Pagelaran Wayang Kulit Purwa, dari kata Parwa, yang diselenggarakan rutin di Tembi Rumah Budaya (foto: Barata) |
Budaya pewayangan telah lama hidup dan berkembang. Istilah ringgit dan wayang telah lama didapat, antara lain ditemukan dalam kakawin Arjunawiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada jaman pemerintahan raja Airlangga, abad sebelas (Poerbatjaraka, 1952:17), dan dalam kakawin Parthayajna pada jaman kerajaan Majapahit. (Zoetmulder, 1983: 462), abad 13-14. Jika menurut sumber cerita yang hidup sejak abad sembilan sampai abad empatbelas dapat diambil kesan, bahwa budaya pewayangan didukung oleh cerita yang berasal dari cerita yang bersumber sikles cerita Ramayana dan Mahabharata.
J.J. Ras mengatakan, bahwa panggung wayang kulit Jawa berkaitan erat dengan panggung wayang kulit Bali, yaitu jenis wayang yang biasa disebut wayang parwa, yaitu jenis wayang yang mementaskan cerita yang diambil dari parwa-parwa Mahabharata dan cerita Ramayana.(Ras, 1976:3).
Parwa-parwa Mahabharata Sansekerta banyak disadur dalam bahasa Jawa kuna. Antara lain: Adiparwa, Sabhaparwa, Aranyakaparwa, (Wanaparwa), Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa. Parwa lain yang sebagian besar isinya dimuat dalam kakawin Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (Naskah Kirtya Nomor 1060), ialah: Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Gadaparwa, Aswathamaparwa, Stripralayaparwa, Santikaparwa, Aswamedaparwa dan Asramawasaparwa.
Beberapa bagian cerita Mahabharata ada yang dikembangkan dengan cara diolah, menurut fiksi dan daya kreasi pujangga penulisnya. Dalam karya sastra Jawa kuna, ditemukan beberapa buku sumber cerita yang isinya merupakan perkembangan dan pengolahan masalah yang dimuat dalam cerita Mahabharata. Cerita yang bersumber karya sastra Jawa kuna itu terus berkembang melalui sastra tulis dan sastra lesan. Pada jaman sesudah kerajaan Majapahit, yaitu pada jaman kerajaan Demak, sekitar abad limabelas, budaya pewayangan hidup dan berkembang pula. Sebuah kitab suluk karangan Sunan Bonang yang dikenal dengan nama Suluk Wujil, memuat kalimat yang isinya sebagai berikut.: ”Dalang Sari dari Pananggungan mewayang dengan cerita permulaan perang Bharatayudha, (Suluk Wujil: bait 90). Selanjutnya diceritakan makna kias Korawa dan Pandhawa. Pandhawa berada disebelah kiri dikiaskan sebagai nafi. Korawa berada disebelah kanan, dikiaskan sebagai isbat. Mereka berebut musbat (Suluk Wujil: bait 99-100)
Pada jaman kerajaan Mataram, Kartasura dan surakarta, cerita pewayanagn berkembang pesat sebagai salah satu hasil penciptaan jenis karya sastra pewayangan dan seni pertunjukan wayang kulit. Cerita sikles Arjunasasra, Rama dan Mahabharata banyak diolah menjadi karya sastra tulis. Banyak buku yang bermunculan yang dikarang semacan cerita roman simbolik, teks drama dan cerita pendek. Dengan menampilkan tokoh-tokoh wayag. Dalam pengembangan cerita Mahabharata, tokoh-tokoh Pandhawa dan Korawa menjadi pusat perhatian masyarakat. Cerita yang bertokoh Pandawa banyak mendapat perhatian, dan banyak disusun banyak cerita tentang tokoh-tokoh itu.
Masyarakat tertarik pada tokoh Pandhawa, terbukti didapatkannya berbagai judul cerita yang menampilkan tokoh Pandhawa secara bersama dan secara individu.. sikap masyarakat sangat memperhatikan dengan tokoh-tokoh Pandhawa, sehingga masing-masing tokoh mempunyai riwayat hidup seperti manusia. Maka didapat cerita yang berisi tentang kelahiran, perkawinan, seluk-beluk kehidupan di masyarakat luas sebagai anggota masyarakat dan kematian tokoh-tokoh Pandhawa itu. Penggambaran peri kehidupan tokoh-tokoh pewayangan itu seperti kehidupan manusia, yang diolah dengan berbagai gaya penceritaan seperti penciptaan karya fiksi yang biasa berlaku dalam dunia sastra roman.
Kiranya perlu penelitian terhadap cerita yang menampilkan tokoh-tokoh Pandhawa, yaitu salah sastu kelompok tokoh pewayangan yang mendapat tempat di masyarakat pecintanya. Penelitian terhadapnya, sedikit atau banyak mesti ada manfaatnya, dan diharapkan bisa digunakan sebagai sarana pengembangan sastra nasional dan budaya pewayangan.
Sumber Cerita Tokoh Pandhawa
Dalam bab pendahuluan telah disebut, bahwa cerita yang ada dalam parwa Mahabharata telah hidup dan berkembang lewat kehidupan sastra Jawa kuna dan Jawa baru. Cerita yang dimuat dalam delapan-belas parwa sebagian besar ditulis dalam sastra Jawa kuna prosa, dan sabagian dimuat dalam kakawin Bharatayudha karangan Mpu Sedah Mpu Panuluh. Kitab Adiparwa, Sabhaparwa, Aranyakaparwa dan Wirataparwa memuat cerita tokoh Pandawa sejak kecil, masa remaja dan dewasa setelah mereka kawin. Dalam Swargarohanaparwa dimuat kisah tentang kematian para Pandawa. Kitab Bharatayudha memuat kisah perang saudara antara Pandawa dengan Korawa, dan berakhir kemusnahan para Korawa. Isi pokok dalam kitab Bharatayudha itu sejalan dengan isi cerita dalam Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Gandaparwa dan Aswatthamaparwa. Dalam parwa lain (Stripralapaparwa, Santikaparwa, Aswamedaparwa, Asramawasaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa), erisi cerita Pandhawa sesudah perang Bharatayudha.
Cerita yang bersumber kitab Mahabharata itu juga menimbulkan kitab-kitab baru, antara lain: kakawin Parthayajna, Arjunawiwaha, Pathayana, Nawaruci dan Sudamala.
R.S Subalidinata
No comments:
Post a Comment