi justru persaingan yang tidak sehat, sehingga kemajuan desa yang satu diraih dengan jalan mematikan desa tetangga.
Fungsi Kawasan Perdesaan
Di luar relevansi di muka, kawasan perdesaan juga memiliki sandaran yang kuat karena memiliki fungsi yang otentik. Keberadaan kawasan perdesaan menjadi sumbu yang mempertemukan aneka keunggulan pada masing-masing desa, yang kemudian dikonversi menjadi kutub baru pembangunan.
Fungsi utama kawasan adalah sebagai lokus terjadinya proses pendalaman (deepening) pembangunan. Fungsi ini, seperti yang juga telah di singgung di atas, memertemukan potensi tiap-tiap desa menjadi satu rumusan kegiatan pembangunan yang punya bobot kesejahteraan. Aktivitas ekonomi tak hanya dirayakan sebagai ritus kebudayaan (seperti yang tersingkap dari makna kata “agriculture”), namun juga prosesi modernisasi yang bertumpu kepada kreativitas dan inovasi sehingga nilai tambah menjadi hal yang niscaya. Kegiatan ekonomi yang berlangsung tak hanya di permukaan inilah yang kelak menjadi sumber kesejahteraan dan keberkahan bagi warga desa.
Berikutnya, fungsi kawasan adalah menjembatani (bridging) relasi desa – kota. Hasrat membangun hubungan yang setara antara desa dengan kota adalah hal yang mulia dan layak diperjuangkan. Namun, melihat eskalasi ketimpangan yang sedemikian massif antara desa – kota (aset, akses, afirmasi), maka dibutuhkan “arena mediasi” yang membuat relasi tersebut dapat dieksekusi dengan lebih ideal. Kawasan perdesaan memiliki kemampuan tersebut karena merupakan agregasi desa-desa dengan segenap potensinya sehingga kesetaraan berhadapan dengan wilayah kota dapat direalisasikan.
Fungsi kawasan perdesaan adalah menjadi “agen pengepul” dari seluruh potensi desa dan menjadi pintu tunggal bersua dengan pemangku kepentingan (ekonomi) kota. Sebagai agen ia hanyalah representasi kepentingan desa-desa yang menyokongnya, bukan sebagai wilayah yang memperjuangkan dirinya sendiri. Jadi, pada kemajuan kawasan itulah sekaligus meninggikan pembangunan desa-desa.
Fungsi penting lainnya adalah mengerjasamakan (collaborating) banyak pemangku kepentingan yang berkehendak memajukan desa. Pemerintah (pusat dan daerah), kampus, lembaga kemasyarakatan, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha (milik pemerintah dan swasta), dan yang lain punya harapan yang sama untuk mendorong pembangunan desa. Sungguh pun begitu, mengorganisasikan aneka pemangku kepentingan ini tak mudah dan tidak bisa disangga hanya oleh desa, tetapi cakupan perangkat dan wilayah yang cukup besar. Inilah fungsi yang bisa diperankan oleh kawasan perdesaan.
Terakhir adalah fungsi pengendalian (controlling). Bagi pemerintah (khususnya), fasilitasi dan supervisi lebih mungkin dilakukan pada level kawasan mengingat jumlah desa yang amat banyak (74.958 desa). Jika desa-desa tersebut berkelompok dalam satu kawasan sesuai dengan potensi masing-masing, maka kegiatan pengembangan lebih terkelola, berjejak kuat, dan terorganisir lebih rapi.
Dimensi Penyangga Kawasan
Sungguh pun begitu, tak mudah untuk merealisasikan gagasan tersebut. Keberhasilan inisiasi pembangunan kawasan perdesaan tergantung dari 5 dimensi utama.
Pertama, konsensus (antardesa). Kawasan tercipta karena kesadaran desa-desa, bukan oleh sebab hasrat pemerintah atau pemangku kepentingan lain di luar desa. Di sini keberhasilan kawasan sangat tergantung dari kesanggupan membangun konsensus di antara desa-desa tersebut, dari mulai menentukan potensi yang akan dikembangkan, lokus program, organisasi dan pengelola kegiatan, sampai kepada distribusi atas hasil yang diperoleh.
Kedua, keterpaduan (hulu – hilir). Pembangunan kawasan orientasinya kepada nilai tambah, meneruskan aktivitas ekonomi primer yang diselenggarakan di desa. Oleh karena itu, fokus kepada hilir dengan memadukan potensi pada hulu menjadi tantangan pengembangan kawasan. Beberapa wilayah sudah menunjukkan kemampuan ini, salah satunya bisa dilihat dari kawasan di kaki Gunung Slamet Kabupaten Purbalingga (gabungan dari empat desa).
Ketiga, kelembagaan (organisasi dan aturan main). Kelemahan yang menonjol dari ekonomi desa adalah keberadaan organisasi (ekonomi) yang mapan. Pekerjaan rumah ini mesti diambil alih oleh kawasan dengan gugus utama mengorganisasikan sumber daya ekonomi menjadi gerakan yang sistematis, dari mulai investasi, produksi, pengolahan, distribusi, sampai pemasaran. Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma) dapat menjadi alternatif organisasi ekonomi yang membingkai kawasan.
Keempat, komunitas. Pembangunan kawasan perdesaan merupakan saham dari para warga desa sehingga partisipan gerakan adalah rakyat. Pemangku kepentingan lain posisinya sebagai pemandu dan fasilitator. Pusat gerakan adalah rakyat (komunitas) dan ini menjadi penanda penting berekonomi di (kawasan) perdesaan. Modal sosial menjadi alas dan mengatasi atas modal-modal lainnya, khususnya ekonomi. Kekuatan komunitas menjadi simbol kedaulatan warga atas kerja-kerja pembangunan.
Kelima, keberlanjutan (pembangunan). Pembangunan kawasan akan berlanjut bila titik tumpunya adalah komunitas. Tanpa kekuatan komunitas, pembangunan kawasan hanya merupakan replikasi pembangunan yang kehilangan api manfaat dan jejak keberlanjutan. Keberadaannya menjadi buih yang jauh dari urat nadi warga sehingga menjadi aktivitas ekonomi yang asing dari wilayahnya. Kecakapan teknokratis sangat dibutuhkan dan ini tergantung dari kemampuan kawasan tersebut memproduksi stok pengetahuan secara terus-menerus. Pemahaman inilah yang hendaknya dibawa ke arena warga desa agar gerakan pembangunan melampaui kepentingan desa.
Kesejahteraan dan keadilan sosial berbunyi kencang ketika semangat kolaborasi mampu menindih gelora kompetisi. Kaki-kaki desa yang kuat dirajut bukan untuk saling mematikan, melainkan untuk meninggikan derajat dengan cara saling berjabat tangan. Literasi desa akan menuntun proses ini dengan cepat.
No comments:
Post a Comment