Latest News

Monday 10 September 2018

Pramoedya Ananta Toer : Melahirkan Karya Dahsyat di Pulau Buru

Penjara bukanlah hal baru untuk Pram, panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer. Akibat tulisan-tulisannya, Pram sering dipenjara, baik oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, rezim Soekarno (Orde Lama), mauoun rezim Soeharto (Orde Baru). Di penjara, Pram terus saja menulis. Ketika dihukum oleh pemrintah kolonial Hindia Belanda, Pram menjabat sebagai Letnan Dua TNI dari Divisi Siliwangi, yaitu divisi TNI di Jawa Barat. Pada rezim Soekarno, Pram ditahan di Pulau Buru. Di sinilah, Pram melahirkan 4 novel legendaris yang disebut Tetralogi Buru. Karya inilah yang melambungkan nama Pram. Tetralogi Buru membawa Pram masuk nominasi peraih Nobel Sastra. Namun, Nobel Sastra belum bisa diraihnya hingga kini.
Pramoedya Ananta Toer
Sumber : midspot.com

Menulis bagi saya adalah tugas pribadi dan tugas nasional," kata Pramoedya Ananta Toer. Karyanya mendunia, meskipun hadiah Nobel menafikkannya. Ada nobel atau tidak, Pram adalah tokoh besar dalam bidang sastra dan sejarah Indonesia.
Tetralogi Buru lebih banyak bercerita tentang kehidupan orang pergerakan yang bernama Minke. Dalam kehidupan nyata, tokoh Minke diidentikkan dengan Tirto Adhi Suryo, tokoh pers pergerakan nasional yang menjadi pendiri  Medan Prijaji. Akibat sepak terjangnya, Minke pun menjadi buronan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Minke adalah putra seorang bupati di Jawa. Sebagai putra seorang bupati, Minke berkesempatan mengenyam pendidikan di hogare burger school (HBS).

Pram menggambarkan Minke sebagai sosok yang anti kemapanan yang hidup pada akhir abad ke-XIX dan awal abad ke-XX. Sebagai putera bupati, Minke bisa saja menjadi anggota pamong praja yang tunduk pada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, Minke lebih memilih terjun dalam dunia pergerakan. Jika mau, Minke bisa saja melanjutkan karier ayahnya sebagai bupati. Atau, jika dia mau menyelesaikan sekolahnya di STOVIA (Sekolah Dokter Hindia), kehidupannya pasti akan jauh lebih baik. 


Pram menerbitkan Tetralogi Buru sekitar tahun 1980-an, setelahkeluar dari penjara, meskipun roman ini telah dirancang sejak tahun 1956. Untuk menulisnya, Pram melakukan riset kecil-kecilan tentang suasana di masa-masa awal pergerakan nasional. Ketika itulah Pram menemukan sosok Tirto Adhi Suryo, seorang tokoh nasionalis pertama yang kurang mendaptkan perhatian dalam penulisan sejarah nasional. Hingga kini pun, Tirto Adhi Suryo tidak mendapatkan perhatian sebagaimana layaknya dala sejarah Indonesia.

Kelahiran Tetralogi Buru disaksikan oleh tahanan-tahanan politik yang lain, yang sebarak dengan Pramoedya Ananta Toer ketika di Pulau Buru, Maluku. Roman historis ini merupakan gabungan antara catatan historis dengan imajinasi Pram, Bahan-bahan untuk menulis Tetralogi Buru diperoleh ketika Pram mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) Jakarta, antara kurun waktu 1962 hingga 1965.

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post