sulawesi memang menarik dibahas sejarahnya karena ada sekitar 50 kerajaan, baik besar maupun kecil yang mewarnai politik di zamannya, antara lain : Kerajaan Gowa, Tallo, Luwu, Bone, Wajo, Tanete (Agang Nionjo), Limae', Ajattappareng (Sawito, Sidenreng, Suppa, Mallusetasi', dan Rappang), Massenrempulu' (Enrekang, Maiwa, Malluwa, Alla' , dan Bonobatu), Gorontalo, Galesong, Binamu, Bangkala, Marusu', Siang, Lombasang, Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-Parang, Data, Agang Je'ne, Bisei, Kalling, Sero, dll. Tetapi usaha untuk menguak tuntas semua kerajaan di Sulawesi secara historis hampir bisa dikatakan mustahil.
Apa sebab? Kesalahannya sederhana; budaya menulis sejarah tidak populer di masa berdirinya kerajaan tersebut. Manuskrip-manuskrip yang ditulis di daun lontar pada abad ke-XVI tidak bisa menjadi pijakan historis sepenuhnya karena sangat jauh dari kriteria penulisan sejarah hanya berupa cerita yang dulunya dituturkan dari mulut ke mulut lintas generasi dan berisi petuah-petuah leluhur dengan bahasa kiasan yang multitasir. Dalam hal ini, Epos I La Galaigo yang tersohor lantaran panjangnya mengalahkan Epos Ramayana dari India pun hanya bisa menjadi pijakan semi-historis, untuk mencari gambaran situasi di zamannya.
Fasilitas menulis baru bisa dikatakan layak ketika Bangsa Eropa (pada abad ke-XVII) benar-benar mendirikan imperiumnya di Nusantara. Karena fasilitas itu terlalu istimewa merekapun terpaksa membatasi. Orang-orang Eropa itulah yang mencatat sapi perjalanan sejarah Nusantara, tetapi hanya terbatas pada kerajaan-kerajaan yang menentukan nasib kolonial mereka. Di Sulawesi Selatan, kerajaan yang cukup banyak menjadi sorotan tentu saja Makassar (Gowa dan Tallo) dan beberapa kerajaan lain; seperti Bone dan Luwu.
Meskipun orang-orang Eropa mencatat mengenai kerajan tersebut, hasilnya pasti berat sebelah karena penulisan sejarah pada umumnya tidak bisa sepenuhnya objektif dan kental dengan aroma politik. Wallace yang seorang naturalis, penggila serangga dan tumbuhan tropis itupun, dalam jurnalnya menggambarkan Makassar pada tahun 1856 (yang dia tulis Macassar) sebagai kota tua Belanda yang terindah dan terbersih selama pengembaraannya di Nusantara. Rumah-rumah orang Eropa terbuat dari tembok tebal dan dicat putih. Jalan-jalan di sekitarnya dijaga agar bersih dari sampah dan selalu disiram setiap pukul empat sore. Saluran air kotor pun terpola memalui pipa bawah tanah yang disalurkan ke laut. Di dekat perumahan orang-orang Belanda, terdapat juga tempat tinggal saudagar-saudagar kaya dari Cina.
Kemudian, beberapa kilometer dari Makassar, dia menggambarkan perumahan Rakyat Gowa yang sangat mengenaskan. Rumah panggung yang tidak simetris dan sebagian besar berbentuk jajar genjang karena terpaan angin. Jalanan berdebu dimusim kemarau dan berlumpur parah di musim hujan. Rakyat Gowa yang laki-laki hanya bercelana katun yang menutupi pinggang hingga paha, lalu kain sarung yang dilingkarkan di pinggang atau melintang di pundak dengan berbagai cara. Bahkan saat menemui Raja Gowa (Raja ke-32, Sultan Abdul Kadir) untuk meminta izin memasuki pedalaman, dengan mudahnya bisa menulis tentang para puteri raja yang dikatakan berpenampilan rendahaan.
Referensi :
Purnama, HL. 2014. Kerajaan Gowa : masa demi masa penuh gejolak. Makassar: Arus Timur
Referensi :
Purnama, HL. 2014. Kerajaan Gowa : masa demi masa penuh gejolak. Makassar: Arus Timur
No comments:
Post a Comment