Gunawan Kusumo, 25 Mei 2015 | Selama ini keuangan Desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli Desa (pungutan, hasil kekayaan Desa, gotong-royong dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Namun, secara empirik, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan keuangan Desa.
Pertama, besaran anggaran Desa sangat terbatas. PADes sangat minim, antara lain karena Desa tidak mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan Desa. Karena terbatas, anggaran Desa tidak mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan perangkat Desa, pelayanan publik, pembangunan Desa apalagi kesejahteraan masyarakat Desa. Anggaran Desa sangat tidak mencukupi untuk mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Dengan kalimat lain ada kesenjangan fiskal antara keuangan pemerintah supraDesa dengan pemerintah Desa.
Kedua, ada kesenjangan antara tanggung-jawab dan responsivitas dengan partisipasi masyarakat dalam anggaran Desa. Partisipasi masyarakat dalam anggaran pembangunan Desa sangat besar, sementara tanggungjawab dan responsivitas sangat kecil. Sebagian besar anggaran pembangunan Desa, terutama pembangunan fisik (infrastruktur), ditopang oleh gotong-royong atau swadaya masyarakat.
Sementara besaran dana dari pemerintah sangat kecil, yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan (mobilisasi) dana swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga masyarakat sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga Desa mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.
Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada Desa kurang mendorong pemberdayaan. Dulu ada dana pembangunan Desa (Inpres Bandes) selama 30 tahun yang dibagi secara merata ke seluruh Desa sebesar Rp 10 juta (terakhir tahun 1999), yang sudah ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga Desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan anggaran.
Baik Desa miskin maupun Desa kaya akan memperoleh alokasi yang sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah atas Desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian Desa.
Pemerintah daerah (kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran (ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah (Desa). Baik APBN maupun APBD umumnya kurang perhatian pada Desa. Sebesar 60% – 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin).
Sisanya, sebesar 30% hingga 40% anggaran daerah digunakan untuk belanja publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya sekitar 30% untuk biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja langsung ke masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut, jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa pfalon: 20% plafon politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral (pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana daerah, dan seterusnya); dan 10% untuk plafon spasial Desa melalui ADD. Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap Desa dan orang miskin di Desa sangat lemah.
Keterbatasan keuangan Desa tersebut menjadi sebuah masalah serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan pemerintah Desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan “sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang Desa. Pemerintah ternyata memberikan respons yang positif.
Pada masa Undang-undang lama maupun UU No. 22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah untuk mendukung keuangan Desa, meski dalam hal keuangan daerah sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Konsep “bantuan” ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa Desa tidak mempunyai hak atas uang negara.
Meski UU 22/1999 belum memberikan amanat tentang perimbangan atau alokasi dana kepada Desa secara jelas, tetapi sejak 2001 sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan kebijakan alokasi dana Desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah yang lebih besar daripada bantuan keuangan sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi dengan baik oleh UU 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang terkandung dalam UU 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep “bantuan” menjadi “bagian”, yang berarti bahwa Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota.
Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan Desa adalah “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana Desa”. Klausul regulasi inilah yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).
ADD tersebut tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD. ADD tentu memberikan suntikan darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu (integrasi) dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan dananya bukan berasal dari utang seperti PPK.
Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil maupun asosiasi Desa. Sejak 2005/2006-2012, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan ADD karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kebupatan yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.
Tentu pelaksanaan ADD tidak luput dari banyak masalah. Salah satu masalah yang muncul adalah keterpisahan antara perencanaan daerah dengan kebutuhan lokal dan perencanaan Desa. Ketika ide ADD mulai digulirkan umumnya birokrasi kabupaten/Kota terutama dinas-dinas teknis yang mengendalikan kebijakan dan anggaran pembangunan sektoral, melakukan resistensi yang keras, bukan karena visi jangka panjang, tetapi karena mereka merasakan bakal kehilangan sebagian kapling.
Keenganan secara psikologis dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut ketika ADD dilancarkan. Dengan berlindung pada ADD, atau karena Desa telah memiliki dana tersendiri, dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang responsif pada kebutuhan Desa. Di sisi lain, masalah juga muncul di Desa, terutama masalah lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa dalam mengelola ADD. Karena itu beberapa kabupaten yang sudah berpengalaman menjalankan ADD atau yang baru saja mengeluarkan kebijakan ADD sangat peka (baca: khawatir) terhadap akuntabilitas keuangan Desa, sehingga memaksa mereka membuat rambu-rambu yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD, meski langkah ini tidak sesuai dengan prinsip keleluasaan Desa dalam mengelola block grant.
Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD di banyak kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian Desa.
- Pertama, pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah supraDesa ke Desa.
- Kedua, ADD telah mendorong efisiensi penyelenggaraan layanan publik, kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.
- Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan Desa lebih bermakna dan dinamis. Secara kelembagaan ADD telah membawa perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola perencanaan Desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan perencanaan pembangunan kepada masyarakat Desa, dan sebaliknya, masyarakat Desa mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat perencanaan.
- Keempat, ADD menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam mengelola desentralisasi.
Namun dana ADD tentu tidak sebanding dengan problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Desa, sehingga berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air laut”. Dana sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas dangat tidak cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar. ADD tentu tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
Diolah dari sumber: rajawaligarudapancasila.blogspot.com, penulis: Turiman Fachturahman, 22 Januari 2014
No comments:
Post a Comment