Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru. Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
· tidak pernah lapar
· tidak pernah mengantuk
· tidak pernah jatuh cinta
· tidak pernah bersedih
· tidak pernah merasa capek
· tidak pernah menderita sakit
· tidak pernah kepanasan
· tidak pernah kedinginan
Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akanmencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar. Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta. Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Semar dan Wahyu
Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Batara Semar,” telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.
Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.
Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hidup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu
Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.
Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.
Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.
Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.
Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.
Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga
Bocah Bajang dan Semar
Bocah Bajang nggiring angin
anawu banyu Segara
ngon-ingone kebo dhungkul
sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.
Semar dan Dewa Ruci, keduanya merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat. (lukisan karya: herjaka HS, tahun 2003)
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akanmisteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.
Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan ‘ngelmu’ sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati.Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
Panakawan
Di dalam cerita Pewayangan khususnya Yogyakarta dan Surakarta dikenal adanya tokoh Panakawan. Pana artinya mengetahui, memahami permasalahan yang dihadapi dan mampu memberikan solusi-solusinya. Sedangkan Kawan atau sekawan selain berarti berjumlah empat, juga dapat dimaknai sebagai teman atau sahabat. Mereka adalah Semar beserta ketiga anaknya, yaitu; Gareng, anak yang paling tua, Petruk anak kedua dan yang bungsu bernama Bagong.
Tugas utama panakawan adalah menghantar dan memomong tokoh ksatria dalam mencari dan mencapai cita-cita hidupnya. Hubungan antara panakawan dan tokoh ksatria adalah hubungan yang sangat lentur. Kadang-kadang hubungan mereka bagaikan abdi dan bendara, yang melayani dan yang dilayani. Ada kalanya hubungan mereka seperti layaknya raja dan rakyatnya, gusti dan kawula, yang disembah dan yang menyembah Namun yang lebih tepat hubungan antara Panakawan dan ksatria bagaikan kedua sahabat yang saling berkomunikasi, berinteraksi, bertukar pendapat serta pikirannya untuk menyelesaikan dan menyingkirkan masalah-masalah yang menghalangi dalam usahanya mencapai sebuah cita-cita. Mereka saling asah (mengasah budi dan pikiran), asih (mengasihi dan mencintai), asuh (menjaga dan memelihara).
Keberhasilan tokoh ksatria dalam mencapai cita-citanya sangat bergantung kepada panakawan. Jika sang ksatria bersikap rendah hati mampu membina hubungan yang harmonis dengan panakawan, mau membuka hati untuk mendengarkan dan melaksanakan saran dari tokoh panakawan, dan rela hidup miskin, niscaya keberhasilan akan tercapai. Namun jika terjadi sebaliknya, kegagalanlah yang didapat. Karena begitu dominannya peran panakawan dalam menentukan keberhasilan sang ksatria, maka kemudian muncul sebuah pertanyaan Siapakah sesungguhnya tokoh panakawan tersebut? Menyimbolkan apakah mereka? Mengapa berjumlah empat?
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan (ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
Sementara itu ada yang menguraikan bahwa ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta,. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan.Tangan cekot adalah rasa ketelitian. Kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Tangan depan menuding dengan telunjuknya, tangan belakang dalam posisi menggenggam. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya pekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karsa berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masin-masing dengan harmonis untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Diibaratkan seorang sais (jati diri manusia) mengendarai sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda (cipta, rasa, karsa dan karya). Bagaimana Kereta itu berjalan untuk mencapai tujuan sangat bergantung dengan kemampuansais dalam mengendalikan dan mengoptimalkan kuda-kudanya. Jika si sais terampil niscaya ke empat kudanya akan kompak berderap berpacu menuju sasaran. Rintangan yang menghadang di jalan tidak akan membuat kereta jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Paling-paling kereta akan mengurangi kecepatan sejenak untuk kemudian berpacu kembali. (Herjaka HS)