gambar : ikons.id
Oleh : Nurul Yunita
Tahun 1945 silam, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Teks yang dibacakan Ir. Sukarno dengan lantang itu, menandai langkah awal Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Beratus tahun dijajah, kemerdekaan merupakan hadiah sekaligus tantangan baru bagi Indonesia. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, beragam upaya untuk menyatukan diri dan merdeka menjadi cita-cita luhur orang-orang yang hidup di wilayah yang dikemudian hari disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat kesatuan yang diusung pada awal berdirinya negara Indonesia, ibarat obor penyemangat yang menjadi landasan perjuangan orang-orang masa itu. Tak mengenal perbedaan agama, golongan ataupun geografis, masing-masing daerah memberontak, atas kesamaan diri: tak ingin dijajah lagi. Atas dasar kesamaan itu, hadir sebuah konsep kebangsaan dalam diri orang-orang masa itu.
Tujuh puluh tiga tahun setelah proklamasi, jiwa kebangsaan dalam wujud negara Indonesia dirasa semakin memudar. Hal ini dapat dilihat dari munculnya peristiwa yang menunjukkan perpecahan di Indonesia, seperti konflik, diskriminasi golongan tertentu dan intoleransi yang hampir setiap hari kita saksikan diberbagai media.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat mengenai hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) jumlah pengaduan pelanggaran KBB pada 2016 (Januari – Desember) berjumlah 97 pengaduan (rata-rata 8 pengaduan per bulan). Jumlah ini meningkat dari jumlah pengaduan pada 2015 yang berjumlah 87 pengaduan (rata-rata 7 pengaduan per bulan), (2016, hlm. 14).
Kemudian, tahun 2017 lalu peristiwa yang menunjukan perpecahan di Indonesia pun marak terjadi. Menurut catatan akhir tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, berdasarkan data dari Bidang Kelompok Minoritas dan Rentan (KMR) mencatat pada tahun 2017, bidang KMR menerima 149 pengaduan yang terdiri dari 142 pengaduan individu dan 7 pengaduan kelompok.
Kelompok minoritas dan rentan terdiri dari kelompok perempuan, anak, kelompok agama dan kepercayaan minoritas, kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks dan queer (LGBTIQ), masyarakat Papua, disabilitas, kelompok korban pelanggaran HAM masa lalu, dan kelompok HIV/AIDS. Kekerasan, diskriminasi, kriminalisasi, persekusi, stigma sampai dengan impunitas menjadi beberapa permasalahan utama yang sering dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut, (2017, hlm. 92-93).
Permasalahan tersebut salah satunya dipicu oleh menguatnya politik identitas. LBH Jakarta, (2017, hlm. 93) menyebutkan masyarakat dengan sengaja difragmentasi berdasarkan identitas seksual, gender, agama, kepercayaan, ras dan etnis, serta ekonominya. Menguatnya politik identitas tentu tantangan besar bagi Indonesia.
Negara dan warga negara sudah tentu harus mengambil peran mengaktifkan kembali jiwa kebangsaan yang menjadi ruh pemersatu Indonesia. Salah satu cara mengaktifkan ruh tersebut ialah dengan transformasi nasionalisme. Transformasi nasionalisme dan mewujudkan kesatuan (Ika) dinilai penting untuk mengatasi permasalahan kebhinekaan/ keberagaman Indonesia saat ini.
Transformasi Nasionalisme Masa KiniTransformasi dinilai penulis padanan yang tepat untuk menggambarkan pengubahan bentuk nasionalisme dari masa ke masa. Nasionalisme sendiri merujuk kata ‘nation’ atau bangsa.
Ernest Renan (dalam Hamidi, J dan Lutfi, M., hlm. 166) menyebutkan bangsa adalah jiwa, suatu asas kerohanian. Suatu jiwa yang menimbulkan asas kerohanian itu antara lain: pertama kemuliaan di masa lampau, yang dari aspek ini bangsa dapat disebut sebagai suatu hasil historis; kedua, keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang, merupakan suatu persetujuan atau solidaritas tersebut bagi waktu sekarang dan seterusnya.
Jika menilik pendapat Renan, yakni nasionalisme ialah kemulian masa lampau, maka apakah nasionalisme hanya ada saat perjuangan kemerdekaan masa lalu? Tentu tidak. Renan kemudian memaparkan nasionalisme sebagai kemuliaan hidup bersama di masa sekarang.
Hal ini bersesuaian pula dengan pendapat Benedict Anderson, (1999, hlm. 5), nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama”(common project) untuk kini dan di masa depan.
Jika dimasa lalu kemerdekaan ialah sebuah jalan untuk mewujudkan keinginan orang-orang yang memperjuangkannya pada masa itu, maka bangsa ibarat jiwa yang melandasinya, dan lahirnya sebuah negara ialah wujud konkret untuk merealisasikan keinginan-keinginan tersebut.Permasalahan keberagaman yang hadir saat ini disebabkan negara, sebagai wujud konkret untuk mewujudkan keinginan tersebut tidak dianggap sebagai kepemilikan atau proyek bersama lagi. Adanya rasa untuk sama-sama menjaga dan membangun kemuliaan hidup bersama pun nampaknya lambat laun pudar.
Proyek bersama tersebut sulit dicapai seiring dengan fanatisme dan rasa bahwa negara hanya milik mereka yang berkuasa, atau segolongan tertentu saja.Ben Anderson, menambahkan proyek bersama itu lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain, (1999, hlm. 5).
Pengorbanan pribadi dapat diwujudkan melalui nasionalisme. Sayangnya, kebanyakan orang masa kini, hanya memaknai nasionalisme sekadar upacara bendera, atau selebrasi tiap perayaan kemerdekaan saja.
Paradigma nasionalisme tersebut itulah yang perlu ditransformasi. Perilaku sederhana, semisal tidak menyebarkan berita yang belum tentu benar, menguatkan kecintaan kita terhadap keamanan negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. (1999). Nasionalisme Indonesia kini dan masa depan. Terjemahan oleh Bramantya Basuki. Bandung: Penerbit Anjing Galak.
Hamidi, J dan Lutfi, M. (2010). Civic Education, antara realitas politik dan implementasi hukumnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kumalasari, F. dkk. (2017). Keragaman: merawat bangsa lebih beradab. Jakarta: AJI Indonesia.
Tim Penyusun Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta. (2017). Redupnya api reformasi. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Tim Penyusun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (2016).
Laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan 2016. Jakarta: Komnas HAM.
No comments:
Post a Comment